Lisa masih terdiam. Pengakuan Tommy dan Sherly cukup membuatnya kaget. Meski ia tahu keluarga Sherly tidak akan keberatan, tapi sebagai orang tua Lisa tidak mau Tommy dipersalahkan. Apalagi umur Sherly belum genap tujuh belas tahun, ia takut kalau Tommy akan dituntut karena melarikan gadis di bawah umur.
"Begini, Sayang," katanya pelan, "Mami bukannya tidak setuju, tapi Sherly usianya belum tujuh belas tahun. Jika kau ingin menikahinya sekarang juga, kau harus mendapatkan surat keterangan dari Om Harry dan Tante Lenna, Sayang."
"Mama dan Papa pasti setuju, Mi," tambah Sherly.
Lisa menggenggam tangannya. "Mami tahu, Sayang, tapi sekarang beda cerita. Saat ini yang mereka tahu kamu hilang, terus gak minta-minta suatu saat mereka dapat kabar kalau kau bersama Tommy dan sudah menikah. Mereka pasti akan marah, Sayang. Sebagai sesama orangtua, kalian harus menghargai mereka juga. Apa salahnya bicara baik-baik dengan Papamu, bila mana kau sudah tidak mau sekolah dan ingin menikah. Mami yakin, jika kalian berdua bicara baik-baik pasti Om Harry tidak akan marah."
Perkataan Lisa benar. Sejahat-jahatnya orangtua, mereka harus dihargai. Apalagi menyangkut pernikahan, mereka pasti tidak akan senang jika mendengar kabar kalau Sherly sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka. Meskipun sudah mendapat restu, tapi nikah secara diam-diam seperti itu justru akan membuat pikiran mereka tidak tenang.
"Mami benar, Sayang. Bagaimana kalau malam ini kita bertemu dengan Mama dan Papa lalu kita bicara. Setuju atau tidak setuju, setidaknya kita sudah minta restu dari mereka?" kata Tommy.
Sherly hanya diam seakan tak tahu harus menjawab apa. Tapi yang jelas saat ini, ia tidak ingin bertemu dengan kedua orangtuanya. Perkataan Harry waktu itu membuatnya marah. Ia tak menyangka bahwa ayahnya setega itu pada Tommy yang tahu-tahu sudah sangat baik padanya. "Lagi pula pekerjaan Om Charles dan Papa kan sama saja, itu berati penghasilan mereka juga sama. Jadi apa yang sebenarnya Papa incar?" pikirnya.
Sikap diam Sherly membuat Lisa dan Tommy yakin kalau gadis itu benar-benar tidak setuju dengan pendapat mereka. Karena tidak ingin membuatnya kecewa, Lisa akhirnya berkata, "Kalau begitu kita tunggu saja Papi pulang. Kita bicarakan masalah ini dengan Papi. Siapa tahu Papi bisa memberikan pendapat untuk masalah ini."
Saat itulah Sherly menatap Lisa. "Terima kasih, Mi."
***
Jam menunjukan pukul tujuh malam. Tommy dan Sherly sedang duduk di ruang tamu sambil berbincang-bincang, sementara Lisa dan pengurus rumah sedang menyiapkan makan malam.
"Aku takut jika Papa tidak akan setuju," kata Sherly. Gadis itu kini sudah berpenampilan rapi. Tubuh yang sebelumnya gemuk karena hamil, kini terlihat kurus akibat makan yang tidak teratur juga pikiran yang selalu menyelimutinya.
Tommy merangkulnya seraya mengelus rambut hitam Sherly. "Kita berdoa saja semoga Papa akan merestuinya. Sekarang kita tunggu Papi pulang dan minta pendapat Papi."
Sherly mendongak menatap Tommy. "Kalau Papi setuju, apa kita harus menemui Papa juga untuk minta persetujuan?"
Tommy tertawa. "Yailah, Sayang, memangnya kau mau aku dituduh bawa kabur anak orang?"
Tepat di saat itu Charles muncul. "Papi pulang!" Ia terkejut begitu melihat Sherly bersama Tommy. "Kalian?" Tommy dan Sherly berdiri menyapa Charles. "Tom, kapan kau tiba?" tanyanya begitu Tommy memeluknya. Saat Sherly mencium tangannya, Charles berkata, "Sherly, kau dari mana saja, Nak? Kami semua mengkhawatirkanmu."
Setelah mereka kembali duduk, Lisa muncul dari ruang tengah. "Papi sudah pulang, ya. Tepat sekali, makan malamnya sudah siap. Ayo anak-anak, kita makan malam dulu."
Mereka semua sama-sama berdiri mengikuti Lisa. Tepat di meja makan, Charles melontarkan lagi perihal yang ia tanyakan pada Sherly. Lisa dan Tommy mengambil alih. Kedua orang itu menggantikan Sherly untuk menjelaskan pada Charles. Tommy menjelaskan tentang bagaimana dirinya bertemu Sherly, sementara Lisa mengambil peran untuk mengatakan alasan kenapa sampai Sherly kabur dari rumah.
"Jadi ceritanya mereka ini ingin menikah diam-diam. Tommy akan kembali ke Jawa untuk meneruskan pekerjaannya dan Sherly akan ikut."
"Kalau memang keputusan kalian sudah seperti itu, Papi hanya bisa membantu kalian dengan materi. Apapun yang kau perlukan katakan saja, Tom."
Senyum Sherly dan Tommy melebar. "Jadi Papi tidak keberatan soal kami akan kawin lari?" tanya Tommy.
"Tapi, Pi, mereka kan butuh surat keterangan dari orang tua Sherly," tambah Lisa.
"Soal itu biar Papi yang atur. Kalian tenang saja. Sekarang habiskan makan malamnya karena setelah ini, ada pembicaraan penting yang harus Papi dan kamu bahas Tommy," kata Charles, "Sherly, kau makan yang banyak ya, Nak, badan kamu kelihatan kurus."
"Iya, Pi."
***
Setelah makan malam selesai, Charles membersihkan diri dulu di kamar mandi. Sementara Lisa menyiapkan minuman untuk suami dan kedua anaknya. Meski belum menjadi menantu, tapi ia sudah menganggap Sherly seperti anak sendiri. Tommy yang juga sedang menunggu ayahnya selesai mandi, menemani Sherly di ruang tamu sambil berbincang-bincang mengenai rencana mereka ke depan.
"Tom, Papi sudah menunggumu di ruang kerjanya," kata Lisa seraya membawa baki berisi segelas susu putih untuk Sherly, juga secangkir kopi untuknya, "Kopimu Mami sudah taru di ruang kerja Papi."
"Terima kasih, Mi," jawab Tommy, "Aku tinggal dulu, ya?" katanya lalu mencium dahi Sherly.
Setelah Tommy pergi menuju ruang kerja Charles, Lisa dan Sherly pun berbincang-bincang. Lisa membahas soal aborsi yang dilakukan Sherly. Wanita itu tidak marah, tapi dia hanya mengungkapkan rasa kesakithatiannya terhadap Jovita.
Karena ia juga membenci Jovita, Sherly pun mengungkapkan siapa Jovita sebenarnya. Lisa terkejut karena ternyata Jovita adalah teman Andin. Sherly bahkan mengungkapkan semua unek-uneknya terhadap Andin. Ia juga tak lupa mengatakan pada Lisa tentang isi pesan yang pernah dikirim Andin kepada Tommy.
"Yang benar, Sayang? Mami sih tidak tahu kalau dia menyukai Tommy."
Perkataan Lisa membuat Sherly merasa tak enak hati. Dengan perasaan skeptis, ia melontarkan pertanyaan pada Lisa, "Seandainya Mami tahu Andin menyukai Tommy, apa Mami dan Papi akan menjodohkan Tommy dengannya?"
Ingin sekali Lisa menjawab iya, tapi saat ini Sherly telah berhasil mencuri hatinya. Sikap garis itu yang polos dan selalu membuat Tommy menurut membuat Lisa begitu sayang padanya. Dengan penuh kasih sayang ia merengkuh tubuh Sherly lalu berkata, "Tidak, Sayangku, kalaupun Mami tahu Andin menyukainya, Mami akan serahkan semuanya pada Tommy. Keputusannya ada pada dia. Sebagai orang tua, Mami dan Papi tidak mau melarang apa yang dia sukai, sama seperti waktu dia menerima perjodohanmu. Kalau seandainya Mami memilih Andin, pasti Mami sudah menolak saat ayahmu merencakan perjodohan itu."
Sherly membalas pelukan Lisa. "Terima kasih, Mi. Aku sangat senang sekali bisa bertemu orang tua sebaik Mami dan Papi. Seandainya malam itu aku tidak bertemu Tommy, mungkin aku dan Mami tidak akan pernah bertemu. Aku sangat menyayangimu, Mami."
Lisa mengeratkan pelukannya. "Mami juga sangat menyayangimu, Sayang. Mami sangat sayang padamu dan Tommy."
Di sisi lain.
"Tadi Papi tidak sengaja mendengar pembicaraannya di telepon dengan Tante Lenna. Itu sebabnya tadi Papi tidak keberatan kalau kau pergi membawa Sherly. Memang itu hal yang salah, tapi sampai sekarang pun mereka tidak tahu Sherly di mana," kata Charles.
"Sherly juga mendengar hal yang sama, Pi. Dia sudah mengatakan semuanya padaku, bahwa perjodohan yang dilakukan Om Harry tempo hari karena mengincar harta kita."
"Itu sebabnya Papi ingin menjual semua saham kita. Papi ingin lihat responnya seperti apa jika kita sudah tidak punya usaha lagi. Tapi Papi tidak akan membiarkan uang itu begitu saja, Papi akan membangun perusahan kontraktor seperti Pak Malik."
"Papi yakin?"
"Papi yakin. Toh ada kamu yang akan mengolahnya. Tapi Papi mohon, jangan beberkan rencana ini pada siapapun itu termasuk Sherly. Ini perusaha rahasia, yang tahu hanya Papi, kamu dan Mami."
"Papi akan membangunnya di mana?"
"Di Jawa. Jadi mereka tidak akan tahu siapa pemilik perusahan itu. Lagi pula perusahan Pak Malik sepertinya tidak akan lama lagi bakal tutup. Beliau sudah mengatakan pada Papi, setelah proyek besar ini selesai, ia akan istirahat untuk menikmati masa hidupnya." Membahas soal Pak Malik membuat Charles ingat sesuatu. "Ngomong-ngomong ada kabar baru," katanya seraya meraih cangkir kopi, "Andin sekarang menjadi sesprinya Pak Malik."
"Sesprinya Pak Malik? Kok bisa?" tanya Tommy penasaran.
"Entalah. Tadi dia sudah diinterview dan besok sudah mulai bekerja."
Tommy tak menjawab, tapi entah kenapa mendengar Andin menjadi sesprinya Pak Malik membuat hati Tommy terasa sakit.
Continued___
Jangan bilang kalau kau masih suka sama Andin ya, Tom. Ingat, sudah ada Sherly, lho. Hihihi.
Halo Sobat-Sobatku tersayang, terima kasih ya untuk kesetiaannya. Terima kasih juga untuk Kak Wew123, yang sudah menyumbangkan batu untuk cerita ini. Bagi Sobat yang suka sama cerita ini, tolong bantu dengan beri komentar di ulasan, ya. Terima kasih *)