Aku sudah sampai di restoran dengan penampilan rapi dan anggun seperti biasa. Meski rasa linu menjalar di seluruh tubuhku akibat tidur di lantai semalaman. Tapi aku harus terlihat bugar di depan semua orang.
"Apa kabar Mbak Dina? ayo silakan duduk?" ucap Pras ramah saat aku memasuki ruangannya. Aku pun duduk di kursi yang bersebrangan dengannya.
"Kok sudah masuk Mbak? Bukannya tiga hari lagi ya" tanya Pras yang keheranan karena aku kerja lebih awal.
"Ibu saya sedang wisata religi sama ibu-ibu kampung, makanya aku enggak jadi pulang kampung dulu," tukasku mengarang cerita. " Lagian Dina kangen sama Mas Pras." Aku mengerlingkan mata genit ke arahnya. Terlihat dia salah tingkah sendiri.
"Ehem.." dia berdehem sejenak. Mengembalikan wibawanya kembali sebagai atasan. Meski aku tahu, dari gerak-geriknya dia terlihat gugup.
"Jadi Gini Mbak Dina. berhubung di restoran kami yang kosong adalah kasir maka..." kata-katanya tertahan saat aku meraih pigura kecil yang terpampang di hadapannya. Terlihat pria itu gelapan berusaha merebut pigura itu, tapi sayang aku lebih cepat.
"Ini 'kan foto saya Pak."
Dia seperti mati kutu. wajahnya orientalnya memerah. Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lucu sekali melihat tingkah saat itu seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibunya. Aku segera memahami situasi.
"Mas Pras suka sama saya?" tanyaku sama basa-basi. Dia terhenyak. Tapi dengan terbata-bata, dia berucap,
"Iya Mbak, saya sudah menyukai Mbak sejak pertama kali mbak kerja di tempat gym mami. Jujur, aku selalu semangat untuk membuka pintu tempat gym di pagi hari, karena pada saat itu aku bisa melihat senyum mbak." Ungkapnya dengan jujur. Ternyata diam-diam, dia menyimpan rasa yang sama denganku. kami saling mengagumi satu sama lain.
Aku berdiri. Dengan gerakan yang erotis, aku berjalan mendekatinya. Mata pras terus tertuju ke arahku. Sepertinya dia menunggu momen-momen seperti ini. berdua denganku adalah hal yang dia sangat inginkan. Aku bisa merasakannya. Tepat di sampingnya, aku menyender dengan kedua tangan yang tertumpu di meja. Menggerakan kemolekan tubuhku lebih dekat dengannya.
"Mbak." Tukasnya. Seketika aku meletakan jari telunjuk di tengah bibirnya. "Jangan panggil Mbak dong sayang, panggil Dina saja, kalau enggak sayang."
"Dina!" dia meneguk ludah tatkala aku membuka blouse putihku sampai terlihat dua bulatan indah yang tertutup dengan bra hitam. Aku bisa melihat keganasan dari matanya. Keganasan serupa harimau yang kelaparan, namun itu semua tertutup oleh pembawaannya yang selalu kalem. Dan kini tugasku untuk memancing keganasan harimau itu.
Kancing demi kanting terbuka, semakin terlihat tubuhku yang indah. Kedua tangan Pras hendak memegang pinggulku tapi aku buru-buru menepisnya.
"Sebentar ya, aku kunci pintunya dulu." Dia mengangguk tidak keberatan. Jangan sampai kecerobohan kecil menimbulkan masalah yang lebih besar.
Klik
Suara pintu yang terkunci. Segera, aku melangkah ke arahnya dan meloncat ke pangkuannya. Tidak berapa lama di ruang yang kedap suara itu, terdengar suara desahan yang saling bersahutan.
***
"Totalnya dua ratus empat puluh lima ribu ya Pak." Seorang bapak-bapak menyerahkan dua lembar uang merah dan satu lembar uang biru kepadaku. Dengan sigap, aku menerimanya, mengeprint struk penjualan. lalu menyerahkan bersama kembaliannya kepadanya. Aku cukup mengerti dengan sistem kasir yang ada di komputer, cukup menyesuaikan saja. Sekilas aku melihatnya bersama dengan keluarganya yang sedang duduk di meja. Bercengkrama dalam kehangatan.
"Makasih ya Mbak." Dia menerima struk dan kembalian sembari memeras tanganku. Aku yang kaget sontak melihat ke arahnya. Terlihat Pria itu tersenyum nakal.
"Maaf Pak, Ada yang bisa bantu lagi? Atau barang kali bapak mau memesan makanan lagi?" langsung aku menarik tangan dengan senyum yang agak dipaksakan.
"Berapa hargamu semalam?" lirihnya.
"Maaf Pak, kalau tidak ada pesanan lagi. Silahkan geser Pak. karena sudah banyak yang menunggu giliran."
"Iya saya mau pesan kamu buat semalam." Ujarnya lagi. Lelaki yang sangat gigih. Tapi sayang aku tidak tertarik. Meskipun kau mau membayarku berapapun, batinku. Tiba-tiba terlintas ide untuk mengerjainya.
"Boleh Pak. Tapi ada syaratnya. bapak harus mentraktir seluruh pelanggan disini makan sepuasnya gimana?" cetusku. Dahinya berkerut. Sejenak dia mengitarkan pandangan ke sekitar. Ada sekitar tujuh puluh orang yang sedang makan di restoran itu.
"Kamu gila hah! Mana sanggup saya bayar mereka semua!" ujarnya dengan nyali yang ciut.
"Kalau enggak mau ya udah." Sahutku dengan berpura-pura sibuk melihat komputer.
"Dasar kamu...." geramnya.
"Apa pak? Bapak mau menraktir seluruh pelanggan disini?" ucapku dengan suara yang meninggi. Supaya terdengar oleh semua orang. semua mata tertuju padanya. Bapak-bapak itu panik. Tidak mengira akan mendapatkan kejutan dariku. Dia pun beringsut mengajak keluarganya keluar dan melipir keluar restoran.
"Rasain, makanya jadi orang jangan ganjen." Gumamku. Bisa-bisanya dia menawar harga diriku. Emangnya aku wanita apaan?
Kecuali kalau memang aku menghendakinya.
Masih terasa sentuhan Pras di ruangannya. Tepat seperti yang kuduga. Dia layaknya harimau. Ganas sekali. bahkan aku sempat dibuat kewalahan dengan permainannya. Sayang, sekasar apapun permainannya, dia tidak mampu membawaku menuju klimaks. Mungkin dia kurang pengalaman tentang titik-titik sensitif wanita.
Tapi tidak apa, yang jelas sekarang Pras sudah jatuh dipelukanku. Dengan begitu, akan sangat mudah bagiku untuk mengendalikannya. Terutama untuk membalas dendam atas perlakuan tidak menyenangkan dari kedua orang tuanya.
"Dina, kamu sudah istirahat?" Pras menghampiri mejaku.
"Belum Pak. ini masih sibuk menata nota-nota penjualan." Sahutku sesopan mungkin. Aku memanggilnya Pak supaya terlihat formal dan untuk menutupi status hubunganku dan Pras.
"Sudah tinggalkan saya. Biar santi yang menghandlenya, iya 'kan santi?" Ujarnya kepada partner kasirku. Terlihat santi tersenyum tipis sambil mengangguk. Ada keterpaksaan di sana.
"Nah itu Santi mau, sekarang ayo ikut aku makan diluar." Katanya yang tanpa basa-basi, menggandeng tanganku. Semua karyawan disana memandang kami. Terlihat pandangan mereka kurang menyenangkan.
Sesampainya di sebuah restoran eropa, dia membawaku ke meja paling ujung dimana di balik kaca terlihat kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Aku terheran kenapa dia membawaku makan di luar sementara dia adalah pemilik sebuah restoran.
"Aku bosan dengan makanan di restoran. sekali-kali aku ingin makan diluar apalagi suasananya romantis seperti ini." kilahnya menutupi sesuatu. Aku hanya cemberut.
"Kenapa sayang? Kok cemberut gitu.
"Kamu memperlakukanku istimewa. Lihat banyak karyawanmu yang tidak suka denganku.
"Biarin." Ujarnya cuek.
"Kenapa kamu malah seperti ini? Apa kamu enggak takut semua orang tahu, termasuk tunanganmu dan keluarganya?"
"Aku nyaman denganmu sayang, aku ingin menunjukan kepada semua orang tentang hubungan kita. aku tidak mau menjadi pencundang yang hanya menuruti apa kata orang."
"Jangan Mas! Kamu harus lihat situasi. Aku ini masih istri orang. sementara kamu tahu sendiri 'kan kalau ibu kamu sangat benci denganku. aku takut hal ini menimbulkan masalah besar di kemudian hari, tidak hanya untukku, tapi juga untukmu."
"Benar juga sayang. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Aku menggenggam erat tangannya dan mulai menuturkan rencanaku. Dia pun manggut-manggut.sejak saat itu, Pras tidak ubahnya peliharaan yang menuruti semua perintahku.