Ilham melonggarkan batasan pada penampilan Reva, dan Reva segera membuat adegan terasa mengalir dengan alami saat syuting. Dalam banyak kasus, bahkan Ilham harus mengakui bahwa Reva memang berpotensi menjadi master komedi.
Master komedi sebenarnya merujuk pada orang-orang seperti Chaplin di era film tanpa suara, lalu ada Rowan Atkinson yang memerankan Mr. Bean. Selama mereka tampil, semua orang hanya menjadi peran pendukung. Pemeran lain hanya akan mengikuti ritme para master komedi itu sepenuhnya. Pada saat ini, Reva mulai berkembang secara bertahap ke arah ini.
Awalnya, Reva dan Dani memainkan sepasang pencuri bodoh dalam drama ini. Dani berperan sebagai bos, dan Reva berperan sebagai pengikut. Tetapi dalam pertunjukan sebenarnya, Dani bertindak sesuai dengan naskah, tetapi Reva tidak terbatas pada naskah. Sering ada pertunjukan atau dialog kreatif yang menghibur untuk Reva.
Ilham sangat yakin kali ini. Tentu saja dia juga mengagumi pandangan Dirga pada orang-orang di sekitarnya. Secara sekilas terlihat bahwa Reva memiliki bakat untuk berakting dalam komedi, tetapi Dirga juga dapat menemukan aktor seperti Dani yang bersedia menjadi penengah untuk bekerjasama dengan Ilham. Kombinasi ini benar-benar luar biasa!
Selama berkecimpung di industri ini, ini adalah waktu termudah bagi Ilham untuk menjadi sutradara. Di lokasi syuting, dia tidak perlu menggunakan otaknya sama sekali. Dia melemparkan naskah ke para aktor, mengatur kamera dan memberitahu kameramen cara mencari sudut. Lalu, dia akan duduk di belakang monitor dan minum teh dengan santai. Paling-paling Aldo sesekali tidak mau bekerjasama, jadi Ilham harus meluangkan waktu untuk membuat si kecil bahagia. Dia terkadang juga harus membelikan beberapa mainan untuk Aldo.
Plot film ini juga sangat sederhana. Orang tua yang ceroboh meninggalkan putra bungsunya di rumah ketika mereka bepergian. Anak itu sendirian di rumah, lalu bertemu dengan dua pencuri bodoh. Kemudian, serangkaian cerita konyol terjadi.
Dirga membuat beberapa adaptasi dari film aslinya yang berjudul Home Alone, agar lebih terlihat seperti film lokal. Dengan skrip sub-shot yang sudah jadi, Ilham yang terbiasa membuat film dengan naskah mentah, merasa bebannya berkurang. Pembuatan film ini sangat cepat, dan filmnya selesai dalam waktu kurang dari sebulan.
Investor film Ilham adalah sebuah rumah produksi bernama Jembatan Imaji, dan ayahnya, Pak Wijaya, yang merupakan anggota Soe Bersaudara. Sejak tahun lalu, ada hal aneh di industri film di tanah air, yaitu Soe Bersaudara dan Jembatan Imaji, yang telah bertengkar lebih dari sepuluh tahun, tiba-tiba bergabung. Kedua perusahaan besar tersebut secara bergiliran memasok film-film besar. Kini mereka akan memberi dana pada film Ilham yang akan diputar di bioskop selama dua pekan.
Sejak 1980-an, bioskop telah menjadi pilar ekonomi industri film di Indonesia. Kecuali Soe Bersaudara dan Jembatan Imaji, tidak ada yang bisa memproduksi dan menjual film dengan sukses. Rumah produksi independen lain hanya bisa menjadi pengikut Soe Bersaudara dan Jembatan Imaji. Dua perusahaan itu yang menyediakan dana untuk syuting film.
Awalnya, pasar film di Indonesia mempertahankan posisi Soe Bersaudara dan Jembatan Imaji. Pada tahun 1982, film berjudul "Teman Terbaik" dijual seharga 26 miliar dan berhasil masuk ke box office tertinggi di Indonesia. Menurut catatan, sejumlah film berikutnya juga terjual di box office.
Saat mengesampingkan hubungan ayahnya dan Soe Bersaudara, Ilham justru lebih rela bekerjasama dengan Jembatan Imaji. Hal ini terkait sistem studio besar yang selama ini dikejar Soe Bersaudara. Soe Bersaudara tidak hanya mengharuskan aktor dan sutradara untuk menandatangani "kontrak inklusif" dengan perusahaan selama satu hingga beberapa tahun, di mana selama waktu itu mereka tidak dapat pergi keluar untuk mengambil drama lain, tetapi juga membatasi gaji sutradara. Hak kreatif dan pembuatan film sebagian besar terkonsentrasi pada sejumlah eksekutif yang ada di perusahaan itu, jadi sutradara tidak punya kendali penuh akan filmnya sendiri.
Di sisi lain, Jembatan Imaji menerapkan sistem produksi independen. Mereka mengubah hubungan kerja antara sutradara dan aktor menjadi hubungan kerjasama. Keuntungan dari film yang diproduksi juga dibagi dengan adil untuk mereka berdua. Terlebih lagi, Jembatan Imaji juga membuat sistem outsourcing agar perusahaan pemancar satelit dapat berlangganan film mereka. Pembuat film dengan jaminan box office menjalankan sistem seperti ini. Perusahaan-perusahaan dengan sistem seperti itu juga akan menjadi anak perusahaan dari Jembatan Imaji. Mereka memberikan kebebasan berkreasi yang luar biasa pada sutradara dan aktor sambil menyediakan kuasa bagi mereka dalam pengambilan keputusan.
Rumah produksi "Kenanga" dan "Keluarga Besar" adalah beberapa anak perusahaan yang serupa di bawah Jembatan Imaji. Ilham juga ingin mendirikan rumah produksi sendiri. Jembatan Imaji secara alami adalah pilihan terbaik baginya untuk menimba ilmu.
Film yang sudah diedit dengan cepat dikirim ke Jembatan Imaji. Ilham tidak menyangka bahwa film tersebut direkomendasikan oleh beberapa orang di sana dan akhirnya muncul di meja Handoko, bos dari rumah produksi itu. "Film ini sangat bagus, tapi gayanya sangat berbeda dari karya-karya Ilham sebelumnya." Pak Gunawan adalah seorang lelaki tua yang mengikuti Handoko setelah mengkhianati Soe Bersaudara. Dia selalu dianggap Handoko sebagai tangan kanannya. Dia memiliki banyak ide yang bagus saat bergabung di Jembatan Imaji. Ketika dia berkata demikian, tidak ada orang lain di kantor yang mengajukan keberatan, dan bahkan Handoko mengangguk.
"Putra Pak Wijaya benar-benar pandai, tetapi film ini benar-benar tidak terlihat seperti karyanya sendiri. Kudengar Pak Wijaya juga memiliki murid bernama Doni, mungkinkah dia yang membuatnya untuk Ilham?" Yogi, manajer departemen penerbitan, mengusulkan kemungkinan itu. Akan tetapi, Handoko segera membantahnya. "Ada orang dari perusahaan kita yang bergabung sebagai kru. Dia mengatakan film ini memang dibuat oleh Ilham." Pak Gunawan dan Yogi saling memandang, dan keduanya merasa masalah itu agak aneh.
Handoko menutup matanya dan merenung sejenak. Lalu, dia mengucapkan satu kata dengan tenang, "Naskah." Pak Gunawan dan Yogi tiba-tiba menyadari bahwa mereka hanya memperhatikan sutradara, tetapi mengabaikan penulis skenario film tersebut. Yogi dengan cepat memeriksa informasi film dan menemukan bahwa kolom penulis skenario memiliki nama yang sangat aneh dan asing, yaitu Dirga.
Pak Gunawan mengerutkan kening, "Aku belum pernah mendengar tentang orang ini sebelumnya, jadi sepertinya dia adalah seorang pemula. Namun, apa mungkin pemula bisa menulis sebaik ini?"
"Kita harus minta orang untuk memeriksa, dan kita harus menemukan detail orang ini. Aku rasa dia bukan orang biasa. Naskah garapannya sangat bagus dan unik, seperti memiliki ciri khasnya sendiri." Intensitas ucapan Handoko dapat dirasakan dengan jelas, dan dia memiliki tekad yang besar dalam masalah ini.
Pak Gunawan tidak berbicara, tetapi Yogi agak bingung. Dia mengakui bahwa film itu dibuat dengan baik, tetapi penulis skenario di film seperti itu ternyata bukan orang yang terkenal. Saat ini bos besar di rumah produksi Jembatan Imaji juga sangat mementingkan penulis naskah itu. Bukankah ini sangat menarik? Tentu saja, Yogi tidak mengungkapkan keraguannya. Dia sangat jelas tentang karakter Handoko. Begitu Handoko mengatakan sesuatu, pria itu tidak akan dengan mudah mengubahnya.
Yogi hanya bisa menahan rasa ingin tahu di dalam hatinya. Dia sangat ingin melihat apakah Dirga memang sehebat itu atau dia hanya penulis biasa yang kebetulan beruntung. Namun, saat ini dia harus bersabar sejenak sambil menunggu informasi tentang orang misterius itu.