Setelah membersihkan diri, aku buru-buru masuk kamar. Mempersiapkan semuanya untuk pulang kampung. Dengan tergesa-gesa aku meletkan peralatan make up ke dalam tas kecil dan pakaian secukupnya, untuk kebutuhanku selama dua hari di kampung.
Langsung aku mematikan semua lampu, mengunci pintu. Mengeluarkan mobil dari garasi dengan pandangan yang terus menyapu sekitar. takut-takut kalau mahluk itu tiba-tiba muncul.
Mobil sudah diluar, aku segera menutup pintu dan masuk kedalam mobil. Keluar dari area rumah. Semenjak Pras meninggalkan rumahku, bayangan itu tidak tampak lagi. Namun entah kenapa aku seperti terus di awasi di rumah itu, membuatku tidak betah di rumahku sendiri.
Cuaca yang terik menguasai langit surabaya. kemacetan juga tidak terhindarkan. Aku menghempaskan tubuhku di kursi mobil, sembari menunggu kemacetan. Tiba-tiba, mataku berbinar. aku teringat paranormal yang ada di desaku. Dia pasti bisa mengusir mahluk yang mengangguku terus-terusan. aku semakin semangat untuk sampai ke rumah.
Perjalanan memakan waktu enam jam untuk sampai di kotaku. Kota kecil yang terkenal karena produksi pohon manggisnya yang tertinggi di jawa tengah. Tempat dimana aku dibesarkan, yang tentu perantau sepertiku rindu dengan suasananya. Namun, kejadian buruk yang menimpaku seolah memisahkanku dengan tanah kelahiranku itu.
Mobilku masuk ke jalan desa. Terlihat hamparan perkebunan tebu yang dedaunnya tertiup angin seolah menyambut kedatanganku. beberapa orang tampak membawa sabit dan karung, sepertinya mereka sedang ngarit rumput untuk pakan ternaknya. Aku sangat mengenal mereka. hanya saja aku tidak mau menyapanya. Tentu karena aibku yang membekas tentangku, sehingga aku lebih memilih untuk berlalu begitu saja.
Akhirnya sampai di depan rumah, tepat saat adzan magrib berkumandang. Para tetangga melongok kearah mobilku seakan bertanya-tanya siapa gerangan yang berhenti di depan rumah Mbok Iyem? Ibuku?
Aku turun dari mobil dengan wajah yang tertutup masker dan kaca mata. Tergesa aku berjalan menuju rumah.
Tok..tok..tok..
Aku mengetuk pintu yang terbuka lebar. Rasanya canggung sekali untuk masuk ke dalam rumah meskipun ini rumah ibuku sendiri. Mengingat setahun lebih aku tidak pulang sama sekali.
"Tunggu sebentar!" terdengar sahutan dari dalam. Tidak berapa lama keluar seorang wanita paruh baya yang tampak menggunakan mukena. Sepertinya akan melakukan ibadah Magrib.
Dia menyipitkan matanya. Memandangku dai atas sampai bawah. Dahinya yang keriput itu berkerut. Aku menepuk jidat, lalu aku membuka kaca mata hitam dan maskerku.
"Ya Allah Dina!" pekiknya sembari berjalan pelan ke arahku. Matanya tampak berkaca-kaca.
"Inggih Bu, ini Dina." sahutku.
"Ya Ampun, Nduk. Ibu sampai pangling. Kamu beda sekali." tuturnya. Memang penampilanku sangat beda dengan setahun yang lalu. Kehidupan kota membuatku berubah.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari dalam kamar. Aku bertegun sejenak. begitu ibu, mimik mukanya yang semula bahagia mendadak sendu. Aku menghela nafas. Aku sudah mengira pasti bayi setan itu. walau waktu sudah cepat berlalu, tapi aku ingat betul suaranya yang beda dengan bayi kabanyakan. Lebih serak dan menakutkan. Aku begidik sendiri, membayangkan rupanya sekarang.
"Ayo masuk Nduk, lihat anakmu." Perintah ibu. Dia menuntun tanganku menuju kamar. Dengan ragu, aku menuruti ibu meski langkah kaki ini terasa berat sekali. namun kepalang tanggung, aku sudah berada disini. mau tidak mau, aku harus melihatnya
Ibu masuk ke dalam kamar begitupun aku. itu adalah bekas kamarku dulu. Aku menutup mataku. suara bayi itu mengoyak-goyak perasaanku. Aku meringis tatkala suara itu terasa amat dekat.
"Nduk, coba lihat anakmu Nduk, anakmu sudah besar." tutur ibu.
Sembari menahan nafas, aku membuka mata pelan-pelan. seketika aku menjerit histeris.
***
Aku termenung di teras rumah. pandanganku menerawang ke halaman rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadaku. Sedih, malu, takut. Betapa tidak, bayi itu sekarang tidak ubahnya monster. Bulu lebat memenuhi sekujur tubuhnya yang hitam, mata besar sampai kelopak matanya tidak mampu untuk menampungnya, hidungnya pesek sekali, sampai memperlihatkan kedua lubang besarnya. Bulu romaku merinding di buatnya.
Ibuku duduk di sampingku. Dia mengelus-elus rambutku yang tergerai, membuat perasaanku sedikit lebih tenang.
"Nduk, ibu tahu ini semua berat untukmu. Tapi kamu harus ingat, Satrio adalah darah dagingmu. Dia juga butuh kasih sayangmu. Kamu harus belajar untuk menjadi ibu yang baik untuknya." Tuturnya lembut. Aku mendongak, menahan air mata supaya tidak mengalir. Terlintas tentang semua dosa-dosaku di masa lalu, apakah ini adalah hukuman Tuhan untukku? Atau bahkan Azab?
Jauh sebelum aku mengenal Reza, mantan suamiku yang sudah meninggal. Aku mengenal Ardi, pria baik yang sangat bertanggung jawab. Tetapi justru aku terpikat dengan berandalan seperti Reza, karena nafsu sesaat saja. Karena tantangan akan fantasi seksual yang selalu dia berikan kepadaku sehingga membangunkan sisi liar dari diriku. Tak dinyana, setelah aku menikah dengan Reza, justru hasratku menggebu-gebu sampai aku pernah berhubungan dengan genderuwo. Sungguh kegilaan di luar nalar manusia.
Dan sekarang, aku seolah mendapatkan balasan atas semua perbuatanku dulu. Memiliki bayi benih dari genderuwo!
"Nduk, ibu pikir kamu tidak bakal mau pulang ke rumah, ternyata kamu pulang Nduk. Ibu seneng banget. yang perlu kamu tahu, belakangan ini setiap habis magrib satrio selalu menangis. Dia sepertinya rindu dengan kehadiranmu Nduk. Makanya setelah kamu datang ke sini, dia menjadi lebih tenang." Sambungnya, membuat perasaanku bergetar.
Aku menoleh ke arahnya, seorang ibu dengan gurat tua di wajahnya itu masih tersenyum, padahal aku tahu dia berusaha tegar. Menanggung aib dan dosa dari anaknya yang tidak tahu diuntung ini.
"Ibu! Maafkan aku Bu." pekikku sembari memeluknya erat. Aku melampiaskan segara rasa di pelukannya. Betapapun, di usiaku yang sudah matang ini, justru aku menorehkan beban sekaligus luka kepada ibuku. Jika aku malu mempunyai bayi setan itu, justru ibuku merasa seribu bahkan sejuta kali lebih malu. Namun, dia mengabaikan itu semua demi anak dan cucunya. Dia memang wanita yang paling hebat di dunia ini.
Setelah puas menangis, aku merenggangkan pelukannya, lalu mengusap sisa air mata yang meleleh.
"Kamu pasti lapar kan Nak? Kebetulan ibu tadi bikin semur kesukaan kamu. ayo kita makan dulu." Ujarnya seraya berdiri. aku pun tersenyum. Ibu masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. ketika aku melangkah masuk. Aku mencium aroma melati yang saat pekat. Lalu, terlihat genteng diatasku bergerak seolah ada sesuatu yang berat menginjaknya. Seketika aku berlari kecil menyusul ibu.