Sebelum membuka isi kantong plastik, ia duduk di kursi dan berusaha menebak siapa yang mengirimkan ke rumahnya. Mungkin hanya Arka satu satunya orang yang memberi Kanaya sesuatu.
"Kenapa sih, Kak Arka tidak biarkan aku sendiri dulu agar tidak mengomel padanya. Aku juga tidak tega kalau terus memarahinya," gerutu Kanaya sembari membuka isi plastik tersebut.
Kanaya melihat isi kotak itu, ternyata isinya seperti sebuah kotak makanan. Menurutnya memang masih dari Arka. Di samping kotak itu terselip sebuah kertas kecil. Kanaya mencoba untuk tetap membacanya meski hubungannya dan Arka masih kurang baik.
"Hah, Brandon?" Betapa Kanaya terkejut saat tau yang mengirim ternyata Brandon. Namun, setelah mendengar penjelasan Mona harusnya Kanaya tidak khawatir lagi. Makanan di kotak itu terlihat cukup enak, dan memang Kanaya jarang memakan makanan sejenis yang di berikan Brandon tersebut.
"Brandon? Kenapa dia sering memberi makanan?" Memikirkanya saja sudah membuat tenggorokan Kanaya kering.
"Sudahlah, Mona bilang tidak ada apa apanya. Jadi, aku bawa ke kantor sajalah," putus perempuan itu tidak mau ambil pusing.
Kanaya berdiri dan membawa kotak itu untuk makan siangnya nanti di kantor. Kanaya harap tidak ada racun tikus di dalamnya, tentu ia tidak ingin namanya berada di surat kabar karena di racuni oleh Brandon. Apakah Kanaya terlalu berfikir jauh, sampai sampai membayangkan dirinya mati karena keracunan racun tikus. Kanaya mengidik ngeri sendiri, tidak habis fikir bisa memikirkan hal yang tidak tidak.
Kanaya melangkah untuk berangkat ke kantor dan mencari angkot.
****
"Nay, hari ini bantuin aku buat minuman ya," pinta Rani.
"Bukanya kita memang bekerja untuk itu." Kanaya tidak sungguh sungguh menjawab.
"Apasih, aku kok bingung."
Kanaya hanya tertawa kecil melihat tingkah Rani yang lucu.
Hari ini, Kanaya meminta Ratu untuk tutup saja, mengingat kejadian kemarin masih terbayang bayang bagi Kanaya. Ratu sendiri juga masih belum siap untuk datang ke tempat kejadian tadi malam. Saat di angkot, perempuan itu menghubungi Ratu agar dia beristirahat di rumah saja.
"Nay, nanti mau ikut aku?" Ajak Rani.
"Kemana?" Kanaya masih tampak sibuk menyiapkan beberapa gelas untuk membuat minuman.
"Ke mall."
"Aduh, aku kalau belanja belanja masih belum berani, soalnya aku belum gajian," jujur Kanaya.
"Tidak apa apa, kamu temani aku aja," paksa Rani.
"Emm, aku pikir pikir dulu ya."
"Iya, sip." Rani hanya mengangkat jempolnya ke atas.
Keduanya sama sama meracik minuman untuk para pekerja kantor. Kanaya mulai menuangkan air panas pada gelas yang sudah berisikan gula pasir dan kopi maupun teh. Setelah selesai menyiapkan minuman, mereka membawanya ke para pekerja kantor. Kali ini Kanaya tidak lagi merasa berat untuk bertemu Gibran, lain dengan sebelumnya. Bahkan, ia sudah merasa cukup terbiasa.
"Pagi, Mbak Vernita. Ini minumanya," sapa Rani pada salah satu pekerja kantor saat meletakkan minuman itu pada mejanya.
"Terimakasih Rani dan Kanaya." Perempuan itu menjawab sapaan Rani.
"Sama-sama."
Setelah berbagi bagi minuman pada para pekerja kantor, kini waktunya ke ruangan wakil direktur. Namun, setelah mengucap salam dan mengetuk pintu tidak ada sahutan apapun dari dalam. Seperti tidak ada manusia di dalamnya.
"Pak Gibran, apa tidak ada ya?" Tanya Rani pada salah satu pekerja kantor yang dekat dengan ruangan Gibran.
"Satahu saya, belum datang," jawabnya.
"Loh, tumben."
"Mungkin ada meeting atau kepentingan lain. Kalian letakkan di meja kecil itu aja."
Rani meletakkan di meja kecil luar ruangan Gibran. Meja kecil itu memang untuk meletakkan benda atau makanan dalam keadaan Gibran sibuk atau keluar seperti sekarang.
Kanaya mulai berfikir tentang ketidak beradaan Gibran di kantor. Apakah mungkin laki-laki itu, sungguh sedang sibuk. Pikirannya mulai khawatir apakah Gibran sedang baik-baik saja. Apalagi, tadi malam Kanaya melihat Gibran baik baik saja, dia juga tidak menjelaskan akan pergi atau apapun.
Setelahnya Kanaya merutuki ucapannya. Ia pikir, untuk apa juga Gibran memberitahunya tentang kehidupan pribadinya. Kanaya sadar Gibran bukan siapa-siapanya. Jadi, sepertinya hal semacam itu juga tidak akan mungkin di ceritakannya pada sembarangan orang.
Kanaya kembali bekerja. Hari ini ia bertugas mengepel lantai teras, ia kali ini di bagian luar. Kanaya mengambil sapu pel dan ember untuk di bawanya ke depan. Setelahnya ia ternyata lupa membawa sabun pel yang sejak tadi sudah di siapkanya.
"Kenapa bisa lupa sih?" Kanaya menepuk jidatnya pelan.
Kanaya mengambil kembali sabun pel tersebut, lalu ia mulai memasukkanya ke dalam ember. Saat melakukan aktifitas tersebut, ia melihat sosok yang berkeliaran di pikiranya sejak pagi, yaitu Gibran. Kanaya tersenyum tipis, lalu ia mendonggakan kepalanya untuk memandang kedatanganya.
"Pa ...." Eh eh, laki laki itu berlalu begitu saja tanpa melirik sedikitpun ke arah Kanaya. Kanaya cukup terkesiap dengan sikap Gibran yang tak biasa tersebut. Sejak dirinya bertemu Gibran lagi, baru kali ini laki laki itu tidak menganggap keberadaanya.
"Ada apa dengan dia?" Guman Kanaya jengkel.
Kanaya memilih melanjutkan pekerjaan yang belum sempat di mulainya juga. Suasana hati Kanaya mendadak berubah dan kesal. Rasa kesal dengan sikap acuh Gibran, begitu masih terbayang di pikiran Kanaya. Kanaya mulai menyapukan pel pelan ke lantai dengan pelan untuk memulai pekerjaanya.
Sruutttt ....
Hampir saja seseorang terpeleset di lantai yang Kanaya pel.
"Ya Ampun, maaf maaf, Mas. Saya tidak sengaja." Kanaya meminta maaf pada Toni.
"Kamu kenapa, Nay? Jangan melamun lah. Jangan jangan kamu belum sarapan ya," goda Toni.
"Hehe, bukan. Aku lagi ada pikiran aja," jujur Kanaya.
"Oh, hati-hati. Aku kesana dulu," pamit Toni."
"Iya, Mas."
Kanaya menarik nafas panjangnya beberapa kali, ia berharap apa yang tadi di pikirkanya menghilang sekarang juga. Entah kenapa begitu banyak hal yang berada di pikiranya, mulai dari Arka, Gibran, Brandon, di tambah hutang. Semuanya masih terasa berat. Kanaya pikir ia butuh tempat curhat, tentu saat ini bukan Ratu. Mengingat Ratu masih dalam keadaan belum baik.
****
Setelah menyapa para pekerja kantor dengan ucapan salam, Gibran akan masuk keruanganya. Ia melihat gelas minumanya sudah di luar, di meja kecil.
"Pak, ini tadi minuman yang di antar Rani dan Kanaya," tutur salah satu pekerja.
"Oh, iya. Saya bawakan masuk ya, Pak."
"Tidak. Saya bawa sendiri saja."
Gibran membawa kopi susu kesukaanya kedalam ruangan. Ia menutup pintunya kembali setelah masuk. Kopi susu itu di letakkanya di meja kerjanya, lalu ia duduk di kursi dengan tampang wajah yang tak berekspresi. Gibran menyentuh gelas minuman itu untuk memastikan minumanya masih hangat atau sudah dingin. Tangan Gibran merasan, minuman itu sudah sangat dingin, sama sekali tidak hangat.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....
SALAM
GIBRANKU.