webnovel

20. Ruang Tertutup

Rak-rak kayu raksasa berjajar rapi membentuk beberapa barisan. Begitu tinggi hingga mencapai ke langit-langit. Dinding rak dipenuhi oleh buku-buku tua yang terlindungi, lapisan transparan melindungi, memastikan lembaran rapuh untuk tetap terjaga meski waktu memakannya.

"Semua buku-buku ini sudah disalin dan disimpan di dalam database, jadi tidak bisa dikeluarkan dari dalam lemari," Felix berjalan mendekati sosok remaja yang mengenakan jubah. Terdiam dan jelas terpesona oleh begitu banyak buku.

Leo mengerucutkan bibir. Ini, bukan kali pertama melihat begitu banyak buku, sebaliknya, dulu, ia memiliki perpustakaan pribadi yang memiliki buku jauh lebih banyak. Sebagai seorang Penyihir, Ilmu adalah hal terpenting. Terlebih, orang-orang masih lebih suka menuliskan pemikiran mereka dibuku ketimbang di dalam sebuah perangkat elektronik ...

Namun, semua itu entah di mana sekarang. Leo tahu keberadaannya pasti sudah tidak ada lagi. Lagi pula, Perpustakaannya tidak berada di satu tempat, melainkan tersebar di beberapa Planet. Bertahun-tahun telah berlalu. Aroma buku yang dirindukan … sayangnya, tidak tercium di perpustakaan pribadi ini.

"Berarti aku tidak bisa menyentuh buku-buku ini?" Leo menoleh, menatap pria tua yang begitu tinggi.

Sosok itu tersenyum. "Tidak bisa," ujarnya. "Buku-buku ini sudah sangat tua, mereka sangat rapuh. Satu-satunya alasan kenapa mereka masih bisa di sini, itu karena tidak ada yang memindahkannya dari dalam lemari."

"Mereka hanya dijadikan sebagai simbol?"

"Benar," Kepala Sekolah Academy Ruby tidak menyangkalnya. "Mereka hanya simbol, tetapi tetap saja … merupakan harta yang berharga. Bukti bahwa ilmu yang kita miliki sekarang, berasal dari pemikiran-pemikiran yang tertulis dari kertas-kertas itu."

Leo terdiam mendengarnya. Sosok kelabu itu memalingkan wajah, lalu melangkah mendekati salah satu lemari. Tindakannya sangat tenang. Langkah kaki yang diambil bahkan tidak meninggalkan suara. Ketika jemari putih bergerak menyentuh lapisan transparan pelindung, sebuah layar muncul. Memberitahukan judul, tahun terbit, pengarang dan juga sinopsis isi dari buku yang ingin disentuh.

"Bila ada buku khusus yang ingin dicari, Tuan Muda An bisa duduk di meja dan mencarinya secara langsung pada layar," Felix menunjuk ke sebuah meja panjang yang berada di tengah-tengah antara kedua sisi lemari yang berbaris. Meja itu dikelilingi oleh kursi kayu, memberikan kesan bahwa perpustakaan ini akan selalu didatangi oleh banyak orang.

"Hanya keturunan Rika yang bisa memasuki ruangan ini?" remaja itu tidak menoleh. Berjalan pelan dan perlahan sambil melihat-lihat buku yang terlindungi di dalam lapisan transparan.

"Ya," Felix mengangguk. "Semua keturunan Penyihir Rika, juga Keturunan dari Penyihir Agung lah yang bisa memasuki perpustakaan ini."

Langkah kaki sang remaja terhenti. Sosok kelabu itu menoleh, menatap meja panjang yang bersih dan juga … sepi.

"Lalu ada berapa banyak keturunan Penyihir Rika yang sering ke sini?"

"Ada 304 yang diketahui masih hidup tetapi … hanya saya, satu cucu dan satu cicit lah yang lebih sering ke sini," Felix menjawab dengan tenang, memperhatikan pergerakan dari remaja cantik yang terlihat serius.

"Yang masih hidup … ," Leo bergumam, sepasang iris ocean menyendu.

Untuk beberapa alasan, ia sudah memperhatikan keturunan Rika. Semuanya dari ras dan status yang berbeda. Bahkan beberapa cukup luar biasa untuk menjadi seorang mantan Ratu di Kerajaan Ion atau bahkan … menjadi seorang buronan. Namun, terlepas dari semua itu, mereka adalah darah yang ditinggalkan Rika. Keturunan yang akan secara turun temurun, menjaga dan memegang sekolah ini … menyimpan dan menjaga memori dari sebuah catatan tak terbatas bernama … DNA.

"Setiap dua tahun sekali, kami semua akan berkumpul di sekolah ini. Karena itu, akan ada pesta dan perjamuan yang dikenal dengan hari 'Keluarga'. Selama rentan waktu itu, selama 1 minggu sekolah akan diliburkan dan bebas dari semua pembelajaran," Felix tidak berhenti untuk bercerita. Senyuman kecil mengembang di wajah yang telah tergores oleh waktu. Sepasang netra kelabu melembut. "Itu adalah saat yang sangat meriah."

Leo tersenyum kecil mendengarnya. "Kalau begitu … bisakah aku diundang ke acara keluarga itu?" kepala menoleh, sepasang netra biru menatap sosok tua yang berdiri kokoh di dekat ambang pintu. "Acaranya terdengar menyenangkan."

"Tentu saja, Tuan Muda An," ujar Felix lembut. "Anda dan Tuan An akan diundang di acara Keluarga, kami akan mengadakannya 4 bulan lagi, jadi saya berharap pada bulan Desember nanti, Anda dan Tuan An bisa menyempatkan diri mengikuti pesta kecil kami."

"Tentu," si kelabu mengangguk serius. "Terima kasih atas undangannya," jeda beberapa detik. Leo terlihat memikirkan sesuatu. "Apakah aku mengganggu pekerjaanmu?"

"Tidak sama sekali," Felix tersenyum. Menggelengkan kepala dengan lembut. "Yah … tetapi saya yakin Tuan Muda An memerlukan privasi. Saya akan pergi, bila ada sesuatu yang Anda inginkan atau butuhkan, Anda bisa memanggil saya kapan saja."

"Oke," Leo mengangguk, membuat Incubus tua itu tersenyum, lalu mundur dan melangkah keluar dari dalam Ruang Tertutup.

Begitu sosok lain menghilang dari pandangan, Leo menghela napas. Sepasang netra biru kembali memandang sekeliling, memperhatikan ruangan besar dengan banyak rak berisikan buku yang … begitu terawat.

Tidak ada debu, cahaya matahari masuk melalui jendela prancis yang besar, menyinari ruangan dan membawa aroma segar yang menyenangkan. Senyuman kecil mengembang. Melangkah mendekati meja panjang, Leo menarik kursi dan duduk di salah satu kursi berlapis bantalan empuk.

Mengerucutkan bibir, jemari putih menyentuh permukaan meja dan sebuah layar transparan terpampang.

Hening.

Sepasang iris biru gelap itu memandang layar transparan yang melayang di hadapannya. Sebuah kecanggihan di mana ia tidak akan menikmati sebuah perasaan 'mencari' kembali. Sebuah kecanggihan yang telah menghilangkan aroma buku, tinta dan juga tekstur yang teraba di jemari ketika membalik setiap halaman penuh kata.

Oh ...

Hal kecil ini ... entah bagaimana benar-benar ia rindukan. Namun, bagaimanapun zaman telah berubah. Segala hal tidak akan selalu berputar di satu tempat. Namun sayang, meski sudah beberapa bulan beradaptasi dengan dunia asing penuh dengan kata 'masa depan' ini, Leo, tanpa diduga, jauh lebih nyaman dengan lingkungan lamanya yang terbelakang.

Helaan napas terlontar. Tanpa menunda waktu kembali, jemari putih itu mengetik pada layar, membuka setiap kemungkinan untuk sebuah cetakan biru. Yah ... ia masih ingat tujuan utamanya datang ke sini.

Bila semua kertas di ruangan ini sudah di scan, ada kemungkinan cetakan biru Micro juga turut disimpan. Namun … bila tidak, Leo dengan terpaksa harus menelusuri arah dari mana 'semua orang' bisa menikmati Asisten dan bahkan bisa memiliki pembaharuan sistem.

Bagaimanapun, keberadaan Micro masih memiliki sangkut paut dengan Asisten. Meski ia jelas berada di dalam proyek itu, kemampuan sang Penyihir terbatas. Bila Micro rusak, ia hanya bisa memperbaiki semampunya …

Menggeretakkan gigi, Leo ingat ketika pertama kalinya Micro rusak. Itu adalah saat pertama dirinya bertemu dengan sang Naga. Si kelabu jelas merasa sudah memperbaiki dengan baik. Kerusakan yang disebabkan lumayan parah, membuat Micro tidak bisa benar-benar ikut bertarung kembali dan sosoknya harus sering melakukan masa pendinginan yang agak lama. Hal ini merepotkan, siapa yang mengira bahwa Micro begitu sensitif? Karena itulah … kali ini, Leo mencoba mencari cara.

Setidaknya, bila cetakan biru ditemukan, ia bisa mempercepat proyek yang akan dilakukan para peneliti itu.

Tap.

Leo menoleh. Suara langkah kaki yang halus dan tidak terlalu mencolok terdengar. Jaraknya, tidak terlalu jauh. Sosok yang berada dibalik dinding jelas menuju ke ruangan ini. Memperkirakan apakah harus muncul atau tidak …

Oh, lupakan. Berpura-pura saja sebagai keturunan Rika.

Mengenakan cincin berwarna perak, helai rambut dan warna mata langsung berubah. Perak dan emas. Sosok kelabu kini menjadi sosok remaja albino yang terlihat jauh lebih pucat. Dengan sepasang netra emas yang bulat, Leo kembali menatap layar. Berpura-pura tidak mendengar setiap langkah kaki yang semakin mendekat.

Tap.

Kali ini, langkah kaki itu berhenti. Tepat di depan sebuah pintu ganda virtual. Sosok itu sepertinya ragu-ragu, atau mungkin tengah melakukan sesuatu. Beberapa detik kemudian, suara itu kembali terdengar. Melangkah dengan lancar, melewati pintu virtual seolah-olah benda itu tidak pernah ada.

Tap.

Langkah kaki itu kembali berhenti. Tepat di depan pintu ganda yang tertutup. Seolah tertahan oleh sesuatu, selama beberapa saat, sosok itu tidak kembali melangkah. Leo juga tidak melirik atau bahkan menoleh. Sosok remaja berhelai perak terlihat fokus. Menatap layar transparan di depannya, sambil sesekali mengetik dan tetap mencari dengan berbagai macam kata kunci. Berderet judul akan muncul dan dengan sabar, sosok perak membaca satu persatu sambil menggulir ke judul selanjutnya.

Tap.

Langkah kaki kembali terdengar. Kali ini, lebih lama dari apa yang diperkirakan Leo. Sosok itu juga kali ini tidak menyembunyikan keberadaannya. Melangkah dengan konstan dan pelan, membuat suara langkah yang cukup tajam untuk didengar di ruangan yang sangat sunyi. Karenanya, kali ini Leo tidak berpura-pura kembali. Sosok perak kali ini mengernyitkan alis, pura-pura terganggu sebelum akhirnya menoleh, menatap pengunjung asing yang mendekat.

Cahaya emas memanjang dari jendela prancis hingga menyentuh lantai. Di antara bayang-bayang yang tercipta karena bias cahaya yang intens, suara langkah kaki terdengar. Selangkah demi selangkah, sosok jangkung itu secara perlahan, terlihat.

Hal pertama yang menjadi fokus Leo adalah warna Biru.

Sosok pemuda jangkung berjalan dengan konstan. Wajah tampan dan muda itu tanpa ekspresi, terbingkai oleh helai rambut dark blue yang menawan. Ada sepasang tanduk kecil yang menyelinap di antara helai rambutnya, bersamaan dengan ekor bersisik biru yang bergoyang pada bagian belakang tubuh.

Ras Naga.

Leo langsung mengenali sosok ini begitu melihatnya. Dinilai dari wajah dan tinggi, sosok ini masihlah muda. Seorang remaja. Namun, hal pertama yang dipikirkan Leo bukanlah namanya, tetapi … peristiwa ketika pertama kali mereka menginjakkan kaki di planet itu.

Leo ingat keanehan Cosmos. Mengatakan perihal … ras Naga. Seekor Naga yang menurutnya lemah.

Apakah mungkin anak ini?

Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Kedua ras yang berbeda saling memandang dan mengamati dengan tenang. Bahkan hingga sosok Naga Biru itu akhirnya menarik kursi dan mengambil tempat duduk tepat di samping si perak, kedua remaja yang sama-sama saling memandang tetap tidak ada yang mau membuka percakapan.

Remaja dengan helai biru gerlap itu begitu cantik. Kulitnya putih, terlihat kontras dengan alis dan helai rambut berwarna gelap. Dipadukan dengan sepasang iris emas dan pupil vertikal yang kentara, Naga Muda ini masih menyimpan sedikit lemak bayi pada bagian dagu. Menunjukkan sisi lembut meski ekspresi yang dibuat terlihat dingin dan galak. Alis Naga biru tak henti terpaut, dengan pandangan yang tidak terlalu ramah.

"Nama? Ras?" akhirnya, sang Naga muda buka suara. Nadanya dingin, mengandung sejumlah perintah yang harus dijawab. Karena posisi Naga Biru yang lebih tinggi, Leo harus dipaksa sedikit mendongak untuk menatap wajah pengunjung ini.

Leo berkedip. Tidak menjawab sama sekali. Sepasang netra emas yang bulat memberikan kesan polos dan tidak mengerti.

Hal itu membuat sang Remaja mengernyitkan alis. [Kau tidak mengerti bahasaku?]

[Kenapa aku harus tidak mengerti bahasamu?]

Leo kembali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Namun, ketimbang marah, ekspresi lawan bicaranya justru terkejut. Sepasang netra emas membola, tidak percaya bahwa sosok mungil yang seperti ras manusia, bisa mengerti bahasa Naga.

[Kau mengerti bahasa Naga?]

[Ya]

[Siapa namamu?] kali ini si biru tidak menyembunyikan ketertarikannya. Nada yang dikeluarkan sedikit lebih ramah.

[An Leo] Leo menjawab kalem. [Siapa namamu?]

[Diandra Merci] jawab sang Naga Muda. Sepasang iris emas menyipit. [Kau bukan ras Naga … tetapi ada aroma Naga di tubuhmu]

Bukankah itu jelas apa yang ditinggalkan Ayahnya? Leo ingin memutar mata, tetapi ekspresi polos dan kebingungan masih terukir di wajah berbingkai perak itu. [Apakah itu aroma Papa?]

[Papa?]

Remaja perak mengangguk kalem. [Papa adalah ras Naga]

Merci langsung mengerti mendengarnya. Menatap sosok mungil, rapuh dan rupawan di sampingnya, dapat disimpulkan bahwa sosok ini adalah ras campuran. Ayahnya adalah ras Naga, kemungkinan Ibunya adalah ras manusia. Namun, bisa menggunakan bahasa Naga … bukankah berarti status Ayahnya cukup tinggi? Tidak semua ras Naga bisa menggunakan bahasa Naga. Bahkan Ibunya yang merupakan mantan seorang Ratu, tidak bisa menggunakan bahasa ras Naga.

[Apakah kau Penyihir?]

Kali ini, remaja perak tidak langsung menjawab. Ekspresinya terlihat ragu-ragu.

[Hampir 50% ras campuran adalah Penyihir] menatap langsung sepasang netra emas, Merci tanpa ragu mengungkapkan spekulasinya. [Bisa berada di sini … kau adalah ras campuran, bukan? Ibumu adalah keturunan Penyihir Rika?]

Yah … dia memang sedang berpura-pura menjadi keturunan muridnya sendiri. Biarkan bocah ini terus berspekulasi, Leo tetap diam. Berkedip polos dan menatap Merci dengan alis yang agak terpaut.

[Apa yang kau lakukan di sini?]

Di luar perkiraan, Naga Biru ini ternyata cukup cerewet. Leo tidak terlalu mau menanggapi kembali. Berpura-pura memasang ekspresi kaget, lalu memalingkan wajah. Jemari putih kembali mengetik pada layar transparan. Ia tidak berniat mengobrol dengan bocah ini lagi, lebih memilih fokus dengan pekerjaan. Lagi pula, ada larangan untuk mengobrol dengan orang asing, bukan? Sekarang ia adalah remaja cantik yang imut, bagaimana bila mendadak diculik oleh orang asing? Papanya akan menangis darah bila tahu.

Oh, atau mungkin, akan tertawa mengejek dan berkata kepadanya. 'Apakah permainannya menyenangkan, Baby?' Yah … mengingat Cosmos sangat mengetahui kekuatan dari penyihir tua ini, Leo tahu bahwa Naga Perak pasti tidak akan khawatir sama sekali.

Kecuali satu hal.

Bila Leo dengan sengaja menghilangkan aroma tubuh si Perak. Hal ini akan membuat Ayah palsunya ketakutan. Bagaimanapun, aroma Naga secara kasar memperingatkan bahwa ia adalah milik sang Ayah, masih dalam perlindungan dan dihujani rasa kasih sayang oleh Naga dewasa lain. Dalam artian singkat: Anak Naga yang masih disapih.

[Apa yang kau cari? Biar aku membantu--tunggu, kau bisa bahasa persatuan?] nada suara keturunan Incubus itu berubah begitu melihat ke layar. Jemari kecil mengetik bahasa persatuan, mencari dan membaca sederet nama buku yang menggunakan bahasa persatuan. Tidak ada perlindungan satu arah pada layar ini, membuat sosok asing juga turut bisa membacanya.

"Ya," Leo mengangguk polos. Masih berkonsentrasi dengan pencariannya dan tidak mengalihkan pandangan sama sekali.

"Bukankah tadi kau tidak membalas ucapanku, karena tidak mengerti bahasa persatuan?"

Nada Naga Muda ini agak agresif. Membuat Leo menghentikan pencarian dan menoleh menatap remaja yang tidak henti mengganggunya. "Kata siapa aku tidak membalas ucapanmu?"

"Bagaimana dengan yang tadi?"

"Yang mana?"

"Nama? Ras?"

Remaja perak itu ragu-ragu. "Umn … bukankah aku sudah menjawab pertanyaan itu?"

Alis Merci mengernyit. "Lalu kenapa kau tidak menjelaskan?"

Remaja mungil itu diam. Menatap lawan bicaranya, lalu memalingkan wajah.

Naga muda ingin marah, tetapi mendadak, seolah tertampar, dalam hitungan detik, rasa bersalah langsung bergelayut di dada sang Naga. Bukankah ia … agak keterlaluan? Mereka sama-sama keturunan Rika dan dirinya jelas adalah yang tertua, apakah pantas membentak atau melontarkan pertanyaan agresif ke sosok yang masih dalam ruang lingkup saudara jauhnya?

Leo tidak ambil pusing. Ia hanya mencari alasan agar sosok itu tidak mengganggunya kembali. Remaja perak fokus menatap layar. Mulai sibuk dengan aktivitasnya. Namun Naga Muda di cengkram oleh rasa bersalah.

[Naga Idiot memanggil]

Suara pemberitahuan Asisten mendadak memecahkan keheningan. Leo mengernyitkan alis, menerima panggilan video dari Papa Naganya dan dalam seketika, layar transparan muncul, memamerkan wajah tampan berhelai perak yang terlihat serius.

"Baby, masih di Ruang Tertutup?" suara seorang pemuda di layar terdengar. Namun, ada sedikit kebisingan dari sana. Selain wajah sang Naga, Leo hanya bisa melihat tembok putih yang berada di belakang Ayah angkatnya itu.

"Ya," alis sang remaja terpaut. "Papa di mana?"

"Hotel Arum," Cosmos tanpa ragu menjawab. "Ada beberapa hal yang harus Papa lakukan … Baby sudah makan?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Leo refleks melihat jam.

Oh, benar. Sudah waktunya makan siang.

"Belum," jawab si perak, jujur.

"Baby bawa makanan?" alis si perak terpaut. "Atau mau Papa buatkan makan siang? Nanti, biarkan Micro mengantarnya."

"Tidak perlu," Leo langsung menolak. "Aku membawa makanan, Papa tidak perlu khawatir."

Naga perak jelas masih ingin berbicara, tetapi beberapa detik kemudian, ia menghela napas. "Okay, kalau begitu, jangan lupa makan siang. Papa masih harus mengerjakan beberapa hal. Bila Baby capek, suruh Micro yang melanjutkan."

Leo terkekeh mendengarnya. Jadi, Naga ini menelpon hanya untuk mengingatkan makan? Tidak ada Micro di sekitarnya, jelas tidak akan ada yang mengingatkan untuk makan.

"Okay, Papa," ujarnya geli. "Bye."

Cosmos tersenyum. Sepasang netra emas itu menyipit. "Bye Baby," ujarnya lembut. "Jangan lupa melihat jadwal untuk menggunakan kostum malam ini."

Senyuman Leo langsung memudar dan sebelum perang dunia kembali terjadi, sang Naga tanpa ragu memutuskan komunikasi.

KOSTUM SIALAN ITU!!!

Sungguh, ia sudah menghajar Papanya habis-habisan, membuat sosok Naga yang biasanya tidak pernah terluka, kini memiliki beberapa memar. Bila ingin, Penyihir tua ini benar-benar tahu bagaimana membuat Kesatria level 9 puncak mengalami cedera serius meski keunggulan fisiknya sendiri hanya lah Penyihir level 4.

Leo mendengus. Tidak ada rasa bersalah sama sekali karena membuat Naga sialan itu terluka. Salah siapa karena berani menipunya? Sayang, semua pukulan dan memar yang diterima si perak sepertinya kurang. Apakah ia perlu menambahkan? Oh, bila bukan karena Leo tipe orang yang akan berpegang pada janji yang sudah diucapkan, Penyihir tua ini tidak akan begitu marah.

Cemberut, remaja cantik itu mematikan layar di depannya dan dalam hitungan detik segelas jus berwarna semerah darah yang kental dan manis muncul di atas meja. Itu adalah Jus buah Darah. Buah yang mengandung banyak nutrisi dan hampir cocok untuk dimakan oleh semua ras. Sayangnya, tidak bisa memakan banyak. Meski sehat dan lezat, buah ini akan berbahaya bila dimakan terlalu banyak. Bahkan untuk beberapa orang yang tidak kuat, memakan ¼ bagian buah sudah bisa membuat mereka mual dan pusing karena kelebihan Nutrisi!

Leo juga tidak bisa memakan banyak buah. Hanya 2 yang bisa diterima tubuh, sisanya, buah dicampur dengan madu, air dan buah lain. Membuat keadaan jus menjadi terlihat lebih kental. Tidak berbau anyir selayaknya buah Darah biasanya.

Pergerakan Naga biru terhenti. Remaja yang satu meja dengan si perak, menatap minuman yang mendadak muncul. Alisnya mengernyit. "Dilarang makan disini," ujarnya--mengingatkan.

Karena sebagian besar orang-orang makan dengan menggunakan cairan nutrisi, jelas tindakan Leo dianggap sebagai makan. Namun Leo tidak berniat mengoreksi ucapan Naga muda itu. Penyihir tua justru tersenyum.

"Tidak ada aturan yang mengatakan demikian," Leo langsung menyangkal, agak cemberut, meraih jusnya dan meminum cairan merah itu tanpa ragu sama sekali. "Aku sudah membaca aturan di sini … tidak ada aturan yang melarang seseorang makan di Ruang Tertutup."

Tentu saja tidak ada.

Namun Remaja Diandra tidak bisa membenarkan apa yang remaja putih itu lakukan. Di tempat yang dipenuhi dengan harta berharga berupa buku-buku yang rapuh, siapa yang berani membawa makanan dan minuman di sini?

"Kau akan mengotori tempat ini."

"Aku akan membersihkannya," menaruh kembali jusnya, sepasang netra emas menatap remaja yang begitu kaku dan aneh. Sungguh, Pangeran dari Negeri Ion ini seperti remaja yang mencoba meniru orang dewasa. Dengan lemak bayi yang membuat wajah cantiknya lebih lembut, tindakan kakunya justru terlihat imut. "Jadi, tidak masalah untuk minum, bukan? Lagipula, aku sangat lapar ..."

Merci tidak mengatakan apa-apa. Remaja itu hanya menatap Leo, mengernyit alis dan jelas tidak setuju.

Penyihir tua menghela napas. Remaja ini benar-benar kaku. Tidak tahukah bahwa aturan dibuat untuk dilanggar? Oh, bahkan mereka tidak melanggar aturan sama sekali! Tertulis atau bahkan non-tertulis. Tidak ada larangan untuk minum di sini!

"Apakah kau marah karena aku tidak membagi minumanku?" Leo berkedip polos, sukses membuat remaja berhelai biru mengernyitkan alis. Namun remaja perak tidak peduli, masih berbicara dengan seenaknya dan mengambil keputusan secara sepihak. "Yah … ini buah yang langka, tetapi karena kau masih saudaraku, aku akan memberikannya kepadamu."

"Aku tidak--"

"Ini adalah buah Darah," Leo menunjuk buah berwarna merah maroon seukuran ibu jari anak kecil dan berbentuk kotak. Wujudnya tidak cantik sama sekali, dengan aroma yang sedikit busuk dan tidak menyenangkan. "Kau bisa memakan yang ini."

Leo mengambil banyak buah Darah. Di Planet Ilusi, Buah Darah tumbuh subur, karena itu hampir setiap hari Leo memanen dan menjadikannya jus. Cosmos, biasanya melarang ia meminum jus ini karena setelah segelas kecil habis diminum, Leo akan merasa kenyang dan tidak memakan apa pun kembali.

Bagaimanapun, ia hanya meminum segelas kecil jus, bagaimana bisa anak kecil yang dibesarkan akan menjadi gemuk? Karena itulah, Cosmos melarang keras Putranya meminum jus darah dan membatasi hanya memakan satu buah satu hari.

Namun baik penampilan atau aroma buah darah memang agak … tidak menyenangkan. Bau busuknya seperti karat--benar-benar beraroma darah. Bila bukan karena rasanya manis dan cukup normal, ditambah segudang manfaat yang ditawarkannya, Buah Darah tidak mungkin menjadi buah paling mahal dan dicari hampir di seluruh galaksi.

Merci tidak bodoh. Pangeran sulung langsung mengenali buah langka ini.

Satu Buah Darah yang masak, bisa masuk ke dalam pelelangan dan berharga lebih dari Sejuta koin emas. Bahkan, untuk Merci yang merupakan Pangeran sulung, hanya pernah mencicipi satu gigitan kecil.

Namun sekarang, saudara jauhnya memberikan buah mahal ini dengan murah hati dan polos.

"Tidak," Merci langsung menolak. Bagaimanapun, buah ini terlalu mahal. "Simpan buahmu, jangan asal mengeluarkannya apa lagi dengan mudah memberikannya kepada orang asing," peringatnya.

"Bahkan meski aku saudaramu, jangan pernah memberikannya dengan mudah."

Leo berkedip. "Kenapa?"

Anak ini bahkan tidak tahu nilai dari Buah Darah?! Merci mengerutkan alis, merasa bahwa Penyihir kecil ini terlalu dilindungi bahkan tidak mengetahui dunia luar dan nilai barang yang dimilikinya.

"Buah Darah sangat berharga, tidak bisa begitu saja dikeluarkan atau bahkan diberikan begitu saja kepada orang lain," Merci, mencoba menasihati si perak yang masih tidak tahu kejamnya dunia.

"Tetapi kau adalah saudara jauhku, bukan orang lain," jeda beberapa detik, senyuman cerah merekah di bibir mungil itu. "Oh, bagaimana bila kita menganggapnya sebagai hadiah perkenalan?"

Kalimat ini membuat Naga Muda merasa tertohok. Rasa bersalah kembali mencekik paru-parunya. Oh, di awal perkenalan, ia dengan kasar bahkan bertanya dan berbicara secara agresif kepada sosok kecil ini. Namun apa? Remaja ini bahkan tidak tersinggung dan dengan tulus memberikannya hadiah? Hadiah yang bahkan ...

"Bagaimana kau memiliki buah ini?" Merci mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia diam-diam mulai mengingat benda berharga apa yang ada di dalam Kantung Ruangnya. Setidaknya, harus setara atau ... mendekati harga Buah Darah yang terlalu mewah.

Remaja cantik mengerucutkan bibir. "Papa yang memberikannya," jeda beberapa detik, sepasang netra emas menyendu. Oh, bila tidak ingat dengan tubuhnya sendiri, Leo benar-benar ingin memakan banyak buah mahal ini! "Dia tidak akan marah bila aku memberikannya kepada orang lain," sebaliknya, Naga sialan itu pasti senang!

Alis Merci terpaut. Naga Biru itu akhirnya mengeluarkan sebuah pertama berwarna biru laut. Ukurannya hanya sekecil sebutir beras, tetapi kilau dan warnanya sukses membuat Leo bungkam.

Air mata Mer.

Si perak langsung mengenali butir kecil itu sebagai Air Mata Mer.

"Aku hanya bisa memberikanmu ini," setiap kata yang dilontarkan Naga Muda, entah bagaimana, penuh dengan rasa malu. "Setidaknya, ini berguna untukmu, terutama di saat terdesak."

Ras Mer memiliki larangan untuk menangis. Kecuali untuk seseorang yang benar-benar mereka pedulikan, mereka baru diperbolehkan menangis. Karena bagaimanapun, setiap tetes air mata yang mereka hasilkan, akan menghabiskan setiap energi yang mereka miliki. Terlebih, setiap tetes air mata, merupakan jimat dan doa untuk seseorang yang mereka sayangi. Itu sebabnya air mata Mer juga disebut Alat Sihir Keberuntungan. Karena Air Mata Mer dapat memicu keberuntungan untuk menyelamatkan kehidupan si pemegang di saat paling krisis.

"Tidak," Leo langsung menolak. Bagaimana bisa ia mengambil benda yang sangat berharga ini? Ini jauh lebih mahal ketimbang uang!

Naga Biru terlihat kesal mendengar penolakan langsung remaja perak itu. Bibirnya terkatup rapat membentuk garis lurus.

"Aku memberikan Buah Darah tidak gratis," ujarnya. "Aku ingin Diandra Merci mengajakku berkeliling dan masuk kelas, jadi tidak perlu membalasnya dengan ini."

Ternyata, Saudara jauhnya masih bersekolah di sini. Namun penolakan Leo masih membuat Naga Biru tidak senang.

"Aku bisa mengajakmu berkeliling," Naga Biru, tanpa ragu setuju. "Dan kau juga tidak perlu memberiku Buah Darah."

Meski ia seorang Kesatria, statusnya sebagai cicit Kepala Sekolah Academy Ruby membuat sang Naga Muda bisa memasuki kelas para Penyihir. Tentu saja, dalam catatan bahwa sosok naga ini tidak mengganggu proses mengajar di kelas.

Leo tidak berniat memaksa sama sekali. Jadi, tanpa ragu, sosok perak mengangguk setuju. "Oke!"

Naga Biru puas mendengarnya. Dengan ini, ia tidak berhutang apa pun kembali.

"Tetapi sebelum itu, aku ingin tanya sesuatu," sosok putih menghela napas, bersandar di kursi dengan kedua tangan kecil bersedekap. Melihatnya, membuat Merci akhirnya menyadari bahwa sang remaja mengenakan jubah berwarna hitam dengan benang emas yang tersulam pada setiap ujung lengan, tudung dan ujung jubah. Bukan seragam, melihat dari ukuran tubuh dan tingkah si kecil, Naga Biru tahu bahwa sosok ini pasti tidak mengerti makna dari warna jubah yang dikenakan setiap penyihir.

"Tanya apa?" alis Merci terpaut. Pangeran sulung memperhatikan ekspresi cemberut si kecil yang kekanakan.

"Apakah kau pernah mendengar tentang Micro?"

"Micro?"

"Um," Penyihir perak mengangguk. "Kau sering ke sini, bukan? Aku yakin kau sudah membaca banyak buku di ruangan ini."

Diandra Merci terdiam selama beberapa detik. Kata Micro begitu asing di telinganya. Namun apa yang dipertanyakan si kecil memang benar. Ia sering ke Ruang Tertutup. Menikmati setiap buku dan catatan yang dibuat oleh panatuanya dengan khitman. Terutama perihal Penyihir Shappire yang begitu legendaris.

"Terlalu banyak hal yang kubaca," sepasang netra emas menatap sang Penyihir. "Selain kata Micro, ada petunjuk lain?"

Remaja cantik itu memiringkan kepalanya. "Bagaimana dengan Asisten? Apakah tidak ada sejarah Asisten di sini?"

"Ada," Merci menjawab jujur. "Sejarah tentang Asisten, dari awal perancangan sampai beberapa pembaharuan sistem yang dilakukan oleh beberapa ahli."

Leo mengernyitkan alis. "Membaca di mana?"

"Banyak buku referensinya, bisa dicari di Asisten, beberapa juga ada di buku ruangan ini."

"Kau membaca banyak buku tentang Asisten?"

"Tentu."

"Dan tidak ada kata Micro?"

"Tidak," jeda beberapa detik, sepasang netra emas menatap lawan bicaranya. "Apakah kau mencari perihal 'Micro' ini? Kau yakin itu benar-benar berhubungan dengan Asisten?" Itukah alasan kenapa sejak tadi si kecil terlihat sibuk berganti-ganti judul buku dan tidak berhenti mencari?

Ada dua kesimpulan yang Leo dapatkan.

Cetakan Biru tidak ada di sini.

Atau mungkin … terlalu tersembunyi.

"Hanya insting," Leo mengangkat kedua bahunya. Lalu, sebuah senyuman merekah di wajah cantik itu. "Bagaimana bila kita pergi sekarang? Aku ingin melihat-lihat beberapa kelas."

Merci langsung teringat bahwa ia berjanji untuk mengantar remaja kecil ini. Namun, sang Naga Muda tidak langsung setuju, irisnya menatap jubah hitam yang dikenakan si perak dengan serius. "Ganti jubahmu sebelum pergi."

Leo menatap Naga biru dengan aneh. "Kenapa?" Jubahnya sangat bagus, kenapa harus diganti?

"Ada aturan untuk memasuki setiap kelas. Kalian para penyihir, hanya boleh mengenakan jubah dengan warna yang sesuai dengan level kalian."

Leo langsung teringat pengaturan warna yang diberitahu Felix. Untuk murid, terdapat lima warna. Merah untuk level 0, Jingga untuk level 1, Kuning untuk level 2, Hijau untuk level 3 dan Biru untuk level 4. Sisa warna Nila untuk para guru dan pengajar, Ungu untuk mereka yang mengambil pendidikan tingkat lanjut dan merupakan Penyihir di atas level 4. Hitam, untuk Penyihir dan juga Kesatria penjaga atau orang-orang yang bekerja di area pusat.

Dengan kata lain, Leo secara tidak langsung menganggap dirinya adalah Pesuruh di Academy Ruby …

Leo menunduk, menatap jubahnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia ingin mengenakan biru, atau warna-warna gelap lainnya. Namun jelas, memasuki kelas dengan warna yang berbeda akan sangat mencolok …

"Tentu saja, setelah kelas, para murid dibebaskan untuk memilih warna jubah mereka," mendadak, Merci kembali bersuara. Hal ini mau tidak mau membuat Leo kembali mendongak, menatap Merci yang jelas salah menafsirkan keheningannya yang mendadak …

"Oke," Leo menghela napas, melepaskan jubahnya dan mengeluarkan sebuah jubah berwarna Hijau. Namun, mendadak, pergerakannya berhenti tepat ketika akan mengenakan lapisan kain itu. "Sebentar, setiap kelas tergantung pada level, tetapi … bisa kah aku masuk ke kelas level satu?"

"Kenapa?"

"Aku belum memiliki satu sertfikatpun," Leo menjawab jujur. Yah … ia bisa saja membuatnya sendiri. Dengan bantuan Micro dan Felix, apa yang tidak mungkin? Namun si perak cenderung penasaran dengan pengambilan sertifikat hingga ingin … memasuki kelas secara langsung dan melihat para penyihir belajar.

"Tentu," Merci, entah kenapa tidak heran ketika mendengarnya. "Aku akan mengantarmu mengelilingi setiap kelas. Apa kau mau memakai Kursi Apung?"

"Tidak," Leo langsung menolak. Merasa agak aneh dengan semua orang yang selalu menawarinya Kursi Apung. "Aku masih memiliki darah Naga."

Merci mengangguk mengerti. Keangkuhan seekor Naga tidak bisa disingkirkan bahkan oleh ras Campuran. Mereka kuat dan bangga. Meski si kecil jelas adalah ras campuran dan merupakan seorang Penyihir, kekuatan fisiknya tidak akan selemah penyihir-penyihir lain, bukan? Melihatnya, membuat remaja Diandra sedikit bangga.

"Ngomong-ngomong, kau bisa memanggilku Leo," Leo tersenyum lima jari, menatap saudara jauhnya dengan lembut. "Aku akan memanggilmu Merci."

Merci terdiam selama beberapa detik, merenung, lalu mengangguk. "Oke."

Persetujuan itu membuat seringai kekanakan merekah semakin lebar. Kali ini, Leo lah yang lebih cerewet. Sebisa mungkin, membuat Naga Muda terganggu dengan celotehnya dalam hal menggali informasi.

Okaay, mulai sekarang, jadwalku update setiap hari senin. Ahahaha gak akan berubah, tetetp seminggu sekali.

Baiklah, Jangan lupa memberikan Vote~

AoiTheCielocreators' thoughts
下一章