Mendengar keributan, badan mahluk itu menegak. membiarkanku yang gelesotan menahan hasrat yang sudah di ubun-ubun. Mahluk itu mengarahkan tangannya ke pintu. Pintu yang semula terbuka lebar mendadak menutup dengan cepat, sehingga Pak Min yang mau masuk ke dalam kamar pun kejedot pintu.
"Aduh!" terdengar pria tua itu mengaduh. Mungkin beberapa orang sigap menangkap tubuhnya.
"Ehmmm...mmm" desisku tidak sabar. Pada saat itu aku seolah kehilangan akal, meski aku dalam keadaan sadar sepenuhnya. Refleks aku membuka sendiri celana dalam dan melemparnya serampangan. Lalu, aku membuka paha lebar-lebar sembari sedikit mengangkat bokongku.
"Mbak! Sampeyan di dalam! Jawab saya mbak!" teriak Pak Min yang tampak cemas. Aku tidak menyahutinya, malah fokus membujuk mahluk itu untuk bersenggama denganku lagi.
"Plis, aku sudah tidak tahan!" rintihku. Mahluk yang semula fokus pada keributan di pintu itu, menoleh ke arahku.
"Bapak-bapak, tolong dobrak pintu ini!" titah Pak Min kepada segerombolan bapak-bapak yang mengikutinya. Tidak berapa lama, terdengar suara pintu yang di hantam keras, memaksa untuk terbuka. Tapi tidak seperti pintu sebelumnya, pintu kamar itu secara mistis sulit untuk terbuka.
"Mbak! Dengarkan saya Mbak! Jangan kamu turuti hawa nafsu setan! Nanti kamu yang kena mudaratnya!" Teriak Pak Min di sela teriakan warga yang berusaha membuka pintu.
Hati kecilku membenarkan apa yang dikatakan Pak Min, tapi tidak dengan otak dan ragaku. Rasa gatal di kemaluanku semakin menjadi-jadi, membuat semua saraf dalam tubuhku memintaku untuk segera menuntaskannya. Satu-satunya cara adalah dengan berhubungan dengan demit di depanku ini.
Beberapa kali dia mengeram lirih seakan sedang berbicara denganku. Dia sedikit ragu untuk meneruskannya, membuatku kehabisan kesabaran.
"AYOOO SETAN, KENAPA KAMU DIAM SAJA!" bentakku sembari mengangkat kepala. Aura yang menguar dari tubuhnya membuatku belingsatan, kesetanan.
"Astaga Mbak! Nyebut Mbak!" teriak Pak Min dari luar. Suara pintu yang di banting semakin kuat.
"PERGI KALIAN! JANGAN GANGGU KAMI!" hardikku dengan nada tinggi, supaya mereka berhenti menganggu kami, yang hampir menyelami lautan surga duniawi.
Keributan di luar berhenti sejenak. terdengar dengung suara mereka berdoa.
GGGGRRRRRRRRRRRRR....
Mahluk itu mengeram keras. Matanya membulat penuh amarah. Aku terhenyak dan memalingkan wajah. Nafasku menderu tatkala dia mendekatiku. Apa dia marah karena aku membentaknya?
Aku menutup kedua pahaku sembari beringsut mundur. Nafasku terengah-engah menahan nafsu dan ketakutan.
"Ahhhhhhh" aku tersentak tatkala lidah yang kasar mengenai liang senggamaku. Rasa gatal yang mendera, berangsur mereda seiring dengan jilatan yang membabi buta. Sesekali mataku mendelik, Enak yang tiada tara, yang tidak kudapatkan dari lelaki manapun.
Dalam waktu semenit, aku merasakan getaran nikmat yang menjalar di seluruh saraf tubuhku, menyatu dalam lubang yang becek. Terdengar suara decak yang berisik memenuhi ruangan. Lidah besar bertektur kasar beradu dengan lubangku, yang akan mambawaku ke puncak kenikmatan.
"Ahhh kuat lagi sayang." Titahku tanpa memperdulikan suara pintu yang kembali berdebam. Mahluk itu semakin beringas bahkan aku merasakan sesuatu seperti masuk keluar. Rupanya lidahnya yang menjebol lubangku. Perih dan nikmat. Aku mengelinjang hebat. Sudah tidak kuperdulikan dengan batas warasku karena bersetubuh dengan lelembut. Yang terpenting sekarang, aku ingin dipuaskan.
BBBRRRAAAAAKKKK
Daun pintu yang terlepas dari engsel dan kusennya pun jatuh ke lantai bersamaan dengan dua orang ikut terpelanting. Sepertinya mereka yang mendobrak pintu tadi.
"Kurang ajar kau setan! Enyah kau dari sini!" geram Pak Min sembari menabur garam ke arah mahluk di depanku. Sontak saja, dia menghentikan aktifitasnya dan berontak kesakitan. Mulut Pak Min berkomat-kamit, menambah derita mahluk hitam, besar, berbulu itu. Dia ingin kabur dari tempat itu, tetapi seolah ada sebuah pembatas ghaib yang mengurungnya sehingga dia tidak bisa kemana-mana. lambat laun, mahluk itu berubah menjadi kepulan asap. Sontak tercium bau terbakar yang menyengat.
"Syukurlah, Mahluk itu sekarang sudah musnah." Ucap Pak Min yang diikuti oleh bapak-bapak yang lain. Lalu salah satu di antara mereka menyalakan lampu.
Sekarang terlihat dengan jelas raut bapak-bapak yang bersama Pak Min, jumlahnya ada lima orang. Tiga diantaranya tampak menutup mata. Sementara yang lain melotot sembari tersenyum penuh arti kepadaku.
"Astaga!" seru Pak Min yang sigap mengambil selimut untuk menutupi tubuhku yang polos dan awut-awutan. "Jaga pandangan kalian!" perintah Pak Min sembari memandang tajam ke arah Bapak-bapak tersebut.
"Aduh Pak Min! Kami kan niatnya menolong, untung saja ada kami, kalau enggak pasti dia sudah habis sama genderuwo itu," celetuk salah satu bapak-bapak yang berkumis tebal.
"Mbak enggak apa-apa to!" seloroh yang lain sembari mengulurkan tangannya, mau memegang pundakku. namun segera ditepis oleh Pak Min.
"Jarwo, Cipto! Lebih baik kalian keluar dari sini! Atau kalian mau kemaluan kalian hilang hah!" ancam Pak Min. Dua bapak-bapak itu begidik. lantas melipir ke luar rumah.
"Mbak! Kamu enggak apa-apa kan!"
Aku tidak segera menjawab. Bulir-bulir keringat mengalir di keningku. Masih terpana dengan kejadian yang begitu cepat. Tiba-tiba, aku menengadah sembari memekik. Gelombang dahsyat keluar begitu saja, tanpa ada yang menyambutnya. Tanganku memegang kasur yang basah oleh cairan kental. Dengan mata yang nyalang, aku melirik tajam ke arah Pak Min.
"Kenapa kamu usir mahluk itu hah!" bentakku sembari mendorong Pak Min sampai terjungkal di lantai. nafsu yang belum terpenuhi, membuatku gelap mata. Tiga pria di ambang pintu tadi langsung menghampiri Pak Min.
"Bapak tidak apa-apa?" Mereka pun membantu Pak Min berdiri.
"Apa-apaan kamu! sudah ditolong juga!" bentak salah satu bapak-bapak sembari memisahkanku dengan Pak Min.
"Benar-benar tidak tahu diri." Timpal yang lain. Aku melotot ke arah bapak-bapak itu. Entah kenapa aku merasa sangat marah.
"Sudah bapak-bapak, jangan marah dengannya. dia sedang sawan. Pengaruh genderuwo itu masih melekat di otaknya." Ucap Pak Min tenang. Sejenak dia merapalkan mantra. Lalu secepat kilat dia menempelkan telapak tangannya di jidatku, membuatku tidak sadarkan diri.
***
Aku terbangun sampai menimbulkan suara kriek balai tempat tidur. Mataku mengerjap-erjap. Ini kan? Segera aku tersadar. Lalu aku keluar dari tempat yang ternyata adalah gubuk yang sudah miring. Tidak salah lagi, ini adalah rumah di tengah hutan yang letaknya tidak jauh dari kampung Cerme. Aku ingat betul disinilah aku bertemu dengan Arya, Pria tampan yang mengenakan baju kerajaan zaman dulu. Penguasa hutan ini. Dia adalah pemimpin dari genderuwo yang telah menghamiliku, sehingga terlahir anak setan itu.
"Tolong...tolong.."
Aku terdiam saat tiba-tiba terdengar suara orang meminta tolong. Suaranya seperti..., batinku menerka-nerka. Aku memasang telinga, namun suara itu menghilang.
"Dina! tolong ibu Nak!" mataku membulat. Ternyata benar itu suara ibu. Aku mengitarkan pandangan ke hutan yang sunyi. Lalu mataku fokus ke arah jalan setapak di samping gubuk yang mengarah kepada Sendang. Iya, di sanalah pusat kerajaan demit itu.
Tergopoh-gopoh, aku berlari ke Sendang itu. sesampainya di sana mataku terbelalak. Di bawah pohon beringin besar di dekat telaga itu, ada sebuah pendopo, dimana terlihat sekumpulan orang berbadan tinggi besar. kira-kira dua kali lipat dari ukuran manusia normal. Mereka berdiri berjejer, dan saling berhadapannya. Di tengah-tengahnya, ada jalan menuju singgasana, dimana sudah ada Arya, Pria tampan berbadan atletis yang tampak gagah dengan balutan pakaian khas raja zaman dulu. Wajahnya terlihat sangat dingin dan bengis.
Namun, satu hal yang membuatku histeris. Terlihat Arya yang sedang menginjak seorang wanita paruh baya. Wanita malang itu diikat dan dibiarkan tergelepar tak berdaya di lantai.
Bersambung