"Aaaaa ...." Suara teriakan itu tiba tiba terdiam tatkala seseorang membungkam mulut Ratu dengan sebuah kain.
Perempuan itu pingsan dan di seret seseorang. Dua laki laki bertubuh kekar itu membawa Ratu kedalam mobil mereka dengan cepat layaknya penculik, atau memang mereka benar-benar penculik.
****
Kanaya masih diam di dalam mobil Arka tanpa suara, tiada tangisan maupun nada bicara dari bibir mungilnya. Sedangkan yang di sampingnya sejak tadi kebingungan saat berusaha membujuk agar Kanaya sudi memaafkan perlakuaanya. Usaha keras sejak tadi ia lakukan agar Kanaya kembali ceria. Ia juga merasa bodoh telah mengubah suasana Kanaya begitu saja tanpa berfikir, seharusnya ia bisa lebih berhati hati agar tidak menyakitinya.
"Aku pulang ya," Kanaya kali ini menoleh untuk mengutarakan keinginannya.
Arka merasa jengah untuk membujuk Kanaya lagi. Bukan dia tak peduli, tetapi ia tidak ingin memaksa hati Kanaya yang belum siap untuk menerima hal hal yang tadi sempat dirinya lontarkan.
"Baiklah, jika itu maumu."
"Maaf ya, Kak. Aku bukan maksud mengantung. Jujur, aku masih belum siap saja memikirkan cinta cintaan di saat seperti sekarang, dan aku harap Kakak mengerti." Hanya sebuah keseriusan yang terlihat di wajah Kanaya saat ini.
"Aku mengerti, kok."
Kanaya keluar begitu saja dari mobil Arka. Arka hanya pasrah dengan perlakuan Kanaya yang engan untuk ia cegah. Sebaiknya Kanaya memang di beri waktu agar tenang, disini Arka merasa salah telah memaksa hati Kanaya. Padahal, dari awal perempuan itu sudah menjelaskan berualang ulang kali.
Kanaya berjalan ke jalan raya untuk mencari angkot, tidak ada fikiran di benaknya untuk pulang sekarang mengingat di rumahnya ada Brandon. Satu satunya tempat tujuanya adalah tempat fotocopy. Kanaya berjalan untuk ke tokonya dengan cepat.
Arka tiba tiba teringat akan sesuatu, yaitu janji Kanaya yang akan menjelaskan maksud ucapnya saat di kantor pagi tadi, saat ia memperkenalkanya pada orang lain kalau dia adalah suaminya. Pertanya itu sepertinya harus ia urungkan dulu untuk menjaga perasaan Kanaya agar membaik terlebih dahulu. Laki laki itu memutar kunci mobilnya untuk menyalakan mesin. Lalu ia berlanjut dengan melajukan mobilnya dengan pelan.
****
"Informasi apa hari ini?" Tagih Gibran tak sabar lagi.
Rio meneguk salivanya susah payah, makanan yang tadi masuk ke tenggorokkannya mendadak terasa pahit, selara makanya juga mendadak hilang.
"Sabarlah, Gib." Rian berusaha menenangkan.
"Kita lagi makan lo. Apa tidak ada rasa belas kasihan dari dirimu baginda." Laki laki itu memelaskan wajahnya, berharap Gibran mengasihaninya lahir batin.
"Cepat! Aku tidak butuh basa basi kalian," kekuh Gibran tak mau tahu.
"Apakah Kanaya sudah berhasil mengubah hatimu menjadi batu?" Celetuk Rio hilang kesabaran.
Gibran menyeringai tak terima kalau Kanaya yang menjadi bahan di salahkan.
"Ampun." Rio menyatukan tanganya untuk memohon maaf.
"Gini, ternyata Kanaya punya toko fotocopy yang terletak di dekat rumah sakit," terang Rian seolah informasi itu akan membuat Gibran girang.
"Lalu?"
"Ya itu informasi yang kami dapat hari ini, pasti kamu senang bukan main," bangga kedua laki-laki itu dengan membusungkan dadanya di depan Gibran.
"Kalian ini niat kerja nggak sih?"
"Kita itu membantumu, bukan bekerja denganmu," protes Rio.
"Kalau kamu membantu pasti gratis, dan ini aku bayar kamu. Apa itu membantu?" Protes Gibran tak terima.
Kedua laki laki itu meringis pasrah, apa yang di ucapkan Gibran memang tidak salah.
"Terus, apa yang salah dengan apa yang tadi aku laporkan?"
"Aku bukanya sudah cerita dengan kalian waktu itu, kalau aku dan Kanaya bertemu di toko fotocopy dia." Rasa kesal semakin Gibran tunjukkan kepada kedua laki-laki tersebut.
"Oh iya, kita lupa Gib." Kedua laki laki itu nyengir tak berdosa, seolah apa yang di lakukanya tidak ada yang salah.
Gibran mengacak acak puncak kepalanya dengan kesal, hatinya juga merasa heran kenapa ia bisa bersahabat dengan kedua mahkluk yang menyebalkan seperti mereka.
****
Kanaya mengernyitkan keningnya saat melihat toko Fotocopy nya sudah tutup. Biasanya ia tutup di malam hari, kenapa hari ini masih sore sudah tutup. Kanaya berusaha berpikir positif, mungkin saja Ratu tengah sibuk atau mungkin Ratu juga ada kepentingan mendadak yang membuatnya harus segera pulang.
Saat hendak pergi dari tempat itu, Kanaya tidak sengaja tersandung suatu benda. Tidak lain tidak bukan benda itu adalah tas milik sahabatnya yang sepertinya terjatuh. Pikiran Kanaya mulai tidak tenang, ia juga mulai berpikir yang tidak-tidak. Lagi pula mana mungkin juga seseorang menjatuhkan tas sampai tidak tahu, hal itu sepertinya jarang terjadi pada diri seseorang. Kecuali jika ketinggalan, tetapi jika di lihat dari tempat dan posisi tas, sepertinya benda itu bukan tertinggal.
Kanaya menunduk untuk mengamati tanah di dekat fotocopy nya. Terlihat sebuah bekas seretan menuju pinggir jalan raya yang begitu jelas. Hal itu membuat Kanaya semakin panik dan kebinggungan.
"Ini ada apa?" Rasa khawatir semakin terlihat jelas di mimik wajah Kanaya saat ini.
"Aku harus panggil seseorang untuk membatuku."
Kanaya mencari ponselnya dengan tangan gemetar, ia harap dapat menemukan seseoarang yang dapat membantunya kali ini. Kanaya mencari cari kontak nama yang di kenalnya dengan sembarangan, ia juga asal menemukan nama dan langsung memencetnya dengan cepat.
"Hallo," sapa seseorang dari sebrang.
"Hallo, tolong datang ke tempat fotocopyku sekarang ya," pinta Kanaya. Perempuan itu setelahnya segera mematikan ponsel.
Tanpa mendengar balasan dari seseorang yang di teleponnya, perempuan itu langsung mematikanya dengan cepat.
Setelah menunggu tidak cukup lama, Kanaya melihat mobil sport berwarna hitam menuju tempatnya berdiri. Mobil itu membuat Kanaya cukup terkejut dan tidak habis fikir. Kemudian, ia melihat panggilan terakhir untuk melihat siapa yang tadi di telvonya. Ternyata seseorang yang tadi di telepon Kanaya adalah Gibran. Betapa Kanaya menyesali atas segala perbuatannya telah berlaku ceroboh saat panik.
Gibran segera berlari mendekati Kanaya, raut wajah laki-laki itu juga terlihat khawatir.
"Nay, ada apa?" Tanya Gibran memastikan Kanaya baik baik saja.
"Emm, aku sedang butuh bantuan. Tadi aku melihat sebuah seretan di tanah dan apalagi aku melihat ada tas Ratu terjatuh di sini." Kanaya menunjuk tepat dimana tas itu di temukan. "Aku yakin terjadi sesuatu dengan dia." Air mata tak dapat terbendung lagi, Kanaya pun meneteskan air mata dengan tulus sebagai tanda khawatirnya terhadap sang sahabat.
Gibran mengusap pundak Kanaya pelan, tapi sang pemilih bahu menolak tangan Gibran untuk menyandar.
"Maaf," ujar laki laki itu dengan rasa bahagia dalam benaknya.
"Kamu bisa bantu aku apa tidak? Jangan cari kesempatan disaat seperti sekarang ya."
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA MASUKKAN RAK YA ....
SALAM
GIBRANKU.