webnovel

43-No More Hope

"Jangan sentuh! Najis!" Merapi berseru tidak terima ketika seorang pria menyeretnya turun dari mobil. Kedua tangannya diborgol. Arisa dan Susan juga begitu. Mereka berdua berontak minta dilepaskan, tetapi berubah diam tak berkutik ketika pasukan benteng menodongkan senjata ke arah mereka, menyuruh mereka maju berjalan. Tidak ada gunanya melawan. Mereka bertiga pasti akan kalah.

Mobil yang membawa Arisa dan teman-temannya baru saja sampai ke benteng beberapa detik yang lalu. Arisa mengedarkan pandang ke sekitar. Tidak ada mobil yang membawa Biru, Arival, dan Sarah. Kemungkinan besar mereka dibawa ke tempat yang berbeda.

Arisa menghela napas ketika ia memasuki sebuah lorong. Di belakangnya ada beberapa pasukan yang masih menodongkan senjata ke arahnya dan kedua temannya.

Mendekati perempatan lorong, Arisa bisa melihat seseorang yang tidak asing berjalan ke arahnya. Seseorang yang pernah ia lihat sebelumnya. Seseorang yang menjadi penyebab atas segala hal yang terjadi padanya dan orang lain.

"Pada akhirnya kalian bertiga kembali ke sini juga," ujarnya ketika telah dekat, tersenyum mencela.

Tangan Arisa terkepal kuat.

"Sial!" Merapi bergerak ingin menerjang pria di depannya, tetapi tubuhnya langsung ditahan oleh satu pria di belakangnya. Merapi berontak, berseru memaki seseorang yang Arisa ketahui bernama Arktik itu. Pria yang merupakan paman Biru.

Arktik mendengus tidak peduli. "Bawa mereka berdua langsung ke lab. Arisa jangan. Aku ingin berbicara dulu dengannya." Ia menunjuk Arisa, memerintah bawahannya, lalu berbalik pergi.

"APA?!" Arisa melebarkan mata, menatap tidak percaya. Bukan karena Arktik yang memisahkannya dengan kedua temannya, melainkan karena ia memerintah bawahannya untuk membawa Susan dan Merapi ke lab. Bagaimana jika mereka berdua akan dipanen? Ini sungguh buruk!

"Kalian nggak bisa lakuin ini ke kita!" Susan berucap tidak terima, meronta minta dilepaskan. Merapi berkali-kali mengumpat di seberang sana. Tetapi pasukan di belakangnya segera menyeretnya berbelok ke lorong sebelah kiri.

Arisa tidak bisa melakukan apapun. Pria di belakangnya langsung menariknya kasar entah kemana. Pria itu menodongkan senjata jika Arisa memberontak, meskipun Arisa tahu pria itu tidak akan menembak mati dirinya.

Arisa ingin menangis sekarang. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Susan dan Merapi. Bagaimana jika mereka berdua tidak selamat?

"Cepat masuk!" Pria tadi mendorong Arisa masuk ke sebuah ruangan. Ia menyeretnya untuk duduk di atas kursi di sisi paling ujung, melepas borgolnya. Ia ganti mengunci kedua tangan dan kaki Arisa dengan pengunci logam yang telah menempel di kursi.

"Lepasin!"

Seruan Arisa benar-benar tidak berguna.

Beberapa detik kemudian, Arktik masuk. Pria berumur sekitar setengah abad itu memberi isyarat pada pria yang membawa Arisa tadi untuk keluar ruangan. Ia menarik kursi di dekat pintu lalu menaruhnya di depan Arisa. Ia duduk di sana, tersenyum menatapnya.

"Ingat siapa aku, Arisa?" Dia bertanya.

"Iblis. Orang jahat."

Pria di depan Arisa terkekeh. "Jahat itu relatif. Di dunia seperti ini, tindakanku itu sangat wajar. Lagipula aku terpaksa melakukannya."

Arisa berdecih, "Yang kamu lakuin itu murni kejahatan. Terpaksa? Nggak ada orang yang terpaksa bunuh beratus-ratus orang di dunia ini. Itu belum termasuk ilmuwan yang kamu bunuh karena ngelawan kebijakanmu. Semua itu murni keinginanmu, bukan karena terpaksa." Tangan Arisa terkepal kuat saat mengatakannya.

"Biru sudah bercerita banyak, ya?" Arktik bertanya retoris. "Tapi aku akan menceritakan hal itu lagi padamu, Arisa. Lebih jelas dan dari sudut pandangku."

Arisa mendengus tidak peduli.

"Aku mempunyai istri dan dua orang anak. Mereka tidak kebal, aku juga begitu. Aku pergi menyelamatkan diri bersama keluargaku. Istri, anak, kakak, dan adikku, termasuk keluarga Biru. Kamu pasti sudah tahu, papa Biru itu kakakku. Biru sendiri kebal karena gen mamanya."

Jeda sebentar.

"Orang yang selamat dan bertempat tinggal disini lalu memilih kakakku untuk menjadi pemimpin tempat baru kami. Semua berjalan baik-baik saja. Vaksin untuk kekebalan sementara juga telah ditemukan. Setiap beberapa minggu sekali, aku dan keluargaku akan disuntik. Semua orang juga begitu. Mereka tidak tahu banyak dari mereka memiliki kekebalan alami sejak lahir. Tapi banyak juga orang yang tidak memiliki kekebalan akhirnya terserang virus beberapa tahun kemudian."

Arisa hanya diam.

"Istriku salah satunya. Setelah lima tahun tinggal di benteng, ia melahirkan seorang anak laki-laki, anak keduaku. Bayiku sehat dan bisa bertahan sepuluh tahun kemudian. Tapi istriku tidak, dia terjangkit. Setelah ia tahu hal itu, tanpa sepengetahuanku dia pergi dari benteng. Dia tidak ingin keluarganya melihatnya berubah menjadi makhluk mengerikan. Dia meninggalkanku dan kedua anaknya," terang Arktik. Arisa terdiam, agak terkejut, tetapi ia bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Itu belum selesai. Anak keduaku terjangkit virus sepuluh tahun kemudian. Virus mengubahnya. Aku melihat bagaimana perubahan fisiknya yang sangat signifikan setiap jam. Kamu bisa bayangkan bagaimana perasanku, Arisa? Aku tahu aku harus segera membunuhnya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak mampu. Akhirnya aku membuatkan tempat tinggal untuknya di luar benteng tanpa membunuhnya. Perbuatanku mungkin terdengar gila. Tapi aku sangat bersyukur beberapa tahun kemudian."

Arisa tersenyum getir mendengar ucapan terakhir Arktik. Itu pasti karena ibunya yang telah menemukan penawar sekaligus kekebalan atas virus Moscow dua setengah tahun yang lalu. Penemuan yang mungkin sangat ibunya sesali saat ini. Penemuan yang katanya juga merenggut sahabat ibu temannya atau sahabat ibu Arisa, Bibi Ausans.

"Aku sudah memimpin benteng di Jogja saat ini. Biru pasti sudah berceritakan? Papa dan mamanya meninggal karena kecelakaan. Helikopter mereka jatuh setelah pulang dari Benteng Jakarta. Aku yang menggantikan kakakku memimpin benteng setelah itu. Tiga tahun yang lalu, putri pertamaku juga mulai menunjukkan tanda-tanda terserang virus. Tapi perubahannya lambat, berbeda dengan orang-orang yang terinfeksi biasanya. Aku tahu dia berusaha mati-matian melawan virus yang mulai mengambil alih tubuhnya. Kamu bisa bayangkan bagaimana menjadi diriku, Arisa? Istriku dan anak-anakku satu persatu pergi meninggalkanku karena virus itu." Arktik tersenyum sedih. Kerutan tanda penuaan menghiasi wajahnya. Rambut dan janggutnya yang mulai memutih menambah kesan tua pada wajahnya.

"Jadi karena itu kamu jadi balas dendam ke orang-orang kebal?" Arisa tidak peduli dengan ucapan Arktik sebelumnya. Baginya Arktik tetaplah orang jahat yang menipu dan membunuh orang-orang tak bersalah apa pun alasannya.

"Sama sekali tidak ada dendam di sini. Aku hanya mengambil kesempatan yang ada. Terlebih aku memiliki kekuatan besar di benteng ini. Kenapa tidak memanfaatkannya?"

Arisa mengumpat dalam hati. "Pemimpin menjijikkan. Indonesia emang selalu menderita di tangan penguasa kayak kamu. Nggak adil, egois, dan semena-mena. Kamu tahu, aku percaya orang kayak kamu selalu hancur pada akhirnya. Dua anakmu nggak tahu kan kenapa mereka bisa sembuh? Aku yakin mereka bakal kecewa berat setelah tahu!" Arisa tersengal, berusaha mengendalikan napas. Dadanya kembang kempis, berusaha menahan emosi yang mulai meluap-luap.

Arktik malah menyeringai jenaka. "Jangan bawa-bawa Negara Indonesia, Arisa. Kamu tahu Indonesia sudah hancur sejak 20 tahun yang lalu kan? Tidak ada Indonesia lagi. Dan jangan sama-samakan aku dengan penguasanya terdahulu. Tapi kita hentikan membahas tentang Indonesia. Aku akan melanjutkan ceritaku. Itu belum selesai."

Rahang Arisa mengatup kuat. Sekali lagi, dia hanya bisa diam.

"Kamu tahu kan ibumu Arina adalah ilmuwan terjenius dan terhebat di benteng? Tepat sebelum putriku benar-benar berubah, aku mendengar kabar bahwa ia berhasil menemukan penawar untuk orang-orang yang terinfeksi serta memberinya kekebalan. Aku merasa bahagia mendengarnya. Aku meminta penawar yang telah ditemukan itu untuk menyembuhkan putriku. Ibumu memberikannya. Tapi saat aku meminta untuk dibuatkan penawar, ibumu bersikeras menolak, bilang dia tidak akan membuat penawar itu lagi. Aku baru tahu jika penawar itu didapatkan dengan mengorbankan nyawa orang lain. Ausans yang menjadi percobaan pertama harus terenggut nyawanya. Tapi aku tidak punya pilihan, Arisa. Aku ingin semua keluarga yang kupunya sembuh dan memiliki kekebalan, termasuk diriku. Ilmuwan yang tahu hal itu segera menentangku, termasuk ibumu. Dan setelah itu... kamu pasti sudah tahu."

"Kamu bunuh mereka semua..." desis Arisa, menatap benci seseorang di depannya. Segala sesuatu yang Biru ceritakan kemarin malam tentang keburukan-keburukan Arktik mendadak terngiang di kepalanya. Termasuk tindakannya yang menjebloskan ibunya ke penjara bawah tanah yang dingin dan lembap selama dua setengah tahun.

Kenapa manusia di depan Arisa bisa sejahat itu?

"Kamu berbicara seakan aku telah membunuh semua ilmuwan di benteng saja. Aku hanya membunuh mereka yang melawanku. Yang lainnya, kuperintahkan tutup mulut. Ibumu tidak kubunuh karena ia yang menemukan penawar itu pertama kali. Bisa dibutuhkan suatu saat nanti. Setelah itu, aku membentuk sebuah divisi yang berisi ilmuwan yang berpihak padaku untuk mengurusi pemanenan penawar."

Arktik memberi jeda.

"Kamu tahu, Arisa. Semua berjalan sesuai skenarioku sampai kamu tiba-tiba datang merusaknya. Andai saja aku memberi penjagaan lebih padamu saat itu, kamu tidak akan bangun dan keluyuran di luar gedung lab dan menemukan ibumu. Aku tahu kamu langsung menceritakan apa yang kamu lihat pada Biru di permainan pikiran, membuatnya bergerak mencari tahu. Kamu berbeda dengan yang lainnya, Arisa. Sampai sekarang bahkan aku tidak tahu mengapa perlu bius dosis besar untuk melumpuhkanmu. Tapi yang pasti, kamu adalah penghancur segalanya."

Arisa tersenyum miring, "Sepintar apapun kamu nyimpen bangkai, baunya bakal kecium gimanapun juga. Aku baru aja bilang kan, orang kayak kamu bakal hancur pada akhirnya."

Arktik tertawa. "Jangan senang dulu. Kamu lupa ya kedua sahabatmu sedang sekarat di ruangan jauh di sebelah sana. Beberapa menit lagi, kamu akan sama seperti mereka," ujarnya. Arisa terperangah. Raut wajahnya langsung berubah mendengarnya.

Susan dan Merapi... mereka sekarat? Arisa sungguh tidak bisa mempercayainya.

"Tolong jangan lakuin itu ke mereka..." Raut wajah Arisa memelas, berubah 180 derajat dari dirinya sebelumnya. Dia kembali pada mode yang sama saat ia berbicara pada Arival agar tidak menghabisi keluarganya di permainan pikiran kala itu. Hanya saja ini di kondisi genting dan nyata. Susan dan Merapi dalam keadaan bahaya. Nyawa mereka berdua ada di ujung tanduk. Arisa sudi memelas jika itu cara terakhir yang bisa menyelamatkan mereka.

Arktik menyeringai, "Tidak ada yang bisa mengubah keputusanku. Tidak perlu memelas seperti itu. Sedetik yang lalu kamu angkuh sekali padahal."

"Antivirus itu udah ditemuin. Kenapa orang-orang kebal di benteng masih kamu eksploitasi?! Kalau kamu terpaksa ngorbanin nyawa orang lain demi keluargamu, itu masih wajar. Tapi bukannya semua keluargamu udah sembuh? Cuma tinggal istrimu yang belum ditemuin. Untuk apa kamu ngorbanin nyawa sebanyak itu setiap tahun?

Arisa mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Antivirus? Wow... Sepertinya Sarah telah memberitahumu, ya?" Arktik balik bertanya retoris. "Untuk alasan mengapa aku melakukan hal itu... sepertinya kamu tidak perlu tahu. Aku hanya mempergunakan kesempatan demi kebaikan. Banyak nyawa orang lain yang lebih penting untuk diselamatkan."

Sial.

Arisa menatap tidak percaya mendengarnya. "Jadi kamu bilang nyawa kita nggak penting? Itu bukan kebaikan sama sekali, Bego! Semua orang punya hak untuk hidup!" Nada bicara Arisa meninggi. Berteriak tidak terima sembari menghentakkan kedua tangan dan kakinya agar terlepas dari pengunci logam.

"Persetan dengan HAM, Arisa. Ini bukan zaman ibumu. Tidak ada lagi Hak Asasi Manusia di dunia ini. Semua warga dunia telah melanggarnya sejak Perang Dunia Ketiga terjadi. Mereka menghabisi dengan bengis sesamanya. Memborbardir, membunuh dengan senjata biologi, mengalirkan darah orang-orang tak bersalah. Karena perbuatan mereka juga dunia menjadi berubah. Virus Moscow menguasai manusia. Hak hidup sudah tidak penting.

Arisa menatap nanar pria di depannya, "God damn you..." desisnya.

Arktik tersenyum miring, beranjak berdiri. "Sudahlah, aku harus pergi. Melihatmu nampak menyedihkan seperti ini membuat kekesalanku padamu sedikit terobati. Kamu benar-benar membuatku bingung memikirkan bagaimana cara menghadapi kedua anakku dan Biru nantinya."

Arisa tersenyum kecut.

"Ini hari terakhirmu hidup, Arisa. Sekarang tidak ada yang bisa menyelamatkanmu dan kedua temanmu seperti kemarin. Ketiga temanmu yang kemarin tampak heroik menyelamatkan sahabatnya sekarang diam tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya membuang waktu saja." Arktik berdecak.

"Oh ya, harus kuapakan ibumu dan kakakmu yang jenius itu? Sepertinya aku tidak membutuhkan mereka lagi," lanjutnya. Arisa melebarkan mata.

Arktik menyeringai keji, keluar dari ruangan. Tidak memedulikan raungan menyedihkan gadis di belakangnya.

"Kamu iblis, Arktik! Jangan lakuin apa pun ke mereka!" Arisa berteriak kalap, meronta berusaha lepas dari kuncian di tangan dan kakinya.

Sia-sia. Itu mustahil.

Arisa menyenderkan badan ke kursi. Tubuhnya melemas. Kepalanya tertunduk. Bayangan keluarganya yang terancam nyawanya serta Susan dan Merapi yang sekarat memenuhi otaknya. Hatinya meronta, menggedor tidak terima.

Air mata Arisa jatuh. Ia terisak pelan. Tidak ada lagi harapan.

Semua... telah berakhir.

"Bisa bantu aku membawanya ke ruang pemanenan?"

Arisa mengangkat kepala. Seorang gadis berambut keriting dengan jas putih masuk lalu berbicara dengan pria di luar ruangan yang tadi membawanya ke tempat ini. Arisa hanya bisa menelan saliva. Sebentar lagi dia akan mati.

Pria itu masuk, segera bergerak melepas pengunci di tangan Arisa. Tetapi baru tangan kanannya yang terlepas, tiba-tiba...

Bugh!

Arisa tersentak. Mulutnya terbuka tak percaya melihat pemandangan di depannya. Pria berseragam keamanan di depan Arisa jatuh karena pukulan telak yang mengenainya. Gadis di belakangnya tersenyum kemenangan, menjatuhkan asal balok kayu di tangannya. Ia mengambil kunci mini di tangan pria yang sekarang tergeletak tak sadarkan diri di lantai, kemudian membuka pengunci di tangan Arisa dengan kunci tersebut.

"Ka-kamu..."

Gadis itu tersenyum, "Hai, Arisa. Lama nggak ketemu."

Arisa segera mengusap pipinya yang basah ketika kedua tangannya bebas. Ia menatap bingung gadis yang telah membantunya. "Kamu siapa?"

"Sebentar," ujarnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, menekan tombol. Itu alat komunikasi. Arisa hanya bisa menatap tak mengerti.

"Kalian bisa masuk sekarang. Ambil jalur kiri biar nggak ketangkep CCTV," katanya, berbicara dengan alat yang ia bawa. Ia menekan tombol lain, berbicara lagi, "V, jalankan rencana."

Setelah mendengar jawaban seseorang di seberang sana, gadis itu segera memasukkan alat yang mirip seperti ponsel itu kembali ke sakunya. Ia menoleh ke Arisa, "Namaku Eva. Kamu pasti nggak inget. Tapi kita temen satu divisi di lab."

Arisa tertegun sebentar, lalu mengangguk mengerti. Ia lupa jika Arisa asli berprofesi sebagai ilmuwan dulunya.

"Tenang, mereka bakal dateng sebentar lagi," kata Eva memberitahu.

Arisa ingin bertanya siapa mereka yang dimaksud gadis itu, tapi tiba-tiba seseorang masuk dan membuat Arisa melebarkan mata. Itu Sarah dengan jas putih khas ilmuwannya. Beberapa detik setelah itu, Biru dan Arival masuk bersamaan. Mereka berdua tampak berbeda dengan jas putih panjang dan kacamata. Penyamaran.

"Aku ngerasa jadi ilmuwan terkece sekarang." Arival terkekeh karena ucapannya sendiri.

"Ya ampun, kalian berdua lucu..." komentar Eva.

Biru ikut terkekeh, melepas jas dan kacamata.

Baru saja Arisa ingin membuka suara, pintu ruangan di depannya kembali terbuka. Seorang pemuda berkulit putih dengan wajah khas Asia Timur masuk sembari mendorong ranjang dorong. Ada selimut putih di atas ranjang yang menjuntai ke bawah sampai lantai.

"Dah sampai," ucap pemuda yang juga berjas putih dan memakai kacamata itu sembari menepuk ranjang yang ia bawa. Sejurus kemudian seseorang keluar dari bawah ranjang yang tidak terlihat karena tertutup selimut.

"MERAPI?!! Arisa memekik senang melihat seseorang yang keluar dari sana. Ia menghela napas lega. Baru beberapa menit yang lalu ia mengira Merapi sudah sekarat dan akan mati.

"Gimana, V? Semua lancar?" Sarah bertanya pada pemuda yang membawa Merapi tadi. Jika dilihat-lihat lagi rasanya Arisa pernah melihat wajah pemuda berkulit putih itu. Wajahnya tidak asing, cukup familiar di ingatannya.

"Kak Susan, bahaya. Dia diambil alih pihak oposisi," terangnya, membuat Arisa sekali lagi melebarkan mata.

Apa katanya? Susan dalam bahaya? Ini sungguh buruk!

下一章