webnovel

TERUSIK

Hari-hari kembali seperti biasa, begitu juga Gita. Namun, suasana tidak sesantai sebelumnya. Berita soal putusnya Gita dengan Zaki membuat kehebohan yang mengusik.

Gita kembali mendapati surat cinta lagi. Ada juga yang menyatakan perasaannya langsung serta ada yang sengaja mengejek dan mengusilinya bermaksud menarik perhatian Gita.

Hah! Dia sudah lelah. Gita merasa hatinya tidak setangguh dulu sebelum mengenal cinta remaja ini. Dia selalu merasa bersalah kepada Zaki yang sering kali mendapati Gita berdua dengan laki-laki yang berbeda.

Tatapan kebencian Zaki terpancar saat melihat Gita, seakan berkata 'Tolong kamu pegang janjimu!' yang membuat hati Gita semakin sakit. Padahal situasi Gita saat itu hanya menolak ajakan untuk pacaran dari yang lain.

"Zaki, kenapa kamu enggak selembut sebelumnya. Aku juga sakit, ini hanya masalah waktu. Bila kita berjodoh kita pasti bersama lagi setelah dewasa nanti. Sabar, Ki," lirihnya dalam hati melihat sosok Zaki pergi.

Gita tidak lagi sering bertengkar. Dia selalu mengacuhkan siapa saja yang mendekatinya dan mengabaikan surat-surat kaleng yang hanya melihat nama si pengirim lalu dibuang ke tempat sampah.

Ketenangannya selalu terusik. Namun ia sadar dan tidak bisa marah. Siapa saja bisa suka pada siapa pun, tidak bisa dilarang dan dipaksa.

"Mas, lagi apa?" Gita mengetik pesan chat pada seseorang. Sejurus kemudian, ia langsung mendapat balasan.

"Baru selesai makan, tadi Zuhur dulu. Kamu udah pulang?" jawab Barra membalikkan pertanyaan.

"Masih di depan mushollah. Mau pulang. Ya udah Mas, ketemu nanti malam. Gita ikut Ayah ngaji kayaknya, biar hilangin suntuk," sambung Gita.

"Ya, udah. Hati-hati di jalan. Istirahat jangan lupa. Mas tutup, ya? Assalamu'alaikum?" salam Barra.

"Ya, Mas. Wa'alaikumsalam!" jawab Gita dan langsung mematikan ponselnya.

Beberapa hari ini cuaca serasa redup. Dan bila malam hari, hujan turun. Melihat buah sawo yang bertebaran di halaman membuat Gita memiliki ide. Namun baru saat ini kembali teringat olehnya.

Gita yang merasa bosan setelah pulang sekolah, memutuskan memanjat pohon sawo di halaman depan rumahnya. Ia teringat pesanan Dian yang meminta dibawakan buah sawo dari pohon di halaman rumah Gita yang rasanya memang manis.

Mendung di hatinya teralihkan sedikit dengan memilah buah sawo yang cukup besar untuk dipetik. Dibawanya kantong plastik yang besar untuk tampungan buahnya. Hasil yang didapat cukup banyak walau hanya dengan waktu yang singkat. Sebab kebetulan buahnya sudah siap untuk dipanen.

"Segini banyak enggak mungkin buat Dian aja, kan? Bagi dua sama Anti aja, ya? walau dia enggak doyan, kan bisa dikasih buat mamanya aja!" ucap Gita sendirian.

***

Malam hari, sekumpulan orang tua dan beberapa pemuda serta beberapa kaum ibu nampak kusyuk mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan Barra.

Ya, Barra memang pandai mengaji. Dibanding menyanyi dia lebih senang mengaji. Membaca Al Qur'an dan membuat hatinya lebih tenang.

Ketenangan juga dirasakan Gita yang mendengarkan lantunan merdu tersebut. Keputusannya ikut bersama ayahnya mengaji memang tidak salah. Di sana, pikiran dan hatinya yang terusik, teralihkan bahkan serasa disegarkan kembali.

Hingga pengajian usai dan waktunya berpamitan.

"Pak Hasan biar saya bonceng aja, mau?" ajak Sayuti pada Pak Hasan.

"Makasih, Sayuti, Bapak naik angkot aja. Sekarang, kan bawa Gita juga," tolak Pak Hasan halus.

"Gita sama Barra aja, Yah! Ayah ikut Sayuti aja, ya? Lagian udah mau hujan, Yah!" bujuk Barra yang disetujui ayah angkatnya itu.

"Ya, sudah kalau gitu saya pamit, ya, Bapak-bapak semua. Assalamualaikum?" pamit Pak Hasan pada jamaah pengajian yang kemudian serempak menjawab salamnya.

"Maaf ya, Sayuti, Bapak ngerepotin?" ucap segan Pak Hasan.

"Enggak, kok, Pak! Kan saya yang ngajakin, lagian saya juga belum mau pulang, mau cari angin dulu hehe!" jawab Sayuti cengengesan.

"Mas, Gita bingung, kenapa sih, teman yang lain di sekolah pada usil? Padahal yang suruh Gita pakai kerudung Bu Shifa. Jadi kenapa mereka yang pada heboh, sih?" tanya Gita kepada Barra sambil mengguncang sedikit baju di pinggang Barra yang sedari tadi dipegangnya sebagai pengaman.

"Ya, mungkin karena lihat perempuan cantik, jadi cari-cari perhatian kamu," jawab Barra asal karena dia juga sedikit jengkel mendengarnya.

"Ish, Mas ini! Orang udah serius juga, dianya malah becanda!" rajuk gadis kecil itu sambil memukul pelan pundak kanan Barra sambil mengerucutkan bibirnya.

Degh!

"Aduh manisnya Ya Allah, godaan apa ini? Melihat rengekannya saja aku bahagia, bagaimana bila senyumnya hanya ditujukan untukku?" jerit batin Barra senang.

"Mas serius! Kamu memang cantik, loh! Sebelum berkerudung aja udah cantik, apalagi sekarang berkerudung terus. Wuih, makin kelihatan cantiknya. Semoga berkerudungnya istiqomah dan enggak dilepas lagi, ya!" lanjut Barra.

"Aamiin Ya Allah. Semoga Gita bisa terus tutup aurat, ya Mas! Kasihan ibu sama ayah nanggung dosa Gita terus karena buka aurat," ucapnya membalas doa Barra tadi.

"Iya, buka auratnya pas waktu ada Mas aja, ya! Jangan di depan orang lain," canda Barra menggoda Gita dan membuat Gita bingung.

"Loh, kok gitu, Mas?" tanyanya kebingungan sambil kembali menepuk pundak Barra namun kali ini sedikit kencang.

"Aduh, Gita. Sakit ini, loh! Kita lagi di jalan ini, untung jantung Mas masih sehat, gimana coba kalau Mas Barra kaget terus kita jatuh? Kan, enggak lucu!" rengek Barra memelas. Padahal tidal sakit sama sekali, walau sedikit kaget.

"Iya maaf, Mas! Habisnya Mas Barra bercanda terus. Gita serius dari tadi ngobrolnya, eh! Mas malah bercanda terus. Terus apa coba maksud omongan Mas tadi? Kok Gita boleh buka aurat sama Mas aja? Itu dosa juga kali, Mas?" tanya Gita dengan nada dan raut wajah yang polos.

Dilihat Barra wajah Gita yang imut saat berkata dari kaca spion sepeda motor sebelah kanannya. Barra terenyuh berkata dalam hati, 'Polos sekali gadis kecilku ini,'

Sambil menghela napas dan kembali menjawab pertanyaan Gita, namun kali ini dengan nada yang serius. Diberhentikannya sepeda motor itu dengan menurunkan landasan sepeda motornya agak bisa menopang berat mereka dengan seimbang.

Barra berbalik ke arah Gita, dan membuat Gita terheran-heran hingga bertanya kembali, "Mas, kok berhenti di sini, sih? Habis bensin ya, Mas? Aduh, gimana ni, Mas? Malah udah malam, mau hujan lagi, nanti ditungguin ibu sama ayah, loh!"

Barra memperhatikan raut cemas di wajah polos Gita. Sambil tersenyum, Barra menjawab semua pertanyaan bertubi-tubi dari Gita tadi.

"Git, Mas mau tanya. Kalau Mas bilang kalau Mas suka sama kamu, gimana? Tapi Mas enggak mau pacaran. Mas maunya nikah, dan itu hanya sama kamu. Jawaban kamu apa?" tanya Barra serius.

Entah apa yang membuat Barra mengungkapkan pernyataan serius itu dengan mudahnya. Entah apa juga yang membuat kalimat yang sedari tadi terdengar asal hingga menjadi pembahasan yang serius.

Cetar!

Suara petir berbarengan dengan suara geluduk dari langit, pertanda semakin dekatnya waktu air hujan akan turun mengagetkan mereka berdua dari situasi kaku tersebut.

Bersambung…

下一章