Cindy terdiam, perkataan ayahnya memang benar. Untuk menjadi seorang dokter dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan juga tidak mudah. Bukan haknya untuk menghakimi kemampuan seorang dokter. Lagipula, apa haknya untuk mengatakan hal itu?
"Ayah sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian kalau-kalau terjadi hal yang buruk pada Ayah nantinya," sambung pria itu.
"Jangan bicara yang aneh-aneh, Yah. Ayah akan baik-baik saja," balas Cindy sendu.
"Iya, Ayah akan baik-baik saja," imbuh Sofi. Sang Ibu dan Anti saling berpandangan, seperti menyiratkan sebuah keberhasilan yang terpancar dari mata mereka.
Meski suasana sedikit tidak bahagia malam itu, keluarga Nugraha menyelesaikan makan malam mereka dengan tenang. Selesai makan malam, Cindy mengambil inisiatif untuk mencuci piring. Teguran halus dari Ibu tirinya cukup membuatnya tersinggung tadi. Ia tak ingin disangka malas hanya karena tidak membantu.
"Perlu kubantu? Tawar Sofi.
"Tidak perlu, aku bisa menanganinya sendiri, Kak. Pergilah nonton drama Korea kesukaanmu di sana," balas Cindy sambil memperingatkan jam dimulainya drama itu.
Sofi tersenyum dan berkata, "Baiklah kalau kamu tidak membutuhkan bantuanku." Ia lalu pergi ke ruang nonton dan duduk manis di sana.
Anti sibuk di kamarnya, entah apa yang dilakukan anak tertua itu, sedangkan Ayah dan Ibu sudah kembali dalam kamar mereka. Ada hal penting yang sedang mereka bicarakan di sana.
Peri mungil itu lalu memulai investigasinya. Ia harus segera menemukan manusia yang membutuhkan pertolongannya. Ia mulai dari gadis manis di ruang nonton.
"Kamu! Tega kamu! Aku menganggapmu sebagai Adikku namun apa yang kamu lakukan? Kenapa harus suamiku?"
"Aku mencintainya!"
"Plak!"
Percakapan antar pemain dalam drama itu cukup menguras emosi. Sofi yang tenang berubah menjadi sangat geram. Kepiawaian pemeran itu membuatnya terlarut dalam alur cerita.
"Seandainya aku adalah Jiwo, sudah aku jambak rambut Sohee," katanya.
Peri yang berada di sana menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia lalu terbang menuju kamar Anti yang ada di lantai dua. Belum sempat ia memasukinya, ia mengurungkan niatnya.
"Sudah sangat jelas bukan gadis ini. Ia terlalu jahat untuk ditolong. Maka, kalau bukan gadis di ruang nonton itu, berarti satu lagi yang sedang mencuci piring. Aku harap gadis inilah jawabannya. Aku sudah sangat lelah dengan pencarian ini." Peri itu berbicara sendiri lalu terbang menuju dapur.
Di sana, Cindy tengah asyik membersihkan piring kotor sambil sesekali bersenandung. Peri tadi hinggap di depannya, dekat keran air. Ia memandanginya lekat.
Mata Cindy menangkap sesuatu yang asing. Tangannya ia arahkan ke dekat keran. Peri yang berada di sana sedikit panik. Apa gadis itu bisa melihat keberadaannya? Pikirnya.
Tangan itu semakin mendekat ke arah sang peri. "Aku dalam masalah," ucap sang peri.
"Ah ini dia! Kenapa bisa ikat rambut ada di sini?" ucap Cindy. Mendengar perkataan itu, sang peri merasa lega. Setidaknya keberadaannya tidak diketahui oleh sang manusia.
Peri itu kembali tak senang. Lalu, bila Cindy pun tak bisa melihatnya, maka Cindy pun bukanlah manusia yang dimaksudkan. Peri itu mengacak rambutnya. Ini seperti sebuah teka-teki yang harus dipecahkan.
Peri itu memutuskan keluar sebentar. Ia mencari udara segar di luar rumah. Ia melihat seekor kucing putih di sana. Kucing yang manis dan juga sangat bersih. Ia menghampirinya.
"Meong," sapa kucing itu ramah.
"Apa kau sedang menyapaku meong?"
"Meong."
"Lucunya," ucap sang peri. Kini ia sudah berada di atas kepala kucing putih itu.
Dari luar peri itu melihat bayangan dua orang. Dari bayangan itu bisa terlihat sebuah argumen atau adu pendapat. Bayangan dengan berbagai macam gerakan tangan dan juga suara yang naik turun. Nampaknya, kepala rumah tangga dan sang istri tengah dalam perdebatan.
"Aku akan menuliskan surat wasiat untuk Cindy."
"Apa maksudmu, sayang? Apa kamu pikir kamu akan pergi meninggalkanku?" tanya sang istri.
"Aku hanya mempersiapkan semuanya. Semua orang bisa pergi kapan pun tanpa di tahu, apalagi keadaanku sangat tidak baik."
"Kalau begitu, buat juga untukku. Warisan apa yang aku dapatkan?"
Wajah sang suami terlihat tidak senang. Kalimat yang diucapkan sang istri seolah merelakan kepergiannya dengan syarat warisan.
"Kamu akan tinggal bersama Cindy. Harta Cindy adalah hartamu juga. Aku hanya melaksanakan perintah mendiang Ibunya."
"Apa maksudmu aku tidak mendapatkan apa pun?" tanyanya tidak senang. "lalu Anti dan Sofi? Kamu tidak lupa soal mereka kan? Mereka juga anakmu."
"Mereka adalah anakku, tentu aku akan memberikan sesuatu untuk mereka." Pria itu menarik panjang napasnya sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Hanya saja, sejujurnya aku ini tidak mempunyai apa-apa. Semua yang ada di sini adalah milik mendiang Ibunya Cindy. Aku harus bagaimana?"
"Ubah saja hak kepemilikannya. Mudah, 'kan?"
"Semua ini bukan milikku, tidak mengertikah engkau?" balas sang suami berusaha menjelaskan.
"Lalu apa semua itu hanya akan diberikan pada Cindy? Bahkan perusahaanmu itu? Berbaiklah pada Anti dan Sofi, berikan juga pada mereka sayang. Tidak masalah bila aku tidak mendapatkan apa-apa, aku mencintaimu apa adanya bukan karena kamu adalah orang kaya." Ia berusaha meyakinkan suaminya.
"Aku tahu. Hm ... aku tidak bisa, Mala ... sungguh. Semua ini bukan hakku. Aku juga ingin membagikan pada Anti dan Sofi ...." Belum sempat sang suami melanjutkan kalimatnya, istrinya keluar dan memanggil putri bungsu mereka.
"Cindy!" serunya sambil berjalan.
Cindy yang baru saja selesai mencuci piring langsung menjawab sambil mencari keberadaan Ibunya.
"Ya, Bu."
"Ayo ke kamar Ayahmu, ada hal penting yang harus dibicarakan," ucapnya sambil menarik tangan Cindy. Sofi yang berada di ruang nonton menghentikan aktivitasnya. Ia tahu akan ada hal penting sekarang. Sofi bergerak dan mengikuti mereka dari belakang.
Ibu dan Cindy sudah berada di sana. Peri yang berada di luar rumah juga memilih untuk masuk dan melihat langsung apa yang terjadi di sana sedangkan Sofi tetap tenang di balik pintu dan menyiapkan telinganya untuk menangkap pembicaraan rahasia mereka.
"Aku sudah bawakan sang pemilik warisan, sekarang kamu bisa memindahkan hak milik dengan persetujuannya."
Cindy bingung dengan perkataan sang Ibu. Hak milik? Warisan? Apa kira-kira yang mereka bicarakan?
"Ayahmu ingin membicarakan sesuatu yang penting sekarang. Ini tentang berbagi," terang Ibunya.
"Apa itu Ayah? Katakanlah padaku."
Wajah pria itu sedikit bingung. Ia bingung memulainya. Hal ini terlalu mendesak dan juga ia sangat tidak menyangka bila istrinya akan memintanya melakukan hal itu.
"Cindy, Ibu boleh bertanya sesuatu?" Tak kunjung bicara, akhirnya Ibu mengambil inisiatif untuk bertanya pada Cindy.
"Kamu menyayangi Anti dan Sofi, 'kan?"
"Tentu saja. Mereka adalah saudariku."
"Tepat sekali. Lalu, apa kamu sama sekali tidak keberatan untuk membagi hartamu menjadi sama rata?"
"Ha ... harta? Apa maksud Ibu?"
Hai Darlings!
Aku publish pagi-pagi biar klaian bisa membacanya sambil sarapan. Apa kabar kalian hari ini? Aku harap selalu sehat. Oh iya, jangan lupa masukan cerita ini dalam rak buku kalian ya agar tidak ketinggalan kisah selanjutnya.
See you on next chapter darlings!