"Eh?"
Saat Liza ingin berjalan ke pintu untuk keluar dari ruangan itu, telinganya sempat menangkap suara benda kecil yang jatuh. Terdengar tipis tapi nyaring, karena ruangan itu begitu sepi. Tapi tak dihiraukan oleh Liza.
Namun saat Liza sampai di depan pintu, ia merasakan tumit kakinya menyentuh sesuatu yang padat. Kalau tidak menyadarinya dengan cepat, bisa jadi benda itu hancur dan terinjak oleh Liza.
Menengok ke bawah, tampaknya benda itu adalah sebuah kalung dengan liontin kristal padat berbentuk persegi panjang, dengan warna ungu terang. Cantik sekali. Liza sampai terkagum-kagum dengan kilauan warnanya.
Tanpa Liza ketahui, kalung itu terjatuh dari selipan sampul buku tentang gerakan dan mantra sihir yang Liza temukan tadi.
Karena Liza cukup menyukai kalung itu, ia pun langsung memakainya. Tidak peduli itu miliknya atau bukan, tapi Liza merasa punya firasat kalau kalung ini memang untuk dirinya. Terbukti, dari tadi Liza tidak menjumpai kalung ini saat ia masuk ke ruangan ini. Dan setelah Liza memutuskan keluar, kalung ini tiba-tiba muncul.
Liza mengira kalau membuka pintu ruangan ini harus kembali memasukkan telunjuknya ke lubang di daun pintu seperti tadi, tapi ternyata tidak. Pintu itu terbuka dengan sendirinya, seperti tahu kalau Liza hendak keluar. Dan saat Liza sudah keluar dari ruangan, pintu itu menutup sendiri.
Lalu dengan langkah cepat, Liza pun menuju ke aula kastil, titik kumpul timnya. Liza pun langsung disambut pelukan erat dari Mina.
"Demi Tuhan, Liza! Ini sudah petang dan kami menunggumu selama satu jam! Dari mana saja kau?"
Liza cukup terkejut saat Mina mengatakan ini sudah petang. Padahal Liza mengira kalau ia pergi hanya sebentar.
"Maafkan aku, Mina. Aku terlalu asyik berkeliling mencari informasi."
Mina lantas menguraikan dekapannya pada Liza. "Lalu ... Bagaimana pencarianmu? Apakah kau menemukan banyak info yang menarik?"
"Ah, itu ..."
Liza tidak mungkin mengatakan kalau dia tadi baru saja menemukan buku sihir dan sejarah penyihir, lalu tidak sengaja memanggil arwah adik Adera dari dimensi astral dengan mantra. Bisa dianggap gila kalau Liza menceritakan itu pada teman-temannya yang tidak percaya dengan hal-hal gaib itu.
"Em, nanti aku akan menyerahkan laporan peliputanku. Kau bisa membacanya nanti," jawab Liza kemudian.
"Baiklah, kalau begitu sebaiknya kita kembali ke penginapan. Besok kita lanjutkan perjalanan ke kota lain," saran Ken kemudian.
Rombongan mereka pun segera menuju penginapan hotel yang dimaksud. Karena jaraknya tidak begitu jauh, mereka putuskan untuk berjalan kaki.
Begitu para rombongan sampai di lantai tempat mereka memesan kamar, Ken dengan cepat menahan Liza sebelum masuk ke kamarnya.
"Oh ya, Liza. Aku lupa membawa kumpulan berkas laporan peliputan. Bisakah kau membantuku untuk mengambilkannya di mobil? Nanti sekalian serahkan juga laporan liputanmu bersamaan dengan berkas itu ke kamarku. Kau tidak keberatan, kan?"
Liza mengangguk. "Tentu."
"Terimakasih, Liza."
Liza pun kembali ke basement tempat mobil kantor diparkir.
"Kenapa dia tidak memberitahu sebelumnya, sih? Kalau begini jadinya malah bolak-balik! Dasar Ken menyebalkan! Mentang-mentang ketua riset, dia bisa seenaknya saja!" gerutu Liza seraya berjalan dengan langkah kesal.
Saat mencapai pintu mobil, Liza tidak sengaja mendengar rintihan perempuan yang meminta tolong, tapi tidak begitu jelas. Suaranya seperti ada dua atau tiga perempuan, karena terdengar bersahutan. Liza menduga kalau suara itu berasal dari salah satu mobil di basement itu.
Namun saat Liza ingin mencari keberadaan suara itu, tiba-tiba segerombolan pria kekar berjas bergaya ala gangster itu datang. Liza pun segera bersembunyi dengan berjongkok di dekat pintu mobil.
Dan samar-samar, Liza bisa mendengar percakapan para pria itu.
"Menurut laporan Tuan Ken, ada seorang lagi perempuan berambut amber yang digiring kemari. Kita harus secepatnya menemukan perempuan itu dan menangkapnya! Dia pasti sudah ada disini!"
DEG!
'Siapa mereka? Mengapa mereka mencari perempuan berambut Amber? Astaga! Apa mereka mengincarku? Tapi mengapa? Lalu Ken ... siapa?' cemas Liza membatin.
Liza menggeleng kuat-kuat, mengusir prasangka buruk yang menghampiri pikirannya. Mencoba berfikir positif.
'Tidak! Itu pasti hanya namanya saja yang mirip! Tidak mungkin itu Ken! Ken itu baik!'
Dengan tubuh yang sangat gemetaran karena ketakutan, Liza perlahan merangkak dan mengendap-endap untuk menjauhi mereka. Berusaha melangkah tanpa suara.
Namun sialnya ketika Liza hendak keluar melewati pintu masuk, ada salah seorang gangster itu muncul di depan pintu. Yang ternyata itu adalah Dough, mantan ketua perampok yang kini menjadi kacungnya Christ.
"Tidak!"
Hampir saja Liza tertangkap kalau ia tidak segera menghindar dan berlari dengan gesit.
"Tangkap dia!" teriak Dough lantang kepada para anak buahnya.
Liza berlari sekuat dan sekencang yang ia bisa lakukan. Melewati lorong, hingga keluar hotel.
"Tolooonggg!"
Yang ada dipikiran Liza saat ini adalah kabur dan menyelamatkan diri menuju ke pos petugas keamanan untuk melaporkan dan meminta perlindungan.
Namun nyatanya, para petugas hotel dan keamanan itu sudah jatuh pingsan. Begitu juga dengan para pengunjung di lantai satu itu. Semuanya tidak sadarkan diri.
Mencium aroma obat yang menusuk hidung, Liza sadar kalau para penjahat itu sengaja menyebar gas tidur. Pantas saja semuanya pingsan.
"Tidak! Aku tidak boleh tumbang!" ucap Liza seraya menutup hidung dan mulutnya dengan ikatan syal.
Dengan langkah tertatih, Liza menguatkan dirinya agar tidak terpengaruh gas tidur itu. Hingga ia pun berhasil keluar.
Ketika Liza sampai di pinggir jalan besar, rasa pusing karena efek gas tidur tadi baru terasa. Dan hal yang tidak terduga pun terjadi saat tubuh Liza terhuyung ke depan.
'Ckkkiiittt!!'
Kalau mobil Lamborghini black itu tidak segera berhenti, mungkin tubuh Liza sudah tertabrak.
"Aahh!"
BRUK!
Karena Liza terlalu shock, ia pun pingsan dan terjatuh tepat di kap mobil. Dan orang-orang sekitar pun mengira kalau Liza tertabrak. Begitu juga penumpang yang berada di dalam mobil itu.
"Dasar bodoh! Bagaimana bisa kau menabrak orang sembarangan, hah??"
Terdengar makian penumpang mobil itu kepada sang supir. Yang ternyata penumpang itu adalah Christone. Pria itu duduk di kursi penumpang bersama dua perempuan penghibur yang baru saja dipesankan Jeremy.
Dengan ketakutan, sopir itu pun menjawab, "Ma--maaf, tapi saya sudah menghentikan mobil ini sebelum menyentuh perempuan itu, Tuan. Sungguh ..."
Christ menghela napas gusar. Namun saat menyadari kalau perempuan yang tertabrak itu berambut amber, Christ pun terkejut. Seringaian di bibirnya pun muncul saat sebuah ide menghampiri pikirannya.
Yang awalnya Christ membiarkan dua perempuan seksi itu menggerayangi tubuhnya, tiba-tiba ia mendorong tubuh mereka dengan kasar.
"Kalian keluar!"
Sontak kedua perempuan itu bingung. "Ta--tapi Tuan ..."
Christ bergantian menatap dua perempuan itu, lalu mengeluarkan kilatan bola mata merahnya sebagai bentuk peringatan.
"Keluar atau kubunuh kalian sekarang juga!"
Mendengar ancaman dan merasakan hawa membunuh yang menguar dari tubuh Christ, kedua perempuan itu pun buru-buru keluar dari mobil, lalu berlari ketakutan.
"Dan kau ..." Christ menunjuk ke sopir. "Bawa perempuan itu masuk!"
"Ba--baik, Tuan!"
Sopir itu pun menurut. Membopong dan mendudukan Liza tepat di sebelah Christ.
"Maaf, Tuan. Apakah kita akan membawanya ke rumah sakit?" tanya sopir itu kemudian.
"Antarkan aku kembali ke penginapan."
"Ta--tapi bagaimana jika perempuan itu terluka--"
Christ memutar bola matanya. "Diam dan ikuti saja perintahku!"
"Ba--baik, Tuan."
Sang sopir pun segera melajukan kendaraan mewah itu menuju penginapan mahal di jantung kota.
Sepanjang perjalanan, Christ berulang kali menengok kepada perempuan yang masih pingsan di sebelahnya itu. Sesekali pria itu merapikan anak rambut amber si gadis dengan lembut, agar ia bisa melihat wajah sang gadis dengan jelas.
Dan entah bagaimana, mendadak ada setitik rasa damai yang terbit saat Christ tidak sengaja menyentuh pipi Liza. Dimana rasa damai itu begitu membingungkan namun juga menenangkan, menggelitik dada hingga perut.
Christ tidak tahu dengan perasaan aneh itu, tapi yang pasti ia merasakan tenang dalam hatinya. Dan yang mengejutkan, rasa damai itu kini mengalahkan rasa lapar yang merongrong perut Christ. Padahal tadinya, Christ merasakan lapar yang luar biasa sebelum ia menyentuh Liza.
Itu aneh. Bagaimana bisa sebuah sentuhan dapat membuat hatinya damai? Sungguh, Christ semakin penasaran dengan perempuan ini.
Sesampainya di penginapan, Christ pun langsung menggendong dan membawa Liza masuk ke kamarnya.
Jeremy, yang kebetulan stand by di depan pintu kamar Christ pun terheran-heran saat Tuannya malah datang membawa perempuan berambut amber yang pingsan, bukannya dua perempuan penghibur yang dipesan tadi. Dan yang lebih mengherankan lagi, Tuannya itu tampak tersenyum menyeringai saat menggendong perempuan itu.
'Bukankah semua perempuan amber disekap di ruang isolasi? Lalu mengapa Tuan membawa perempuan berambut amber itu ke kamar?' gumam Jeremy membatin penasaran.
**
To be continued.