2 Desember 2009 Jam 5 Pagi Waktu Fukuoka.
Alarm pun berbunyi.
"Uhhh...."
Nozomi sepertinya baru akan terbangun, matanya membuka sedikit.
Aku tidur bersamanya malam ini. Dia minta ditemani bermain PS yang ada di ruang tamu sampai mengantuk. Malam kemarin dia memasakkanku nasi goreng.
"Darling, Good Morning!" ujarku.
"Uhhh..."
"Kamu mau bangun atau tidak?"
"Uhhh..."
"Mau gimana lagi."
Aku mengecup keningnya.
"Darling, selamat pagi. Sudah pagi."
"Uhhh... Dar..ling?"
Aku mengangguk.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam 5. Ayo kita mandi."
Seketika aku ingin beranjak dari tempat tidur, dia memegang tanganku erat-erat.
"Jangan pergi..."
Aku menurutinya, Nozomi memang selalu memaksa.
Aku dekap dia kasur ini. Dibalut selimut, dia merasa nyaman.
"Aku sayang kamu, Akihito."
"Aku juga sayang kamu, Nozomi."
Nozomi akhirnya membuka matanya.
"Aku bahagia, aku tidak mau lepaskan momen ini."
"Aku juga."
"Darling, Tadi malam aku bermimpi."
"Mimpi apa?"
"Aku mengajakmu ke taman sakura yang ada di dekat sekolah."
"Aku juga bermimpi hal yang sama."
"Sinkron ya."
"Aku dengar kamu bilang, ayo kita kelilingi taman ini. Aku mengikuti kemanapun kamu pergi."
"Iya aku bahagia, persis seperti apa yang aku rasakan saat ini."
"Aku masak hari ini ya. Jujur aku gatau kamu mau makan apa hari ini. Cuman kemarin sore setelah pulang sekolah, kita ke iron mall. Aku beli beberapa lauk pauk yang bisa dijadikan masakan untuk seminggu."
"Omelet saja tidak apa apa."
"Oke aku akan masak omelet hari ini."
"Akihito-kun..."
"Mau kopi di pagi hari?"
"Sepertinya enak."
Aku dan Nozomi pun bangun dari tempat tidur.
Chu!
"Aku siapkan kopi dulu ya, Darling."
"Sayang..."
"Sayang? Bukan Darling?"
"Aku mau jauh lebih dekat dari sekedar Darling..."
"Kamu sudah mendapatkannya."
Kukecup keningnya lagi. Aku benar-benar mencintaimu, Nozomi.
Nozomi membereskan tempat tidur, sementara aku menyiapkan kopi dan memasak omelet lagi.
Tak lama aku memasak omelet dan menyiapkan kopi, Nozomi memanggilku.
"Akihito-kun, ayo ke sauna."
"Aku deg-degan sebenarnya."
"Aku pasanganmu, jangan malu."
"Baiklah..."
Tidak jauh berbeda dengan yang kurasakan dengan Kizuki.
Aku dan Nozomi hanya dibatasi oleh air. Muka kami berdua sama-sama merah, karena ini baru pertama kalinya bagi Nozomi dan ke sekian kalinya bagiku.
"Jangan lihat yang lain ya."
"Aku sudah tahu kok. Seluruh lekuk badanmu."
"Aku malu tahu!"
"Maafkan aku."
"Tapi baguslah, aku jadi tidak harus menutupinya darimu."
Maksudmu? Mukaku makin merah.
Saatnya aku utarakan keinginanku, lagian kalau sudah begini apalagi yang akan kukejar. Aku punya saat ini yang berharga. Aku akan jaga hari ini. Aku akan jaga Nozomi.
"Nozo-chan."
"Akihito-kun?"
"Di masa depan, ayo kita menikah."
"Akihito-kun? Kamu serius?"
"Bila bisa sekarang aku menikah denganmu aku ingin sekarang menikah denganmu."
"Hal itu... Aku harus bicarakan kepada orang tuaku."
"Tak masalah. Ini janjiku."
"Terlepas dari itu ini sudah jam berapa? Ayo kita mandi."
"B-Baiklah..."
Nozomi tampak bahagia sekali, air mata tanpa sengaja keluar dari kedua bola matanya. Ia terharu hari ini benar-benar bahagia.
"Aku bahagia kita dapat bertemu satu sama lain, sekarang hingga akhir nanti." ujar Nozomi.
Aku tersenyum sembari meninggalkan ruang sauna bersama Nozomi.
Nozomi masuk ke kamarku dan menyiapkan pakaianku seperti biasanya.
"Hari ketiga aku bersamamu, aku tidak tahu kapan kamu akan pulang. Aku ingin kamu disini."
"Aku janji."
Aku memakai pakaian sekolahku dan makan omelet yang sudah kusiapkan. Nozomi meminum kopi sambil memakan omelet yang ku siapkan.
"Seperti biasanya, selalu enak."
"Terimakasih, sayang."
"Sayang, aku berjanji akan mengikutimu kemanapun kamu pergi."
"Aku janji akan melindungimu apapun yang terjadi."
Tak lama kami pun bergegas pergi ke sekolah.
Sesampainya di kelas, seperti biasa, Nozomi selalu membuka jendela agar masuk angin segar. Kebiasaan dia yang tak pernah ia lupakan.
"Akihito-kun, pulang nanti kamu jemput aku di klub musik ya."
"Oke. Aku jemput kamu nanti setelah kamu selesai di klub musik, lagian aku masih harus mengerjakan tugasku sampai selesai disini."
Sontak orang riuh.
"Hah? Jemput? Jadi emang beneran Akihito-kun sama Nozomi itu...?"
Aku memecah suasana dengan menjawab. "Benar kok. Dia pacarku."
Nozomi hanya tersenyum. Ia hanya duduk melihatku saja.
"Oh iya, Akihito-kun, apakah kamu ada rencana sore ini? Aku berencana mau ajak kamu ke gunung yang waktu itu. Aku sebenarnya mau bicara sama kamu hal yang cukup serius."
"Oh boleh kok, kan kita pulang bareng jadi yaudah kita bareng aja."
"Maaf mengganggu kemesraaannya."
Terdengar suara, aku melihat ternyata Meiko sudah berdiri di depan pintu kelas.
"Aku boleh masuk?" tanya Meiko.
"Masuk aja kok." ujar Nozomi.
Meiko masuk ternyata bersama dengan Akiko.
Tampak mereka berdua berdiri memperhatikanku dari ujung kelas.
"Akiko, kamu lihat Akihito-kun baik-baik." ujar Meiko.
"Aku tahu. Aku melihatnya, dia benar benar sama seperti yang kamu jelaskan. Aku sama sekali tidak mengingatnya."
"Maafkan aku tidak bilang yang sejujurnya padamu, Akiko."
"Tidak apa-apa. Setidaknya Akihito-kun hidup disini, dia tidak perlu mengalami penderitaan lagi."
Tiba-tiba, Nozomi datang. Arina yang sedang merenung terkaget melihat Nozomi sudah ada disampingnya.
"Arina, ayo temani aku ke perpustakaan, aku mau membaca beberapa referensi disana."
"Nozomi, tapi aku ngantuk banget..."
"Ayo ikut aku!"
Arina ditarik Nozomi keluar kelas sambil membawanya ke ruangan perpus.
Sampai di perpustakaan...
"Karin-san, buku-buku konspirasi letaknya dimana ya? Sama ada ga buku Departed to the Future?"
"Departed to the Future? sebentar ya. Ada rupanya. Di rak nomor 32A. Buku Konspirasi ada di rak sebelah."
Nozomi mengambil buku departed to the future dan membacanya. Departed to the Future adalah buku misteri tentang seorang gadis yang menghilang secara misterius karena pergi ke masa depan, ternyata gadis itu meninggal bunuh diri.
Nozomi juga berbalik mengambil dua buku, satu buku tentang sejarah illuminati, satunya lagi tentang perang dunia ke tiga.
"Nozomi, kamu kenapa begitu bersemangat sekali?" tanya Arina sepertinya khawatir.
"Yaiyalah, aku akan ikut ke masa depan." ujar Nozomi.
Arina terdiam.
"Arina, terimakasih telah temani aku kesini, sekarang aku mau sendiri menyusun prototipeku, kamu temui Akihito-kun nanti dan bilang bahwa aku skip kelas untuk menyusun prototipeku."
"Tapi, Nozomi?"
"Ikuti saja perintahku."
Arina diam dan langsung pergi meninggalkan Nozomi yang sedang menuju ruang baca.
---
"Ah, akhirnya aku sudah berhasil menciptakan prototipeku sendiri, aku yakin akan mewujudkan utopianya Akihito-kun."
"Nozomi?!"
"Arina?"
"Bagaimana kalau Akihito-kun tau soal ini?"
"Dia pasti senang lah."
"Kalau misalnya dia tau bahwa kamu menyembunyikan apa yang dia butuhkan untuk pulang. Apa yang dia rasakan?"
"Aku tidak tahu."
Arina pergi meninggalkan Nozomi, dengan nada ketusnya tadi. Nozomi kembali ke kelas untuk bertemu teman-temannya di klub musik.
Aku datang ke tempatnya setelah aku menemukan sesuatu dibalik diary yang ia tinggalkan.
Dia ternyata telah menemukan bulu burung waktu yang aku cari.
Tapi dia menyembunyikannya dariku.
"Akihito-kun?"
"Kamu kenapa menyembunyikan semuanya dariku?"
"Aku menyembunyikan apa?"
"Bulu Burung Biru itu kamu sudah dapatkan kan?"
"Maafkan aku."
Aku pergi meninggalkannya.
Nozomi hanya melihatku dari jauh, ia tampak sedih tapi aku juga tidak suka ada yang ditutupi apalagi mengingat ini berkaitan dengan keberadaanku disini.
"Maafkan aku, Akihito-kun, aku harus tutupi ini sampai aku benar benar matang merencanakannya. Karena aku tahu, aku akan mati jika pergi ke masa depan."
Arina mendatangi Nozomi, melihat muka Nozomi yang sedih, Arina hanya diam.
"Kamu mau pulang bareng aku?"
"Aku sudah janji dengan Akihito-kun."
"Oke. Kalau ada apa apa antara kalian berdua, hubungi aku, mungkin aku bisa membantu."
Nozomi hanya diam.
Aku menunggunya diluar, Nozomi sepanjang jalan hanya diam.
Sesampainya di bukit tempat pertama kali bertemu, ia tidak sekalipun melihatku. Ia menatap kota.
"Akihito-kun, aku minta maaf kepadamu, aku memang menutupinya, agar kamu tidak cepat pulang. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin mematangkan prototipeku agar bisa pergi ke masa depan dengan penuh persiapan, karena aku tahu, resiko kematian juga menghantuiku."
"Aku tidak suka kalau kamu berbohong!"
"Aku tidak berbohong!"
"Tapi aku tidak suka semua ditutupi seperti ini!"
Aku benar benar marah padanya.
"Kamu memang tidak pernah bisa mengerti perasaanku! Tidak punya empati! Pergi kamu! Angkat semua barangmu!"
"Tapi..."
"Aku tidak ingin dengar ocehan omong kosongmu lagi! Pergi!"
TO BE CONTINUED