Audrey menuangkan air panas di bak mandi kayu dalam kamar mandi Pangeran Rhysand. Ia mencampurkan air panas itu dengan air dingin. Ia mengukur suhunya dengan tangannya. Memastikan, air panas itu sudah tercampur sempurna hingga tidak akan melelehkan kulit seseorang.
Ketika ia bangkit, ia melihat Pangeran Rhysand masuk ke dalam kamar mandi. Ia mengenakan jubah kamar mandi.
Audrey menunduk ketakutan.
Jangan, jangan lakukan apa pun bayi besar! Jangan buka pakaian di depanku! Batin Audrey meronta-ronta.
Ia tidak mau menodai matanya sendiri dengan bayangan seorang lelaki dewasa! Sungguh.
Pangeran Rhysand mulai membuka jubahnya. Jubahnya itu terlepas ke lantai.
Audrey mendelik. Ia melihat jubah putih sudah tergeletak ke lantai.
"Apa yang kaulakukan? Cepat." tanya Rhysand kepadanya.
"Apa yang kulakukan?" Audrey mengulang pernyataan dari Pangeran Rhysand seperti orang bodoh.
"Iya, apa yang kaulakukan di sini, rakyat jelata?" tanya Pangeran Rhysand.
Audrey mengangkat tatapannya kepada Rhysand. Lelaki itu sudah bertelanjang dada. Lekukan otot dadanya tercetak begitu indah. Kulitnya selembut kulit bayi dan yang paling menakjubkan ialah kulitnya itu bersinar selayaknya mutiara.
Deg. Deg.
Napas Audrey tercekat disuguhi dada bidang lelaki itu.
"Apa yang kaulakukan?"
Sial. Kakinya tidak bisa bergerak. Ia terpaku di tempat.
"Kau ingin melihatku mandi?"
Napas Audrey memburu. Matanya masih melotot melihat dada menakjubkan itu. Indah dan memukau.
"Hei! Kau benar ingin melihatku mandi?" seru Rhysand berintonasi tinggi.
Audrey tergeragap. Tubuhnya seperti tersengat listrik karena menyadari posisinya. "Maafkan saya, Tuan."
Secara refleks, Audrey mengambil jubah Pangeran Rhysand yang tergeletak di lantai lalu menutup pintu kamar mandi itu dengan cepat. Sampai berbunyi berdebum.
Ia memegangi dadanya sendiri. Deg, deg, deg, deg.
Jantung! Kumohon, berhenti berdetak.
Deg, deg, deg.
Sial, kenapa tubuhnya begitu seksi?
Deg, deg, deg.
"Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan." Audrey mengerucutkan bibirnya. Diembuskan napas pelan dari bibirnya. Seperti meniup lilin.
Barulah, jantungnya itu terkontrol. Oh Tuhanku. Ia tidak semestinya berdiri dan megagumi otot-otot itu!
Audrey menyadari jubah yang dipegangnya. "Sial, sial! Ini karena Adaline!"
*
Rhysand mengguyurkan beberapa tetes air ke tubuhnya sendiri. Di bak mandi ini, ia mendapati beberapa kelopak bunga mawar. Aromanya harum.
Setidaknya, gadis itu bisa menyediakannya keperluannya mandi. Rhysand keluar dari bak kamar mandi. Ia sudah berendam cukup lama, ia tidak mau kulitnya melar dan kehilangan elastisitasnya.
Ditatapinya wajahnya sendiri di depan cermin. Rhysand memakai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Disentuhnya tubuhnya sendiri.
Ia memiliki bilur bekas luka yang menyedihkan di bagian punggung.
"Sial, tadi, gadis itu lihat tidak, ya?"
Selama ini, Rhysand tidak mengizinkan siapa pun untuk melihat bekas luka ini. Ia menganggap bekas luka yang ada di tubuhnya adalah suatu aib dan kenangan buruk.
Ia tidak mau siapa pun melihatnya.
Termasuk para pelayannya.
Padahal, biasanya para maid istana juga bertugas untuk memandikan mereka. Ayahnya, Raja Esdras juga dimandikan oleh para maid. Begitu pula dengan kakaknya, Osvaldo Grissham. Ia memiliki maid yang juga memandikan mereka.
Namun, Rhysand tidak akan mengizinkan siapa pun untuk menyentuh bekas lukanya.
Rhysand beralih mencari jubah kamar mandinya. Matanya memindai tiap sudut kamar mandi.
"Biasanya ada di sini."
Rhysand menyapukan matanya di lantai kamar mandi.
Tidak ada! Tidak ada di mana pun!
Di mana tadi ia meletakkan jubahnya?
Kepala Rhysand mencoba untuk memeriksa kembali ingatan yang baru saja terjadi padanya.
Ia melepaskan jubah kamar mandinya begitu saja. Membiarkannya menjuntai di lantai. Kemudian, ia berdebat dengan perempuan itu.
Oh, astaga! Ia tidak melihatnya ketika gadis itu pergi.
Rhysand menutup wajahnya sendiri.
"AUDREY!!!"
*
"AUDREY!!!"
Audrey menelan ludahnya. Telinganya itu tidak tuli. Erangan Pangeran Rhysand terdengar sepanjang lorong lantai lima itu.
Seluruh maid yang ada di sana ikut meneguk ludah mereka. Ketakutan.
Padahal baru saja, Audrey bergabung dengan seorang wanita yang mengurus pakaian Pangeran Rhysand. Ia baru saja menyerahkan pakaian kotor bayi besarnya.
"Itu, kau dipanggil." tutur Jessylin penanggung jawab pakaian Pangeran Rhysand.
"Ah, ya."
Jessylin memberikan pakaian Pangeran Rhysand yang melipit kepadanya. Audrey tergopoh-gopoh berlarian sepanjang lorong membawakan pakaian Pangeran Rhysand.
Audrey beruntung menemukan Jessylin sedang mengitari ruangan membawa kereta dorong pakaian kotor dan seprai kotor. Untungnya, ia juga bertanya ke mana ia harus meletakkan jubah Pangeran Rhysand.
Ketika sudah sampai di depan kamar mandi, Audrey mengetuknya perlahan.
"Masuk." Dingin suara Pangeran Rhysand membuat Audrey bergidik.
Semoga saja, kemarahan Pangeran Rhysand semata-mata karena ia tidak menantinya mandi. Semoga.
Audrey masuk ke dalam kamar mandi Pangeran Rhysand. Lelaki itu duduk dengan wajah memerah. Sudah jelas, ia marah.
"Ini pakaian Pangeran Rhysand."
"Di mana jubah mandiku?"
"Aku sudah menyerahkannya kepada penanggung jawab pakaian kotor."
"Kau meletakkannya dalam kereta dorong?" Rhysand mendengus kesal.
O-ow. Audrey meringis. Tampaknya, ia menciptakan suatu kesalahan dengan mencemplungkan jubah itu ke dalam kereta dorong itu.
"Jadi, kau benar-benar meletakannya dalam kereta dorong berjalan itu?" tanya Rhysand lagi. Kali ini nadanya kian meninggi.
"Betul, Tuanku Pangeran."
"Kau menyuruhku mengenakan pakaian ketika tubuhku sedang basah?"
Audrey membungkam mulutnya. Bodohnya, ia meninggalkan handuk dan jubah Pangeran Rhysand. Padahal, Miss. Adaline sudah jelas mewanti−
wanti dirinya untuk tidak melupakan handuk itu.
"Hoah. Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi di sini. Bagaimana bisa, kau begitu... begitu tidak becus?"
Audrey memejamkan matanya sesaat. Ia menunduk di hadapan Pangeran Rhysand.
Pangeran Rhysand berdiri dari tempatnya.
Audrey memejamkan matanya kian erat. Ia siap menerima apa pun. Tamparan, pukulan, atau hinaan lainnya.
Akan tetapi, Pangeran Rhysand hanya berjalan sambil menyambar pakaiannya.
"Keluarlah dari sini sebelum aku membentakmu lebih keras."
Langkah kecil Audrey menjauhi Pangeran Rhysand. Tatkala jemari mungil Audrey memutar kenop pintu, Pangeran Rhysand berbisik kepadanya. "Mulai hari ini, kau tidak perlu mengurusku. Aku muak melihatmu."
Mata Audrey membulat. "Pangeran."
"Pergilah sebelum aku mengusirmu dan ingin memancungmu." ujar Rhysand. Giginya itu sudah berkeletuk. Jelas sekali, ia meredam amarahnya.
Melihat ekspresi Pangeran Rhysand yang sudah begitu marah, Audrey undur diri dari sana.
Ditutupnya pintu kamar mandi Pangeran Rhysand.
Audrey menuruni tangga satu per satu. Ia sedikit menggerutu.
"Aku tidak tahu sama sekali tentang dunia maid. Aku buta. Aku bahkan tidak bisa membaca. Bagaimana aku bisa−
"
Gerutuan Audrey terhenti seketika. Ia berpapasan dengan sosok Mademoiselle Edeva.
"Mengapa kau ada di sini, bukankah kau seharusnya mendampingi Pangeran Rhysand?"
Audrey mematung. Ia tidak tahu harus menjawab apa kepada Mademoiselle Edeva.
*