webnovel

38-Welcome to The Real World

Semburat jingga nampak di ufuk timur. Kegelapan malam berangsur-angsur menghilang. Sang surya terbit sesuai kebiasaannya.

Arisa membuka jendela loteng di depannya. Ia menarik napas, merasakan udara segar nan sejuk pagi hari. Karena posisi rumah yang sedang ia pijaki ada di pinggir tebing, ia bisa menatap gedung-gedung runtuh jauh di bawah sana, membayangkan isinya. Pastinya menyeramkan sekali. Ratusan bahkan ribuan makhluk bersembunyi di dalam sana, berlindung dari sinar matahari.

"Di ingatanku Jogja belum ada gedung-gedung setinggi itu." Arisa berucap, menoleh ke arah Biru yang baru saja naik tangga loteng. Biru ikut bergabung bersama Arisa, menatap keadaan luar rumah dari jendela loteng setelah menaruh beberapa minuman dan snack yang ia bawa ke atas meja.

"Beberapa tahun sebelum Perang Dunia Ketiga meletus, pemerintah Indonesia ngadain pembangunan besar-besaran di beberapa kota. Termasuk Jogja. Jogja nyaris kaya Jakarta waktu itu, kota metropolitan," jawab Biru. Matanya ikut memandang gedung-gedung hancur seperti Arisa.

"2028 sampai 2062. Dua puluh delapan tahun banyak yang berubah, ya?" ucap Arisa, menghitung jarak tahun di ingatannya sampai sekarang.

Biru mengangguk, "Perubahan paling signifikannya perang dunia sama virus Moscow yang nyebar. Itu dua kejadian yang paling ngerusak bumi. Nggak cuma kenampakan alamnya, tapi juga penghuninya."

Arisa mengangguk takzim, membenarkan.

"Kamu mau lihat keadaan luar lebih leluasa, Arisa? Ayo ikut." Biru berjalan ke sisi lain loteng. Naik ke tangga kayu pendek yang ada di sana. Entah menuju kemana. Arisa tidak lagi terkejut. Rumah kayu ini memang punya banyak bagian tak terduga. Dia hanya mengikuti langkah Biru dari belakang.

Tangga yang Arisa naiki berakhir di sebuah tempat di atap. Bisa disebut rooftop, tapi luasnya hanya 3x3 meter. Alas dan pagar pembatasnya terbuat dari campuran semen. Tingginya sejajar dengan genting, tetapi lebih rendah dari cerbong asap perapian. Atapnya dari plastik transparan. Seperti perkataan Biru tadi, Arisa bisa memandang lebih luas sekitarnya yang dominan dengan perbukitan.

"Tempatnya sempit, tapi cukup buat kumpul enam orang. Baru dibuat setahun yang lalu kalau kamu nggak inget." Biru menerangkan.

Arisa termangu menatap sekitarnya. Angin pagi berhembus pelan. Cahaya mentari bersinar lembut. Ini dunia yang berbeda dari dunianya sebelumnya. Tidak ada alien yang ingin menghancurkan bumi. Tidak ada narapidana yang menyebalkan dari Mars. Tidak ada basecamp tempat berkumpulnya para manusia yang tersisa. Tidak ada pembalasan dendam. Tidak ada dunia kosong. Semua berbeda.

Arisa tersenyum getir, bergumam dalam hati. Selamat datang di dunia nyata, Arisa. Dunia yang sama mengerikannya dengan dunianya sebelumnya. Kota hancur, manusia terinfeksi, orang-orang yang mengejarnya. Nyawanya tetap saja di ujung tanduk meskipun berada di dunia yang berbeda. Di permainan pikiran maupun dunia nyata, nyawanya tetap terancam. Ini terasa menyebalkan.

"Sekarang tanggal berapa, Blue?" Arisa bertanya asal.

"9 Maret 2062, hari Kamis," jawab Biru.

Arisa terdiam lalu menghitung sesuatu dengan jarinya. "Berarti aku lahir tahun 2045?"

Biru diam sejenak, menggeleng. "Kamu dua puluh tahun, Arisa. Jadi lahir tahun 2042, lebih tepatnya tanggal 2 September 2042."

Arisa melebarkan mata, terkejut. "Aku dua puluh? Tapi..."

Biru tertawa melihat ekspresi gadis di sebelahnya. "Tujuh belas itu umur di ingatanmu yang udah dimodifikasi. Umur aslimu dua puluh, Arisa."

"Serius?" Arisa memegang wajahnya sendiri, sedikit panik. "Ternyata aku udah setua itu, Blue? Masa' sih? Nyesek banget. Dari tujuh belas, tiba-tiba jadi dua puluh."

Biru tambah tertawa kencang. "Nggak keliatan tua kok. Kamu masih kayak anak SMA," ucap Biru membesarkan hati Arisa. Arisa tetap cemberut. Ia paling tidak suka bertambah umur. Apalagi bertambahnya langsung tiga tahun.

"Aku belum cerita, ya?" Biru bertanya retoris. "Kamu dulu lahir di waktu-waktu kacaunya dunia. September 2042 itu bulan dimana virus mulai nyebar. Kamu lahir di benteng setelah Bibi Arin mati-matian melarikan diri dari kejaran infected. Kamu bisa bayangin kan gimana perjuangan Bibi Arin? Lagi hamil, lari-lari, terus sendirian di tengah hutan."

Arisa tertegun, teringat sesuatu. "Ayahku?"

Biru menghela napas, "Bibi Arin cerita, Ayahmu nggak selamat waktu di kota. Dia keinfeksi."

Arisa terdiam cukup lama. Kenyataan lain yang harus ia terima: ayah kandungnya telah meninggal bahkan sebelum ia dilahirkan.

"Berarti Ibu dateng sendirian ke benteng? Nggak ada saudara sama sekali?"

Biru diam sejenak, menggeleng. "Iya, Bibi Arin datang sendiri."

Arisa mengangguk takzim.

"Kalau aku dua puluh, kamu berapa, Blue?" Arisa bertanya, mengembalikan pembicaraan ke topik awal.

"Dua puluh tiga. Jarak umur kita tiga tahun," jawab Biru.

"Di dunia asli kita tiga tahun lebih tua, ya?" Arisa masih cemberut, teringat umur aslinya.

Biru tersenyum, mengangguk. "Semua orang pasti tambah tua, Arisa. Jangan benci hal itu. Walaupun aku tahu yang nggak suka menua itu sebenarnya Bibi Arin."

Kening Arisa berkerut samar. Dia tidak paham ucapan Biru barusan.

"Kamu nggak suka tambah tua kan?" tanyanya.

Arisa mengangguk.

"Memori di otakmu bukannya memori Bibi Arin kan?"

Arisa mengangguk lagi.

"Itu berarti rasa nggak sukamu itu milik Bibi Arin. Semua yang kamu benci dan kamu sukai sekarang itu milik Bibi Arin selama memorimu belum diganti."

Arisa ternganga. Itu fakta yang baru ia ketahui. "Ingatan juga mempengaruhi benci sama suka, ya?"

Biru mengangguk, "Kamu inget kan waktu kamu cerita panjang lebar tentang obsesimu? Tentang jadi arkeolog, tentang jadi raptor trainer, tentang jadi ilmuwan di pusat WHO. Aku tahu sejak awal, itu obsesi Bibi Arin sejak kecil."

Arisa terdiam. Seharusnya ia bisa menduga hal itu. Segala sesuatu dari dirinya adalah ibunya. Entah dirinya sendiri bagaimana.

"Jangan bilang memori juga mempengaruhi karakter sama sifat? Apa karakter Arisa yang asli kayak karakter aku sekarang?" Arisa bertanya.

Biru terdiam, berpikir cukup lama. "Nggak tentu. Karakter sifat nggak hanya dibentuk dari ingatan, tapi juga hati dan perasaan. Kamu inget nggak gimana sifatmu waktu bangun di dunia kosong pertama kali? Waktu hari pertama dan ketemu aku di jalan?"

Arisa berpikir sejenak, "Kekanakkan, suka ngomong nggak jelas, aneh, mungkin?"

"Apa kamu ngerasa ada yang berubah sekarang?"

Arisa berpikir lagi, "Aku ngerasa lebih dewasa."

"Itu berarti ada perubahan signifikan kurang dari tujuh hari ini. Bisa disimpulin, karakter setelah ingatan dimodifikasi itu nggak tetap. Tergantung situasi kondisi. Kayak kamu yang lebih dewasa setelah ngalamin banyak hal menyakitkan di dunia permainan pikiran." Biru menerangkan. Arisa nenyimak dengan takzim. "Arisa yang asli juga nggak jauh beda sifatnya kayak kamu," lanjutnya.

Arisa mengangkat sebelah aslinya. "Kekanakkan maksudnya?"

"Bukan." Biru menggeleng. "Arisa yang asli itu lebih dewasa. Asyik, periang, humoris. Moodboster yang baik buat kelima temennya yang lain."

"Oh ya?" Arisa tersenyum senang. "Ada sifat yang nyebelin nggak?"

Biru berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Entah. Menurutku nggak ada."

"Wow, serius? Pasti ada." Arisa berbalik, menyenderkan punggungnya ke pagar pembatas di belakangnya. Ia ganti menatap pemandangan lain. Perbukitan hijau nampak sejauh mata memandang.

Suasana lenggang sejenak. Arisa sibuk menatap pemandangan di depannya. Ia selalu suka perbukitan. Ia suka alam. Jika disuruh memilih antara rekreasi di alam terbuka atau game center, ia pasti akan memilih alam. Meskipun hanya berkemah atau wisata air di sebuah sungai.

Tunggu sebentar, berarti ini kesukaan ibunya kan? Bukan kesukaannya? Ahhh... Arisa menghela napas panjang. Entahlah.

"Blue, emang mereka nggak tahu markas ini? Mereka nggak bakal ngejar sampai sini kan?" Arisa bertanya, mengingat tadi malam ia baru saja dikejar-kejar pasukan penjaga benteng.

Biru ikut membalik badan, menyenderkan punggung seperti Arisa. Ia langsung paham siapa 'mereka' yang dimaksud gadis di sampingnya. "Cepat atau lambat mereka bakal tahu tempat ini. Setelah yang lain datang, kita langsung buat rencana."

Baru saja Biru selesai bicara, suara lengkingan hewan yang sangat ia kenali terdengar. Arisa segera membalik badan. Ia membelalakkan mata ketika melihat Thor berlari keluar dari hutan-hutan jauh di sana menuju ke arahnya. Di belakangnya dua motor yang masing-masing dinaiki dua orang mengikuti.

Arisa menatap Biru, meminta penjelasan. "Thor itu nyata? Beneran ada?"

Biru tersenyum, mengangguk. "Ayo turun. Baru aja diomongin, mereka langsung dateng."

Tanpa basa-basi Arisa langsung bergerak turun. Tidak peduli suara lantai kayu yang berderik kencang karena pergerakannya. Sampai bawah, ia melihat Merapi dan Ausans turun dari motor. Masing-masing dari mereka membonceng di belakang. Seperti dirinya, mereka juga memakai pakaian hijau khas pasien.

"Gua mabok!" seru Merapi setelah turun. Ia berjalan sempoyongan lalu terduduk di tangga kayu menuju teras.

Setelah menuruni tangga, Arisa melambaikan tangan ke Ausans, berlari memeluknya. Tidak memedulikan Merapi yang sepertinya sungguhan mabuk.

"Arina, kamu disini?" tanya Ausans. Arisa melepaskan pelukan, tersenyum, mengangguk.

"Kamu baik-baik aja kan, Sans?" Arisa ganti bertanya.

"Aku baik. Cuma butuh penjelasan aja. Kita ada di mana? Aku bingung." Seperti Arisa sebelumnya, Ausans dan Merapi pasti juga kebingungan. Butuh penjelasan dan waktu lama untuk memahami semuanya.

"Nanti aku ceritain," ucap Arisa, menenangkan.

"Hai."

Mendengarnya, Arina dan Ausans langsung menoleh ke sumber suara. Seorang gadis dengan rambut panjang menyapanya. Arisa ingat dia gadis yang memakai jas di ruangan lab tempat Arisa bangun dari dunia permainan tadi malam, saat Biru menyelamatkannya. Gadis yang sama yang ada di pigura yang ia lihat tergantung di dinding rumah. Hanya saja kali ini pakaiannya lebih kasual. Arisa tahu namanya Sarah. Gadis itu sahabatnya. Hanya saja ia tidak mengingatnya.

"Seneng liat kalian berdua baik-baik aha." Gadis itu langsung memeluknya dan Ausans bersamaan. "Aku kangen kalian."

Arisa terdiam, sama seperti Ausans—lebih tepatnya Susan—di sebelahnya.

"Aku Sarah, kalau kalian nggak inget. Dan kalian pasti nggak inget." Gadis di depan Arisa melepaskan pelukan, tersenyum. Arisa dan Ausans balas tersenyum kikuk.

Ausans nampak bingung, tetapi kemudian ia berucap, "Sarah yang udah bantu kita kabur dari tempat itu. Aku bingung, tapi ada Arival juga yang bantu kita."

Mendengar nama Arival disebut, Arisa segera menoleh ke seseorang yang sejak tadi duduk di jok motor. Seseorang yang sama sekali tidak ia sadari keberadaannya. Dan benar saja! Itu Arival Adijaya. Wajahnya masih sama, tidak ada yang berubah. Dan ingatan mengerikan tentangnya tiba-tiba berputar di otak Arisa. Saat ia membunuh paman dan bibinya sendiri, saat ia mengancam akan membunuh kedua orangtua Arisa, saat ia menyuruh Arisa memilih antara nyawanya atau nyawa ibunya yang telah terinfeksi. Arisa tahu itu ingatan palsu. Tapi rasanya tetap saja mengerikan.

Arisa bergerak defensif saat Arival berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu tersenyum. Senyuman yang menyebalkan. Dia berhenti melangkah ketika tepat berada setengah meter di depan Arisa.

"Hai, Arisa," sapanya, masih tersenyum. Dan yang membuat Arisa benar-benar terkejut, Arival tiba-tiba memeluknya!

Rasanya Arisa ingin mendorong tubuh Arival di depannya. Memukul atau pun menendangnya sekalian. Tetapi hal itu hanya sebuah keinginan. Tubuh Arisa mematung, membiarkan Arival memeluknya.

"Maaf," gumamnya.

Arisa tetap diam.

"Mungkin kamu nggak inget siapa Arival Adijaya sebenernya. Tapi aku selalu inget, Arisa Rahmawati itu adikku yang paling nyebelin."

Arisa melebarkan mata.

Adikku yang paling nyebelin?

Adikku?

Adik?

ADIK?!

Arival melepaskan pelukannya, tertawa ketika melihat ekspresi terkejut Arisa. Arisa sendiri langsung menatap Biru yang berdiri tak jauh darinya, bertanya lewat tatapan. Meminta penjelasan. Bagaimana bisa Biru tidak bercerita apa pun tentang hal itu?

Biru hanya tersenyum, kemudian berucap, "Surprise."

Arisa ternganga. Kejutan macam apa ini? Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi?

Astaga... Ini gila. Arisa punya kakak seorang psikopat.

下一章