webnovel

Kepercayaan

"Aku pulang."

Selena menenteng sepatunya yang baru saja di lepas, masuk ke dalam rumah. Begitu ia membuka pintu, tidak ada seorangpun di sana. Jadi dia pun langsung pergi menuju ke kamarnya.

Semenjak ayahnya masuk ke dalam bui, ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Memberi makan empat orang bukanlah hal yang mudah. Di saat pekerjaan yang dilakoni sang ibu hanya memiliki gaji pas-pasan.

Walaupun Selena masih berusia lima belas tahun, gadis itu memiliki pekerjaan sambilan di sebuah toko yang mirip mini market milik tetangganya. Sejak Selena memasuki tahun kedua sekolah menengah pertamanya, dia sudah bekerja di sana.

Selena memiliki jam pekerjaannya sendiri selama dia bersekolah. Untungnya, bosnya itu sangat baik sekali. Menerima dia yang masih kecil untuk dipekerjakan. Walaupun gajinya tidak besar, mengingat mini market ini berada di pedesaan. Setidaknya, dengan uang itu, Selena bisa membantu perekonomian keluarganya dan juga memberi jajan kedua adik laki-lakinya.

Selena baru saja selesai mengganti seragamnya. Dikarenakan tangan kanannya masih nyeri dan tidak bisa terlalu sering di gerakkan, gerakan mengganti seragam saja perlu membuang banyak waktu.

Pertama-tama, setelah ia pulang dari sekolah. Selena akan pergi ke dapur, memasak. Setelah itu melakukan pekerjaan rumah lainnya sebelum ibunya pulang dari bekerja.

Itu pukul dua siang saat suara pintu yang dibuka terdengar. Selena yang berada di halaman belakang, mengambil jemuran yang sudah kering, terburu-buru berjalan ke dalam rumah.

"Mama..." panggilnya dengan lirih.

Sang ibu; Lyana Anastasya, usia 33 tahun. Baru saja datang dari bekerja. Wanita dewasa itu memiliki wajah cantik dan kulit putih mulus bersih. Sosoknya sangat anggun dengan rambut panjang yang baru saja di gerai.

Bisa dibilang, Lyana merupakan primadona di desa itu. Kalau saja bukan karena sikapnya yang cuek dan terkesan dingin, mungkin wanita dewasa itu akan memiliki banyak teman di lingkungannya. Sayangnya, dengan temperamen kasar yang dimiliki Lyana, membuat para tetangga sekitarnya tahu, dibalik kecantikan serupa malaikat itu ada iblis yang bersemayam di dalam jiwanya. Tak segan menyakiti anak-anaknya. Terlebih pada putri sulungnya sendiri.

"Ambilkan minum." ucap Lyana pendek. Seperti biasa, acuh tak acuh.

Selena langsung meletakkan baju-baju itu di kursi panjang dekat ruang televisi. Lalu meluncur ke arah dapur. Mengambil sebotol air mineral yang sudah dia isi.

Tangan kanannya yang diperban membuat Selena dengan terpaksa menyodorkan botol itu menggunakan tangan kiri yang disangga dengan tangan kanannya yang bengkak. Tapi Lyana yang terlanjur lelah habis bekerja tidak terlalu memerhatikan tangan anaknya yang terdapat perban. Wanita itu salah mengira, putrinya bersikap kurang ajar kepadanya.

"Tak sopan!" Tegur Lyana keras, menampik dengan kasar botol di tangan Selena. Alhasil sebotol air yang sudah dibuka itu tumpah ruah membasahi celana panjang Selena.

"Sshh~" desisan lirih dari bibir Selena akibat tepisan kasar Lyana mengenai tangan kanannya yang bengkak. Meskipun tangannya sedang nyeri, Selena tetap mengulurkan botol itu menggunakan dua tangan. Tangan kiri memegang botol dan tangan kanan terulur juga sebagai bentuk kesopanan.

Namun Lyana tidak melihat hal itu, dan hanya terfokus pada sikap tak sopan Selena yang menyerahkan sesuatu menggunakan tangan kiri.

"Aku tidak mengajarimu memberikan sesuatu menggunakan tangan kiri, apa yang coba kau lakukan baru saja?!"

Selena berdiri dengan kaki gemetar saat raungan sang ibu menyakiti gendang telinganya. Gadis itu menyembunyikan tangan kanannya yang perbannya basah di belakang punggung.

"Maaf Ma." ujarnya lirih dengan kepala merunduk.

"Enyah!"

Perintah terdengar dingin itu langsung membuat Selena pergi dari hadapan ibunya. Karena meskipun dia tetap ada disana dan berusaha menjelaskan, ibunya tak akan mau mendengarkan.

Setiap patah kata ataupun penjelasan yang datang dari dirinya, ia tahu, ibunya terlalu muak untuk sekadar mencari tahu. Setiap masalah yang berhubungan dengannya, sang ibu tidak diperbolehkan mengetahuinya. Atau kalau tidak, dengan temperamen keras dan harga diri tinggi yang ibunya junjung ke langit, hanya akan menyebabkan lebam di sekujur tubuhnya bertambah.

Sejak saat Lyana menghukum Selena dengan parah waktu itu. Selena tidak lagi banyak mengeluh dan gadis itu juga berusaha keras untuk tidak menyebabkan masalah yang dapat membuat ibunya malu.

Selena tidak pergi jauh. Ia pergi ke dapur lagi. Menyiapkan makan siang ibunya saat itu. Di dalam tudung saji, di atas meja makan, sudah tersedia sayur kangkung tumis dengan lauk-pauk tempe dan tahu goreng.

Beruntungnya, mini market tempatnya bekerja juga menjual sayur mayur yang bisa ia beli menggunakan gajinya. Setidaknya, saat ibunya belum mendapatkan penghasilannya, Selena masih bisa membantu untuk sekadar membeli makanan untuk keluarganya.

Selena mengambil sling bag berwarna navy - hadiah dari Cristine - di dalam kamar. Lalu keluar untuk berpamitan pada sang ibu yang masih duduk di tempatnya semula.

"Ma, aku berangkat kerja dulu. Kalau mama ingin makan, aku sudah masak.".

Lyana bahkan tidak repot-repot untuk menjawab ucapan putrinya, wanita dewasa itu seakan menutup telinga dan matanya. Tidak peduli.

Selena melirik pada tangan kanan Lyana yang tergantung di pegangan kursi. Sejujurnya, ia sangat merindukan untuk dapat mengecupnya, seperti bagaimana dulu sering dia lakukan. Dalam ingatan masa kecilnya.

Ia tidak ingat, kapan tepatnya ibunya yang lembut dan penuh perhatian berubah menjadi seseorang yang tidak bisa ia kenali.

Sosok ibu yang sering mendekapnya lembut dan membisikkan kata-kata manis menenangkan, sudah tidak ada lagi. Sosok malaikat di dalam ingatannya itu menjadi kabur dan tumpang tindih dengan sosok wanita dewasa di dalam rumahnya saat ini.

Selena menghela napas lelah. Kepalanya terangkat saat hembusan angin menerpa wajahnya. Senyum kecut terulas saat ia memikirkan, mungkin butuh waktu lama untuk bisa melihat ibunya kembali.

Kembali seperti dalam mimpi masa kecilnya.

***

Jangan lupa dukung cerita ini. Mampir juga di ceritaku yang lain. Terima kasih

下一章