webnovel

Show Your Poker Face

Aldrich, Rei, Ares dan Jupiter duduk di satu meja yang sama berkumpul berkeliling seperti hendak main poker. Tapi kenyataannya mereka meletakkan foto-foto seorang gadis yang tengah dicari oleh Rei.

"Jadi namanya Honey dan kita tak tahu nama belakangnya?" ungkap Aldrich lagi mengulang. Rei mengangguk padanya dan itu membuat Aldrich menopang dagu dengan sebelah tangannya untuk berpikir.

"Apa kita harus membobol data base penduduk di Crawford? Menurutmu ada berapa orang di kota itu yang bernama sama?" tanya Jupiter pada teman-temannya.

"Tidak mungkin kita membobol data base, kita bisa dituduh teroris oleh NSA (national security agency)!" tukas Ares kemudian. Jupiter dan Aldrich mengangguk.

"Ini jadi makin sulit!" gumam Aldrich kemudian. Rei sudah mendengus kesal berkali-kali. Ia jadi makin kesal karena besok ia harus ikut wawancara eksklusif mengenai gosip pernikahannya dengan beredarnya surat perjanjian pra pernikahan miliknya.

"Besok aku harus wawancara eksklusif di salah satu media Entertainment soal perjanjian pra nikah itu. Apa yang harus aku katakan?" tanya Rei mulai bingung.

"Kamu adalah The Midas Rei. Kamu selalu percaya diri di depan media, Rei. Kenapa kali ini kamu malah takut?" tanya Jupiter dengan wajah agak cemas.

"Aku bukan takut. Aku hanya khawatir salah bicara." Aldrich lantas menoleh pada Rei dan memegang lengannya. Rei hanya menunduk saja dan menghela napas.

"Mungkin malam ini kamu butuh sesuatu untuk menenangkan dirimu agar besok semuanya jadi lancar?" tanya Aldrich mengusulkan Rei untuk relax. Rei tampak berpikir dan menoleh pada Aldrich.

"Maksudmu seks?" sebut Rei polos. Ares dan Jupiter hampir menyembur tertawa tapi mereka menahannya.

"Maksudku tidur lebih awal, Rei. Bukan seks!" balas Aldrich dengan nada sarkas. Rei tetap santai dan menaikkan kedua alisnya bersamaan.

"Sudah berapa lama kamu tidak melakukan hal itu?" tanya Jupiter iseng pada Rei.

"Uh, tiga hari ... kurasa." Ares langsung membulatkan bibirnya dan mengangguk bodoh. Ia lalu sedikit menyamping dan berbisik pada Jupiter.

"Sebentar lagi dia akan jerawatan!" bisik Ares dan Rei mendengar itu. Ia mendelik pada keduanya dan sedikit memicingkan mata. Jupiter dan Ares jadi sedikit menunduk malu.

"Kenapa aku merasa yang melihatku sekarang adalah Uncle Joona?" celetuk Jupiter sontak membuat Ares menyemburkan tawa. Begitu pula dengan Aldrich yang ikut terkekeh.

"Kalian bodoh ya, dia anak Arjoona Harristian. Dia bahkan mewarisi lesung pipinya coba lihat ... wah, seksi!" tunjuk Aldrich tanpa ampun makin menambah bumbu. Ares makin terkekeh keras dan ketiga sahabat Rei resmi mengoloknya sekarang.

"Diam kalian semua!" tukas Rei kesal. Ia tak tertawa sama sekali.

"Ayolah, Rei. Kamu sudah tak pernah bercanda lagi sekarang. Kamu sudah tidak lucu!" sahut Ares mulai protes.

"Aku bukan badut, Ares!"

"Siapa yang mengatakan kamu badut ... kamu adalah seorang produser musik yang tengah mencari seorang peserta audisi yang hilang. Benarkan? itu lebih lucu dari badut," sambung Jupiter lagi. Ares mengangguk setuju.

"Hal ini harusnya tercetak dalam rekor sejarah musik Amerika. Saat seorang produser terkenal ternyata kehilangan selera humornya karena "kartu kejantanannya. diambil oleh gadis yang tak ia kenal," tunjuk Ares pada Rei tanpa ampun.

"Kartu kejantanan itu apa?" tanya Jupiter menoleh pada Ares.

"Kartu kejantanan adalah saat seorang wanita mengambil seluruh semangat yang dimiliki seorang pria sehingga ketika dia berhubungan dengan wanita lain, tak ada yang dirasakannya kecuali hampa!" ucap Ares begitu pintar menganalogikan.

"Huh, sangat pintar kamu bicara!" ejek Rei lagi. Aldrich tersenyum menepuk pundak Rei sambil tersenyum memberikannya semangat.

"Jangan menyerah, kamu pasti bisa bertemu dengannya!" ujar Aldrich memberikan semangatnya. Rei hanya bisa menghela napasnya. Jalannya makin buntu dan gelap. Bahkan lebih gelap dari langit malam yang terlihat dari dinding kaca kamarnya.

***

Honey dan Axel bersiap pagi-pagi sekali untuk memulai hari mereka. Honey akan mencari perusahaan yang bersedia untuk menerima magangnya sedangkan Axel harus melapor ke perusahaan label bernama Skylar.

"Selamat pagi, Honey!" sapa Axel sudah siap dengan jaket hoody dan kemeja yang ia pakai di dalamnya. Honey yang melihat penampilan adiknya sedikit memicingkan mata.

"Apa kamu yakin akan pakai itu di hari pertamamu bekerja?" Axel mengangguk dan menggigit sandwich miliknya. Honey hanya menghela dan ikut duduk setelah menuangkan susu.

"Entahlah, Honey. Aku tak bersemangat sama sekali," jawab Axel sambil mengunyah.

"Kenapa?"

"Perasaanku tak enak." Honey hanya bisa memegang tangan Axel untuk terus memberikannya semangat bekerja.

"Melaporlah dulu. Kamu akan tahu pekerjaanmu seperti apa nanti. Mungkin lebih menyenangkan. Sedang aku tak tahu apa yang akan aku dapatnya." Axel menaikkan ujung bibirnya dan tersenyum mengangguk.

Honey dan Axel lantas berpisah di depan pintu. Honey akan menelusuri berbagai situs perusahaan lalu menelepon mereka menanyakan soal peluang magang. Sementara Axel berjalan kaki lalu naik bis untuk sampai ke Skylar.

Axel berjalan melewati gedung-gedung perkantoran mewah tempat perusahaan-perusahaan ternama beroperasi. Dan salah satunya adalah Skylar. Begitu ia tiba di depan pintu masuk utama, Axel berhenti dan ragu untuk masuk.

"Untuk apa aku berada di tempat ini, aissshh!" gerutunya kesal. Ia masih berdiri dengan orang berlalu lalang melewatinya. Matanya melihat ke arah pintu kaca berputar dan satu persatu orang masuk dan keluar dari sana. Axel tak punya pilihan selain masuk dan melapor.

Begitu ia sampai di lobi, Axel tertegun melihat besar dan mewahnya kantor milik Skylar. Axel sudah membaca sedikit mengenai perusahaan itu. Perusahaan itu memiliki subsidiary (cabang) di berbagai bidang hiburan. Tak ada yang tak sibuk. Semua orang mengurus pekerjaannya masing-masing dan terus menerus seperti itu.

Axel lalu berjalan ke arah meja resepsionis untuk bertanya letak kantor HRD. Sayangnya, staf itu tengah sibuk mendapat telepon. Axel terpaksa menunggu dan menghela napasnya.

"Maaf ... aku harus ..."

"Lantai tiga, kerusakannya di sana!" tunjuk resepsionis itu memotong Axel yang kebingungan.

"Uh, aku tidak mengerti!"

"Petugas teknisi masuk lewat lift umum, naik ke lantai tiga dan cari Lloyds!" staf itu memberikan perintah lalu mengangkat telepon lagi. Axel jadi tak bisa bicara dan hanya kebingungan. Ia lalu berjalan ke arah lift dan menunggunya. Di depan pintu lift bersama beberapa pegawai lainnya, Axel melihat pantulan penampilannya yang dikira sebagai teknisi oleh resepsionis tadi.

"Kamu benar, Honey. Harusnya aku tidak berpenampilan seperti ini!" gumam Axel menggerutu lalu naik ke atas bersama staf lainnya. Setelah sampai di lantai tiga kali ini ia makin bingung. Pada siapa Axel akan bertanya?

"Damn!" gerutunya lagi. Ia berjalan sampai melihat sebuah kabel menjulur di lantai dan sedang dibereskan oleh seseorang tapi ia tak kelihatan. Axel otomatis menunduk dan membantu merapikan kabel tersebut. Masalahnya orang jadi mengomel padanya karena ia jadi mengganggu. Axel sampai harus meminta maaf berkali-kali sambil ia menelusuri ujung kabel tersebut dan baru menemukannya tak lama kemudian. Seseorang berada di bawah sebuah mesin perekam dan pengatur suara yang terhubung dengan komputer.

"Apa kamu baik-baik saja?" sapa Axel bertanya sambil sedikit membungkuk. Orang itu menoleh padanya dan melihatnya keheranan.

"Aku sedang memperbaiki ini!" tunjuknya dengan wajah kelelahan. Jelas terlihat ia tak bisa melakukannya. Axel jadi merasa kasihan dan ikut berjongkok.

"Apa bisa aku bantu?"

"Apa yang kamu bisa?" Axel tersenyum dan ikut berjongkok bersamanya.

"Coba kulihat!" pemuda itu memberikan tempatnya untuk Axel. Dengan cekatan, Axel memperbaiki lalu menyambung. Ia membuang kabel yang rusak menggantinya dengan yang baru lalu menyalakan arusnya. Tak butuh waktu lama dan alat itu menyala.

"Coba aku hidupkan komputernya!" ujar Axel lagi dan mencoba. Ia tersenyum karena semua berfungsi lagi. Pemuda itu tercengang melihat kemampuan Axel.

"Wah ... kamu hebat!" Axel hanya menyengir dan menyerahkan peralatannya.

"Apa kamu tahu dimana ruang HRD?" tanya Axel dan pemuda itu menunjuk pada sebuah ruangan di seberang mereka.

"Ah, syukurlah aku harus melapor."

"Apa kamu akan magang di sini?" Axel tersenyum mengangguk.

"Namaku Flint Lloyds ... " ucapnya memperkenalkan diri.

"Aku Axel Clarkson. Senang bertemu denganmu!" Axel mengangkat tangannya dan separuh berlari ke ruangan HRD.

Namun di depan ruang HRD, ia melihat seorang pria marah-marah dan separuh memaki pegawai di depannya. Para pegawai tampak ketakutan dan itu membuat Axel jadi terdiam. Pria itu lalu berjalan ke arah Axel dan salah seorang pegawai memanggilnya dengan sebutan "Pak" dan The Midas.

Pegawai itu memohon agar tak dipecat namun dengan kejamnya The Midas tak mengubrisnya sama sekali. The Midas melewati Axel begitu saja dan itu membuat Axel jadi kesal. Ia akhirnya mengurungkan niat tak jadi melapor dan kembali ke lobi bawah.

下一章