ANOTHER YIZHAN ONE SHOOT
By Om_Rengginnang
.
.
.
Pukul 12 malam. Xiao Zhan berdiri sendirian di depan wajah pucat itu.
Wang Yibo memejamkan mata. Di dalam kamar VVIP , dia belum terbangun setelah satu minggu. Jujur, itu membuat Xiao Zhan tidak terbiasa.
"Semua salahmu."
Raut wajah orangtua Wang Yibo membayangi. Saat itu, mereka berdua berdiri di depannya berjajaran. Mengadili. Membuat jari-jemarinya semakin gemetaran.
Saat itu, Xiao Zhan baru saja keluar dari ruang UGD. Di tangannya, darah Wang Yibo berlumur sangat rata. Mengotori sepanjang lengan dan jas putihnya. Tiga peluru baru dia rogoh keluar dari tubuh kekasihnya itu.
Tiga peluru. Satu bersarang di perut, satu di bahu, dan satu lagi di tengkuk.
Yang di perut dan bahu bisa bisa keluar dengan aman. Namun yang terakhir berbeda. Peluru itu menembus celah tak biasa pada syaraf kesadarannya. Membuat dua kemungkinan. Seperti senjata makan tuan, menetap di sana akan menghentikan pendarahan dari otak, namun kehidupan Wang Yibo akan terus bergantung kepadanya. Jika diambil, pendarahan itu sulit dikendalikan dan kesadarannya akan surut. Singkatnya,Wang Yibo berada di ambang kematian setelah menjalani pilihan yang kedua saat ini.
Xiao Zhan tidak bisa berpikir lagi. Jika biasanya dia bisa sangat dingin menangani hal seperti ini, tetap tersenyum setelah pasien berhasil dioperasi... darah Wang Yibo justru terasa gatal di tangannya.
Xiao Zhan menjelma menjadi penderita hematophobia. Kemana pun dia melihat darah, dia segera pergi dan mencuci tangan. Wajah dingin Wang Yibo di meja operasi mengantui. Jemarinya masih merasakan halusnya kedalaman isi perut lelaki itu dengan jelas. Nafasnya bisa jadi memburu, dan makian ibu Wang Yibo justru kabur di telinganya.
"Kau keterlaluan! Bisa-bisanya... kau... kau... ..."
Xiao Zhan diam saja saat itu. Dia menunduk menatap lantai. Sementara ayah Wang Yibo memegangi istrinya dan membawanya menjauh dari sana.
Jam 2 pagi. Xiao Zhan tetap menunduk di sana sekali pun koridor rumah sakit sudah sepi. Seluruh tubuhnya kebas, dan air matanya baru mengalir setelahnya.
Membasahi sepatu.
Membasahi lantai dengan tetesan-tetesan itu.
"Ge, aku akan selesaikan masalahnya. Dan aku serius."
Dua minggu lalu, Wang Yibo membisikkan kalimat itu di telinganya. Di apartemen Xiao Zhan. Mereka baru bercinta lagi.
Wang Yibo berkata begitu sudah sejak dulu. Sebab dia bekerja sebagai Inspektur Polisi Pengawas Kelas satu di Changsa. Namun Xiao Zhan selalu melarangnya. Sebab kasus yang dialami ayah Xiao Zhan tidak masuk dalam kelas yang dia tangani. Salah seorang teman Wang Yibo sudah berupaya menyelesaikannya sejak Xiao Zhan mengajukan banding di pengadilan.
Kasus pun dibuka kembali, namun justru tidak menemukan titik temu yang memuaskan.
"Tidak perlu. Lagipula pengadilan sudah menutup kasus itu lagi."
Alis Wang Yibo mengerut saat itu. Dia terlihat tidak suka.
"Tapi Ayah Gege tidak salah. Gege sendiri yang bilang... Gege melihatnya hanya untuk menyelamatkan pria itu. Tidak tahu ditipu. Tidak tahu juga jika pria itu hanya pura-pura."
Xiao Zhan pun mengelus bahu Wang Yibo. Menenangkan. "Tapi pria itu berbahaya. Dia juga tidak pernah lagi menggangguku. Aku tidak apa-apa."
Xiao Zhan berpikir, semuanya sudah berakhir. Dia tahu ada yang tidak benar dalam kasus kematian ayahnya dua tahun lalu, sebelum dia mulai berhubungan dengan Wang Yibo. Tapi bahkan setelah dua kali kasus dibuka, semuanya berakhir hambar.
Teman Wang Yibo hanya menemukan pria yang menipu ayah Xiao Zhan telah mati. Pantas Xiao Zhan tak lagi merasa terhantui. Mulai telepon dari nomor asing, tengah malam seperti ada yang mengawasi, mengikuti, bahkan pernah membiusnya dan membiarkannya tertidur sepanjang malam di pinggiran irigasi jembatan...
Tapi Xiao Zhan tak pernah berhasil melihat rupa pelakunya.
Lalu siapa Wang Yibo? Dulu dia hanya lelaki yang menemukan Xiao Zhan terbaring di atas rerumputan. Dengan mulut mata tertutup dan tangan terikat, lalu membawanya pulang dan memberikan semangkuk ramen pereda lapar.
Xiao Zhan sampai tersedak saat mencicipi rasa masakannya pertama kali.
Di apartemennya, di meja itu, Wang Yibo justru bertanya dengan wajah polosnya. "Kau butuh air?" tanpa memperhatikan bagaimana perasaannya mengecap benda yang memenuhi mangkuk itu.
Xiao Zhan tertawa, "Ahaha... iya... boleh juga..."
Wang Yibo, "Sebentar..."
Begitu Wang Yibo pergi mencari sesuatu di kulkasnya, Xiao Zhan baru terbatuk-batuk dengan leluasa. "Ya Tuhan... mengerikkan..." batinnya menahan ngilu.
"Ini..."
Xiao Zhan berdehem dengan wajah dihiasi senyum saat Wang Yibo kembali. Sebuah botol air dingin dan satu gelas kosong di tangannya. Dia bahkan menuangkannya untuk Xiao Zhan lebih dulu sebelum diberikan.
"Terima kasih..."
Wang Yibo tersenyum tipis dan kembali duduk di depannya. "Maaf airnya lupa kubawa tadi," katanya. Lalu melanjutkan santapan malamnya sendiri.
Xiao Zhan lalu menoleh ke pojokan. Disana ada headstick yang menggantung seragam polisi Wang Yibo. Kemeja dalamnya berkerah biru. Xiao Zhan langsung tahu Wang Yibo bukan lelaki sembarangan.
Dia polisi. Inspektur. Hidup sendirian di tempat ini, meski Xiao Zhan yakin Wang Yibo bisa lebih dari itu. Wang Yibo pasti punya alasan khusus. Lagipula dia menyantap makanan dengan rasa semengerikkan itu dengan wajah seperti menggigit kalkun bakar. Dia juga terlihat senang merepotkan diri dengan masakan sendiri meski Xiao Zhan tahu dapurnya jadi terlihat tidak rapi.
Wang Yibo, "Namamu siapa?"
"Apa?"
"Namaku Wang Yibo."
Xiao Zhan tak sadar mengaduk-aduk ramennya dengan sumpit saat menjawab. "Xiao Zh...."
Suaranya pun memelan.
"Xiao... apa?"
"Xiao... Zhan."
Wang Yibo tersenyum, "Oh..."
Dia tak bertanya lagi setelah itu. Mereka menyelesaikan makan malam, Wang Yibo mengantarnya pulang (dengan alasan orang yang mencelakai Xiao Zhan bisa menyerangnya lagi di jalan) lalu berdiri di depan pintu apartemennya dengan tak berkedip selama beberapa detik ke satu arah: nomor pintu apartemen Xiao Zhan.
"Terima kasih..." kata Xiao Zhan. Suaranya menyadarkan Wang Yibo dari lamunan.
Wang Yibo, "Tak masalah..."
Xiao Zhan tetap disana dan menunggu Wang Yibo pergi. Tapi tidak.
Canggung, Xiao Zhan pun membuka suara lagi. "Selamat malam..." dia bahkan menggenggam kenop pintu yang ingin segera dia tutup itu.