webnovel

1.7

30 Maerz 1830, Canibya

Dua bulan lebih berada di Canibya, tulisan yang selama ini ia anggap sebagai pelarian baginya kini telah usai. Menata kembali lembar demi lembar kertas yang ia taruh pada laci meja kerjanya, ia mengamati setiap kata dan bab dari novel yang sudah diselesaikannya. Eldrich memberikan beberapa anggukan kecil ketika lembaran kertas ia balik perlahan, merasa bahwa bukunya kali ini tidak akan sebagus daripada karya sebelumnya, yaitu 'Legenda dari Zeros', Eldrich hanya dapat melepaskan sebuah helaan kecil.

"Berbeda dibanding dua karya yang telah sukses, kali ini tulisanku terasa sedikit... lebih tenang daripada sebelumnya."

Kisah yang dicurahkan dalam bukunya kali ini ialah mengenai seekor anjing yang dahulunya dimiliki oleh seorang bangsawan, terdampar pada tempat antah berantah. Si anjing yang dulunya dimanja, diberi makan setiap hari oleh pemiliknya, dan bahkan dimandikan... kini menghadapi situasi sulit di alam liar dimana untuk mencari makan dan tempat berteduh saja sangat sulit. Kalau bisa ia simpulkan... cerita ini mungkin diperuntukkan bagi anak-anak.

"Lagipula aku sudah lama tidak mengetahui bagaimana buku-buku yang tengah populer saat ini..." Tanpa disadari, perasaan gundah dirasakan dari dalam hatinya.

Namun begitu pandangannya melirik pada jam yang terpasang pada dinding, telah menunjukkan pukul 7 yang seharusnya ia telah tiba pada tempat bertemu. Keraguan dalam hatinya kini bertukar dengan kepanikan yang terpancar dari wajahnya, segera diambilnya tas kotak kecil dari atas tempat tidur, kumpulan kertas dari novelnya segera ia masukkan ke dalam. Tidak lupa mengenakan mantel tebal krem serta topi bowlernya, Eldrich menerjang menuju ke pintu keluar.

"Sial, pasti Frederik telah menungguku sekarang !"

Pemikiran itu semakin menambah laju larinya melewati jalanan desa. Kemudian, setelah beberapa puluh menit, tampak Frederik dengan kereta kudanya telah menunggu pada depan rumahnya. Di samping Frederik, terdapat Irene yang tidak disangka juga berada di sana.

"Kau sedikit telat bukan, nak muda." Sapa tegas Frederik saat melihat Eldrich datang dengan terengah-engah.

"Ma-maaf..."

Menyadari Irene berada tepat di depannya, rencana pada malam hari yang telah Eldrich susun dapat terlaksana tanpa ia perlu malu untuk bertanya pada Frederik dimanakah Irene. Tetapi, keberanian di hatinya tentu saja belum cukup terkumpul, menjadikan Eldrich diam termangu di tempatnya. Frederik yang hendak menaiki kudanya, melihat Eldrich terdiam dan segera meneriakkan,

"Ayo naik, kecuali kamu punya urusan lain."

"Sepertinya... sebentar, saya..."

"Hari ini kamu hendak ke kota lagi kah, Will ?" Sapaan dari Irene membangkitkan sedikit bara yang hampir redup dari hatinya.

"Iya... saya hendak mengajukan naskah novel ini pada penerbit." Ucapnya sembari mengangkat koper coklat yang dibawa.

"Begitukah. Aku mau ke desa setelah ini. Kakek, Will, hati-hati di jalan—"

Sebelum Irene sempat berjalan melewatinya, sepatah kata terucap dari mulut Eldrich.

"Irene—"

Mendengar namanya dipanggil langsung oleh Eldrich, Irene langsung berbalik kembali. Selama ini Eldrich selalu membatasi diri dengan jarang memanggil dengan namanya... sekalipun memanggil, ia pun selalu memakai 'Nona' di depan.

"Ah— Maksudku, Nona Irene."

Pandangan Irene terhadap Eldrich sirna kembali, senyum ceria dari mulutnya kembali mengendur, bahkan ia langsung hendak pergi ke desa tidak lagi menghiraukan Eldrich.

"Tu-Tunggu sebentar, Nona Irene ! Bolehkan saya mengatakan sesuatu padamu ?"

"Apa ?" ucap Irene tanpa memalingkan wajah.

"Maukah... Anda pergi ke kota bersamaku ?"

"Pergi... ke kota ?"

"Ya. Karena berkat Nona Irene, novel yang tengah saya tulis ini dapat selesai. Anda telah memberikan banyak inspirasi dan banyak hal baru sepanjang 2 bulan, sehingga... saya... ingin memberikan sesuatu kepada Nona Irene sebagai ucapan terimakasih."

Terdiam, mulut Irene sepenuhnya terbungkam oleh ucapan yang Eldrich katakan kepadanya. Ucapan terimakasih, ia telah menjadi alasan kenapa Eldrich dapat menyelesaikan novelnya. Padahal Irene merasa kalau belakangan hari ini ia hanya terus mengajak Eldrich untuk menemaninya, seharusnya Irene yang berterimakasih kepadanya. Kebingungan, tidak tahu hendak menjawab apa atau mengiyakan permintaannya, Irene menundukkan kepala. Sedangkan Frederik yang melihat perilaku dua anak muda itu memutarkan bola matanya.

"Jadi... maukah..."

Tanpa sepatah kata terdengar, Irene masih tetap menutup erat mulutnya. Selama bertahun-tahun ia menahan diri untuk pergi ke kota, yang dulu telah membuang dirinya... tetapi saat ini justru, seseorang mengajaknya untuk pergi ke sana... kembali. Ia tidak tahu apakah perasaan yang sama akan ia rasakan seperti dulu, rasa sakit... dan penghinaan, masih tersimpan dalam satu tempat nan kecil di lubuk hatinya.

"Terima saja, Irene. Ia sampai repot-repot mengajakmu. Menolak pemberian terima kasih seseorang adalah hal yang buruk." Frederik berteriak kepadanya, entah karena ia kesal sebab menunggu terlalu lama... atau hendak mendorong Irene keluar dari sebuah penjara kecil yang ia buat sendiri.

"Tapi... aku masih ada..."

"Irene, mau sampai kapan kau seperti itu ? Ini bisa jadi kesempatan bagus bagimu untuk melihat-lihat kota Friedeland bersamanya. Untuk pak tua sepertiku yang tugasnya mengantar penumpang dan barang saja, aku tidak bisa memberitahu bagaimanakah kotanya."

Dorongan, atau lebih tepatnya paksaan dari Frederik mengendurkan niat Irene untuk melarikan diri dari ajakan Eldrich. Ia sendiri tidak tega untuk menolak ajakan darinya, oleh karena itu ia berencana untuk melarikan diri, tetapi perkataan dari kakeknya semakin mempersulit hal tersebut.

"Hah... baiklah, untuk kali ini saja."

"Itu tandanya..."

"Iya, aku akan menemanimu ke kota."

Sebuah gerakan kecil terlihat dari pipi Eldrich, kini ia tengah menunjukkan senyuman paling bahagianya. Ajakannya diterima oleh Irene, Frederik menjadi penentu utama baginya, sehingga ia akan membelikannya sesuatu nanti sebagai hadiah juga. Tanpa basa basi lagi, mereka berdua langsung naik pada kereta kayu terbuka yang ada di belakang kuda.

Walaupun mereka berdua duduk pada kereta yang sama, saling berhadapan satu sama lain, kedua muda mudi tersebut terus membungkam diri sepanjang perjalanan. Tiada kata yang terucap, melainkan bunyi derap kuda yang melangkahkan kakinya pada jalanan. Eldrich tentu saja ingin berbincang satu atau dua hal dengan Irene, namun dengan kehadiran Frederik yang tengah membimbing laju kuda di depan, alhasil ia merasa canggung.

"Jadi bagaimana keseharianmu di Canibya, Williem ? Sudah lebih dari dua bulan kamu tinggal di sini kan, tiada rindu pada ibu kota ?"

Akhirnya Frederik memecah kebekuan di antara mereka dengan menanyakan hal sederhana.

"Ah iya, sudah mulai terbiasa, tidak ada masalah. Terimakasih pada Nona Irene yang setiap hari mengajarkan ini itu pada saya, ia selalu mengajak saya untuk pergi ke desa sehingga banyak hal yang dapat dipelajari."

"Irene ? Mengajakmu, setiap, hari ?! Irene !" Tiba-tiba Frederik meninggikan suaranya.

Irene yang tengah duduk malu-malu langsung tersentak kaget.

"Kau tahu kalau Tuan Williem ini sibuk, kan ?! Dia seorang penulis, novelis yang terkenal ! Mengajak dirinya ikut bermain sana sini denganmu akan merepotkannya !"

"Eh— Tapi aku—" Tak sempat menyangkal, Frederik kembali melanjutkan perkataannya.

"Maafkan cucuku ini, Williem. Ia pasti merepotkanmu setiap harinya... benar-benar cucu bodoh ini !"

"Tidak— Bukan— Nona Irene, tidaklah merepotkan. Justru saya merasa senang karena diajak olehnya setiap hari. Begitu juga dengan Tuan Frederik, berkat Anda, saya dapat belajar banyak hal mengenai kehidupan di Canibya. Padahal, saya sedari kecil telah berada di sini, namun ingatan saya mengenai saat-saat itu telah memudar."

Eldrich termenung, mencoba untuk mengingat kembali mengenai masa kecil yang telah ia habiskan di desa kecil pada pelupuk bukit ini, seberapa keras ia mencoba... hal yang datang ialah rasa sedih akan kehilangan satu persatu orang yang disayangnya... dibandingkan... kenangan indah.

"Dari menyapa saya setiap kali tengah berjalan, mengajak saya untuk menyambangi rumah mereka walau tengah sibuk, dan... terkadang memberikan hasil panen kepada saya. Di kota, hal tersebut tidak pernah terjadi... bahkan mengenal nama satu sama lain saja, tidak. Oleh karena itulah, saya... sangat berterima kasih... pada Nona Irene dan Tuan Frederik. Sungguh keterlaluan memang karena tidak dapat mengingatnya, tetapi... berkat Anda sekalian... saya mendapatkan kenangan baru lagi sewaktu berada di sini."

Mendengarkan kata-kata murah hati yang datang dari seorang pria seperti Eldrich, kedua kakek-cucu tersebut saling menatap satu sama lain, lantas melepaskan sebuah senyuman kecil. Mereka senang sebab merasa hal yang telah mereka lakukan berarti bagi Eldrich, walau pada kenyataannya, mereka hanya tengah menunjukkan sesuatu yang biasa dilakukan satu sama lain di desa. Bagi Eldrich, yang tidak pernah merasakan kehangatan itu kembali, itu ialah kebahagiaan yang tengah ia rasakan.

----------------------------------------------------------------------------------------

"Akhirnya kita sampai di kota. Karena aku ada pekerjaan setelah ini, akan kujemput kalian di sore hari. Selama itu, bersenang-senanglah."

Frederik menurunkan mereka berdua tepat di dekat sebuah air mancur kota, di tempat tersebut memang banyak kereta kuda yang didapati tengah menurunkan penumpangnya. Bisa dikatakan, bahwa tempat ini memang menjadi titik antar dan jemput bagi setiap supir kuda.

"Dia bilang ada pekerjaan... tapi pasti bohong. Kakek, jarang mendapat pesanan karena kereta kudanya itu."

Memandangi kereta kuda Frederik yang telah tua, berbeda dengan supir lain yang hampir sepenuhnya tertutup kereta kudanya, rasa kesal Irene semakin menumpuk. Ia dipaksa harus tetap berada di kota hingga sore hari.

"Ah— sudah hampir—"

Selepas melihat pada jam bundar dari tangannya, Eldrich terkejut mendapati sudah hampir menjelang pukul 9 siang. Apabila ia tidak segera bergegas, mungkin orang yang telah dijanjikan dengannya akan pergi. Lantas, ia berkata pada Irene yang masih mengarahkan pandangannya dari kanan ke kiri mengamati perkotaan.

"Sebaiknya Nona Irene terus bersama saya."

Menyadari bahwa Eldrich mulai melangkahkan kakinya pergi, Irene segera membuntuti di belakang mantel lebarnya. Suasana kota saat ini tengah ramai, penuh oleh banyak orang dari berbagai tempat dan kalangan. Kebanyakan mengenakan baju begitu rapi, sama seperti Eldrich, dengan mantel besar, dasi lurus.... serta topi yang seakan telah menyatu bersama kepala mereka. Di pinggir jalanan kota, pekerja toko tengah menaiki tangga, membentangkan atribut berupa bendera kecil tiga warna berupa biru tua di atas, putih tengah, dan oranye bawah. Pada tengah bendera terdapat lambang berupa babi hutan yang dilingkari oleh ranting zaitun hijau.

"Will, apa... kota.... biasanya seramai ini ?" celetuk Irene yang kini mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Eldrich.

"Hmm... saya baru menyadarinya. Seharusnya, tidak seramai ini, mungkin ada suatu perayaan atau—"

Saat ia mengalihkan pandangannya pada sekitar, dengan banyak atribut berupa bendera negara Liberios terpampang dari setiap toko. Bahkan jalanan raya saja dihiasi oleh segitiga-segitiga kecil berwarna dari satu sisi ke sisi lain. Setiap orang seakan lebih sibuk dari biasanya... dengan wajah-wajah ceria mereka, serta prajurit berseragam coklat tengah mengatur agar segala sesuatu berjalan tanpa ada masalah. Eldrich berpikir, seharusnya prajurit tidak berada di kota semudah ini kecuali terdapat dua hal... jika bukan perang... satunya lagi ialah—

"Kenapa bisa saya melupakannya ! Sebentar lagi hari kemerdekaan Liberios !"

Hari kemerdekaan negara Liberios berjarak sekitar 6 hari dari sekarang, yaitu 5 Apreel, oleh sebab itulah pada satu minggu ini kota disibukkan untuk mempersiapkan perayaan besar tersebut. Dua hari setelah hari kemerdekaan mereka, pada tanggal 7 Apreel 1769, kedua belah pihak yang berseteru menandatangani perjanjian pada Kerajaan Helgania. Akhirnya Perang Revolusi Libertaniards dimenangkan oleh rakyat Liberios dan menjadikan mereka sebagai negara merdeka seutuhnya.

Pada kanan kiri jalanan terdapat beraneka ragam jajanan dan aneka toko kecil yang menjajakan segala sesuatu dari Liberios, selama satu minggu ini mereka akan terus berjualan dan tepat pada 5 Apreel akan diadakan parade hampir di seluruh kota di Liberios. Turis dari mancanegara akan datang demi menyaksikan parade dan kemeriahan yang ada. Sehingga, menurut Eldrich akan sangat sia-sia apabila mereka berdua tidak menikmati saat ini.

"Nona Irene, apa ada sesuatu yang menarik perhatian Anda ?"

"Eh ? Apa ?" Teralihkan oleh warna-warni kota, Irene tidak mendengar perkataan Eldrich barusan.

"Mungkin... ini kali pertama Nona Irene mendatangi festival, bukan ? Friedelend saat ini tengah mengadakan festival untuk memperingati Hari Kemerdekaan Liberios."

"Oh— Jadi itu alasan mengapa tempat ini penuh sesak oleh orang !"

Sepertinya Irene sama sekali tidak mendengar perkataan yang ia lontarkan barusan, justru dirinya melirikkan mata pada satu toko yang dirasa menarik baginya. Tampaknya menggunakan tatapan mata jauh lebih dipahami dibandingkan perkataan, sehingga Eldrich segera bertanya.

"Anda tertarik, pada itu ?"

"Ti-Tidak... bukan."

Tanpa ada perkataan lagi, tidak memperdulikan tolakan Irene barusan, Eldrich segera mendekati penjual. Ia menjajakan sebuah makanan yang terbungkus dalam kemasan kertasnya, baru saja Eldrich mendekat, bau wangi dari jajanan tersebut memenuhi hidung Eldrich.

"Saya pesan dua kramel ini."

"60 Guld, pak."

Merogohkan tangan pada saku mantelnya, Eldrich memberikan satu koin perunggu bergambar babi hutan dan satu koin coklat 10 Guld. Mendekati Irene yang terdiam melirik ke arah lain karena malu, Eldrich menyodorkan kemasan kotak kecil berukuran setengah telapaknya pada Irene.

"Ini, cobalah, saya tidak tahu apakah rasanya seenak di Ibu Kota."

Mengambil pemberian Eldrich, Irene membuka bungkus kertasnya dan menjumpai makanan berbentuk batang pipih yang keras. Ia menyaksikan bagaimana cara Eldrich memakan jajanan tersebut, menggigit batang coklat keemasan itu, Eldrich mengemut sisanya di dalam mulut. Irene pun mencobanya, mematahkan batang itu yang ternyata mirip seperti coklat. Begitu masuk dalam mulut, perpaduan rasa yang mirip seperti susu namun lembut memenuhi mulutnya.

"A-Apa ini ?! Makanan enak apa ini !" Ucapnya dengan begitu senang.

"Kramel, jajanan khas ibu kota yang mirip seperti permen. Manis bukan ?"

Ia hanya mengangguk-angguk saat menjawab pertanyaan dari Eldrich. Mengetahui bahwa Irene begitu menyukai makanan itu, Eldrich menggenggam erat koper yang tengah ia bawa. Dirinya tahu bahwa dia sudah melebihi waktu perjanjian, tetapi memutuskan untuk sedikit melambatkan jalannya agar ia dapat merasakan waktu ini lebih lama lagi.

----------------------------------------------------------------------------------------

Duduk diam pada kursi sofa yang telah disediakan pada kantor penerbit, Irene semenjak tadi hanya diam sembari menunduk dan sesekali melirik pada sekitar kantor. Hampir sepenuhnya orang yang masuk keluar dari sini mengenakan pakaian yang begitu rapi, berbanding terbalik dengan dirinya yang mengenakan pakaian biasa dan kusam. Suara dering keras dari berbentuk batangan hitam panjang, selalu berbunyi dan saat diangkat batang tersebut, seseorang seperti tengah mengobrol dengan orang lain dari balik benda itu. Ia pun melihat gadis muda, mungkin seumuran dengannya tengah memencet alat penuh oleh kotakan kecil, sambil sesekali ia gerakkan. Tampaknya alat itu menggunakan kertas, setelah selesai dari kertas terdapat tinta hitam layaknya tulisan seseorang.

Semakin lama Irene merasa bahwa dirinya berada pada tempat yang sangatlah asing, ia tidak seharusnya berada di sini, gadis desa sepertinya... memang tidak pantas berada di kota. Semua orang yang ia jumpai bergerak begitu cepat, tidak peduli atau menyapa satu sama lain, pandangan sinis juga tidak jarang ia dapatkan oleh mereka. Irene, sangat ingin untuk menerobos keluar dan kabur sejauhnya dari tempat bernama 'kota'.

Dari balik pintu kayu yang terbuka, Eldrich menundukkan kepalanya untuk berterimakasih karena sudah diizinkan mengirimkan naskahnya kepada kantor penerbit Friedeland. Mendapati Eldrich yang terlihat menuruni tangga, Irene berdiri senang karena akhirnya ia bisa keluar dari tempat asing ini.

"Eldrich ! Akhirnya selesa—"

Sebelum ia menyelesaikan perkataan tersebut, raut wajah Eldrich menunjukkan hal yang berlainan daripada yang tengah Irene rasakan. Masam, murung, bagai awan kelabu sebelum hujan tiba.

"Maaf telah membuat Anda menunggu lama, nona Irene."

"Tidak... aku..."

Tidak tahu perkataan selanjutnya yang hendak ia katakan, bingung bagaimana membalas wajah murung Eldrich. Eldrich menyadari kedua mata coklat keemasan itu teralihkan, tak menatap padanya, sadar bahwa mungkin wajah sedihnya diketahui oleh Irene.

"U-Urusan saya di sini telah usai... mari segera bergegas keluar." Cetus Eldrich lantas melangkahkan kaki.

Ramai kota menutupi keheningan yang ada dari kedua muda mudi tersebut, Irene yang tidak berani menanyakan mengenai apa yang terjadi di kantor penerbit, dan Eldrich yang tidak ingin membuat Irene khawatir. Berkali-kali ia melirik ke segala arah untuk menemukan hal yang bisa membuat Irene tertarik dan melunturkan es di antara mereka berdua.

Pada sebuah perempatan di kota, gedung tinggi nan panjang dengan banyak lampu neon serta papan bergambar berdiri di sana. Orang demi orang terlihat tengah mengantre di depan pintu masuk dengan lampu terang menunjukkan tulisan di atasnya.

"Tayang Perdana, Dua Ksatria Gardena." Irene membaca tulisan yang ada pada papan itu dengan keras.

Kepalanya miring ke kanan dan kiri, mencoba memahami apa maksud dari kata itu dan sebenarnya tempat macam apa yang ada di seberang sana. Bagaimana bisa banyak orang mengantre padahal tidak ada barang jualan sama sekali, apakah itu toko, atau bangunan yang tidak ia ketahui.

"Eldrich, itu... tempat apa ?" menyerah menebak-nebak, ia bertanya pada Eldrich yang sejak tadi menunduk.

"Ah, itu... Cinema."

"Ci... nema ?"

"Benar, di tempat itu Anda dapat melihat sesuatu yang bernama film."

"Fi-Film ? Apa lagi itu ?"

Merasa apabila ia menjelaskan semuanya akan panjang lebar dan memakan waktu sangat lama, Eldrich berpikiran bahwa lebih baik untuk menunjukkan langsung kepadanya. Lagipula, mungkin ini kesempatan yang bagus pula karena melihat reaksi Irene, ia tahu bahwa gadis itu belum pernah pergi ke cinema.

"E-Eldrich, kita betulan mau masuk ke dalam ?"

Eldrich, si orang kota profesional kini menunjukkan keahlian yang telah ia pelajari dari bertahun-tahun tinggal pada kota metropolitan yang ramai setiap hari, berhasil mengelabuhi satu demi satu orang sembari membawa Irene bersamanya. Dia sampai pada pintu masuk cinema, di sana telah berjaga penjual tiket dengan mantel biru serta celana kuningnya, menanyakan pada Eldrich.

"Hendak menonton apa hari ini, pak ?"

Ia melihat pada poster-poster tergambar dalam kuas air terpampang, kebingungan karena sudah lama juga dia tidak mengikuti perkembangan film sekarang. Lantas, dia melirik pada Irene.

"Apa ada film yang menurutmu menarik, Nona Irene ?"

"Eh ?! Aku tidak mungkin tahu !"

"Kali saja ada yang menarik perhatian Anda..."

Matanya beralih pada poster dengan gambar pemuda bermantel kusam dengan topi anehnya, ia tidak tahu film mengenai apa itu, di poster tertulis, 'Mengais Hidup di Ibu Kota'. Di belakang pemuda itu terdapat banyak gedung-gedung dengan banyak jendela menjulang tinggi, serta kereta dari besi yang penuh pada jalanan. Irene tertarik sebab ingin mengetahui lebih lanjut mengenai perkotaan sehingga ia menjawab Eldrich.

"Mungkin... yang itu." Tunjuknya pada poster.

"Baiklah. Satu tiket untuk saya dan satu lagi untuk sang nona."

"Baik, totalnya 150 Guld."

Memberikan jumlah yang dimaksud oleh penjual tiket, Eldrich menerima dua lembar tiket. Mereka berdua segera masuk ke dalam cinema yang berbalut oleh karpet merah. Kini dia tengah mencari pintu masuk yang tertulis pada tiket. Di lorong telah banyak orang yang menunggu untuk memasuki auditorium. Berkat penemuan kamera serta lembaran film, auditorium yang dahulunya hanya digunakan untuk menonton opera atau drama, kini di alih fungsikan untuk cinema. Melejitnya perfilman pada benua Eurisia menyebabkan banyak diubahnya auditorium menjadi cinema belakangan tahun ini.

Menurut Eldrich tersendiri, ia jauh lebih menyukai drama dibandingkan film. Dikarenakan, menurutnya, menyaksikan performa langsung dari pemeran menyebabkan cerita yang dibawakan jauh lebih intens dibandingkan menyaksikan cahaya yang dimainkan oleh lembaran film.

"Tuan dan Nyonya sekalian, pemutaran film 'Mengais Hidup di Ibu Kota' sebentar lagi hendak dimulai. Bagi yang memiliki tiket, harap menuju ke auditorium."

Irene semenjak memasuki cinema selalu menempel pada Eldrich, sebab banyak sekali orang kota yang berada di sini, dia takut terpisah atau berinteraksi dengan manusia-mahal tersebut. Sampai masuk ke dalam auditorium yang terang sekalipun, tangannya tidak berhenti menggenggam erat mantel Eldrich. Eldrich yang merasa sesuatu menarik dari belakangnya pun hanya bisa tersenyum kecil saat tahu Irene begitu dekat dengannya.

"Ruangan apa ini... kenapa banyak sekali kursi empuk seperti ini... kenapa di depan ada kain putih ?" Begitu banyak pertanyaan yang Irene ajukan pada Eldrich begitu mereka duduk pada kursi merah.

Kepalanya bergoyang kesana kemari begitu Irene terus merengek bertanya, namun tiada niat sekecil pun dari Eldrich untuk menjawab.

"Sebentar lagi film akan diputar, lampu kami matikan, silahkan nikmati filmnya."

Perkataan dari pekerja berakhir dengan lampu terang auditorium yang tiba-tiba mati. Terkejut karena kehilangan penglihatan, Irene meremas tangan Eldrich begitu kerasnya hingga Eldrich merasakan sakit.

"Te-Tenanglah Nona Irene, karena filmnya hendak diputar mereka mematikan lampunya."

"Ke-Kenapa dimatikan... gelap... apa yang akan terjadi nanti Eldrich ? Tidak ada hal yang berbahaya kan ?"

Kedua mata Irene berkunang-kunang sekarang, seakan luapan air hendak menerobos dari sana. Merasa bersalah sebab tidak menjelaskan segalanya sedari awal, Eldrich menyentuh tangan Irene yang mencengkeramnya.

"Tidak perlu khawatir, Nona Irene. Percayalah padaku, tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Kalaupun ada sekalipun, saya akan melindungi Anda."

"Be-Benarkah ?"

"Ya... oleh karena itu... to-tolong cengkeraman Anda... tangan kiri saya mulai kesakitan."

Dalam sekejap Irene segera melepaskan tangannya, meminta maaf karena ia tidak sadar telah melakukan hal itu. Dari belakang, cahaya putih terang menyinari kain putih yang ada di depan. Warna abu-abu disertai tulisan dari studio pembuat film terlihat di sana, menandakan kini film sudah dimulai.

Cahaya abu kini berganti menjadi sesosok pria yang terlihat tengah berada pada layar, Irene terkejut begitu melihat darimana pria tersebut bisa ada di sana. Padahal dirinya begitu yakin bahwa yang ada di depan tersebut ialah kain putih. Mulut sang pria bergerak seakan mengatakan sesuatu, namun tiada suara keluar kecuali alunan musik yang keras terdengar dari penjuru arah. Berselang beberapa detik, tulisan hitam berkata,

"Bagaimana caraku melunasi hutang keluarga ?"

Kemudian datang lagi si pria berpikir keras, lalu raut senang muncul seakan ia memikirkan sesuatu.

"Tentu saja ! Pergi ke ibu kota untuk mencari uang !"

"Di ibu kota segalanya ada, pekerjaan banyak ! Benar !"

Lantas kisah pemuda itu bermula saat dirinya berusaha untuk menyusup dalam kereta barang sebab tidak punya uang untuk membeli tiket. Berulang kali dia berusaha menghindari penjaga, penonton film yang menyaksikan terkadang tertawa riang saat tingkah laku pria yang hendak lolos dari penjaga gerbong.

"Eldrich, ini... begitu bagus, apa... sebenarnya yang terjadi di sana. Bagaimana bisa dari kain ada orang dan ganti ke rel kere—"

Berbalik pada Eldrich, kedua mata birunya menatap tajam pada adegan yang ada pada film, dirinya sama sekali tak bergeming pada segala hal di sekitar. Saat semua tertawa, mulutnya tertutup rapat, begitu adegan berganti pada percakapan serius... dagunya mengangguk seakan memahami sesuatu. Irene seakan menyaksikan sisi berbeda dari Eldrich sekarang, dia... selalu serius terhadap sesuatu yang ia dalami. Maka dari itulah, tidak ingin mengganggu dirinya, Irene kembali menonton dan tertawa sepanjang film diputar.

"Menakjubkan !"

Keluar dari cinema Irene tidak henti-hentinya mengatakan betapa ia takjub menyaksikan sesuatu bernama film. Dirinya tidak pernah menyangka bisa menjumpai bahwa gambar yang selama ini diam, dapat bergerak layaknya terdapat orang di baliknya. Eldrich menjelaskan pada Irene selepas film bahwa tidak ada orang asli di balik sana, namun semuanya terekam pada sesuatu bernama lembaran film.

"Aku tidak tahu bahwa ada hal sehebat ini ! Will, kamu melihat sesuatu seperti ini setiap saat di ibu kota ?"

"Erm... tidak setiap saat, beberapa kali saja."

Menjumpai reaksi yang begitu jujur, kegembiraan murni dari seorang anak kecil, Eldrich tidak dapat menahan tawa kecilnya semenjak tadi. Irene menatap padanya kebingungan, karna tiba-tiba saja muka seriusnya berubah menjadi tawa.

"A-Ada apa, Will ? Oh ! Pasti kamu teringat adegan lucu sewaktu si pria kejar-kejaran dengan penagih hutangnya kan !"

"Tidak... bukan apa-apa, hahaha..."

"Lalu kenapa..."

"Maaf... maafkan kelancangan saya barusan."

Tawa barusan sedikit meredakan rasa penyesalan serta kesal yang ia rasakan sebelumnya. Teringat kembali, naskah yang ia ajukan kepada penerbit kali ini kembali ditolak oleh mereka. Selepas dirinya hiatus begitu lama, banyak karya penulis baru masuk dan memenuhi pasar literatur. Aliran baru yang coba ditunjukkan oleh Eldrich, mengenai kehidupan yang tidaklah seindah kisah-kisah romantisme... ditolak untuk kesekian kalinya.

'Romantisme keparat... mereka hanya menyukai kisah orang-orang hebat saja...' gumanya dalam hati.

"Will... erm... sebenarnya aku hendak menanyakan ini semenjak tadi. Bagaimana... dengan cerita yang kamu ajukan tadi ?" Pertanyaan Irene kembali membuka luka yang sedang dirasakannya.

"Ah— Itu—" Ia berusaha mengelak, tetapi merasa bahwa tidak dapat lagi berbohong sehingga dengan hembusan nafas kecil...

"Ditolak..."

Mendapati jawaban kurang mengenakkan, Irene kelabakan dan berusaha untuk menghibur Eldrich.

"Begitu, tapi— jangan... jangan khawatir, Will ! Cerita yang kamu tulis bagus kok ! Pasti... pasti cerita yang kamu tulis selanjutnya akan lebih baik lagi ! Anggap saja... anggap saja ini... ya—! Kegagalan yang tertunda, benar !"

Irene cukup paham bahwa kata-katanya mungkin tidak cukup untuk meringankan rasa sakit yang menetap dalam hati Eldrich, karena paham... lebih dari siapapun, mengenai betapa kerasnya Eldrich berusaha menulis buku tersebut setiap hari. Setelah menggambar puluhan sketsa... menghamburkan kertas tak terhitung karena kata-kata yang dianggap tak cocok... dan merenung memikirkan mengenai kisah cerita selama berhari-hari... bukunya ditolak begitu saja. Irene, tidak tahu seberapa sakitnya hal tersebut apabila ia berada di sisi Eldrich.

"Aku... aku meminta maaf karena menanyakan hal itu padamu. Seharusnya aku tida—"

"Tidak mengapa, Nona Irene. Terimakasih atas perkataanmu... dan seperti yang Anda katakan, masih terdapat kesempatan lain. Aku... hanya perlu terus menulis."

Dari sudut mulut Eldrich terdapat lengkungan kecil membentuk senyuman, walau tidak terlihat layaknya senyum sepenuhnya, Irene merasa lega sebab Eldrich dapat merasa lebih baik dari sebelumnya. Keduanya semakin berjalan berdekatan, tak lagi terlihat layaknya anak bebek yang mengikuti ibunya.

Kali pertama terdapat seseorang yang menyemangatinya pada saat terpuruk, dulu ketika naskahnya ditolak berkali-kali, sampai hampir memutuskan berhenti... tiada satu pun orang yang ada di sisinya untuk membantunya bangkit kembali. Hatinya yang hampa tersebut kian mulai terisi oleh kuntum bunga... untuk saat ini kuntum itu belumlah merekah, tetapi Eldrich yakin... bahwa perasaan yang tengah ia rasakan saat ini bukanlah kebohongan.

Namun ketika saat itu ia merasa dapat mengatakan sesuatu yang terbenam dalam hatinya, sesuatu menerjang mereka begitu cepat dari belakang. Sekejap mata, Irene terhantam seseorang dari belakang dan hampir jatuh pada kerasnya trotoar. Dengan sigap, Eldrich menangkap Irene, merangkul pinggangnya.

"Anda baik-baik saja ?" ucapnya khawatir.

"Ya... aku tidak apa-apa, tidak perlu khawatir."

Marah terhadap siapapun yang telah mendorong Irene, matanya melotot tajam ke sekitar mengawasi setiap celah.

"Pencuri ! Sialan, dia mencuri sosis dari tokoku, hentikan dia !" suara teriakan terdengar dari belakang.

"Lav bajingan !"

Pria dewasa dengan janggut panjangnya berlari bersamaan dengan seorang lainnya mengenakan celemek putih kotor, ia membawa sebuah pisau besar untuk memotong daging, berusaha mengejar seseorang yang berlari membawa untaian sosis.

"Apa-apaan..." bingung menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi, Eldrich kini berhenti sejenak dan memeriksa Irene.

"Sepertinya pencuri... itu biasa terjadi di kota ?" tanya Irene.

"Kadang-kadang, tetapi mereka biasanya mencuri dompet atau uang. Kenapa dia malah mencuri makanan..."

Kemudian dari arah berlawanan, mendapati keributan yang muncul dari pencuri, seorang polisi berseragam biru terangnya berhasil mencegah pencuri tersebut yang hendak kabur ke gang kecil. Beruntunglah ia ditangkap oleh sang polisi... sungguh tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi apabila dua pria besar tadi menangkapnya.

"Pencuri itu terlihat muda... sepertinya remaja." Bisikan dari pejalan kaki lain terdengar begitu mereka juga berhenti untuk menyaksikannya.

"Rambut cokelat serta kulit pucat itu, dia pasti Lav."

"Maksudmu, para imigran itu ?"

Eldrich membantu Irene untuk kembali lagi berjalan, namun bisikan dari setiap pejalan kini berubah semakin keras.

"Mereka itu beban bagi negara... sudah baik kita mau menampung mereka di sini, tapi seperti itu."

"Lav kotor, kebanyakan juga kriminal serta tidak kenal norma."

"Apa mereka tidak tahu terimakasih, berterima kasihlah sudah diterima di Liberios setelah negara mereka runtuh."

Mendengar perkataan buruk yang semakin bertambah satu demi satu... Irene yang masih mencoba melupakannya terhuyung ke belakang.

"Nona Irene... baik—... Anda baik-baik sa—"

----------------------------------------------------------------------------------------

Dikelilingi oleh kenangan dari masa lalu... pada saat dirinya berada dalam gang gelap nan beku, sesosok wanita tengah berlutut... memohon kepada pria di depan mereka. Tidak peduli seberapa banyak wanita itu menangis memohon dan bahkan menundukkan kepala pada kakinya... yang ia dapatkan hanyalah tendangan serta cacian semata.

"Kau Lav yang tak tahu terima kasih. Sudah baik aku memberimu tempat tinggal, tapi bahkan kau tidak bisa bayar sewa ! Kamu pikir semuanya itu gratis ya ?!"

"Tolong... tuan, beri aku... satu hari lagi... aku berjanji pada Anda."

"Tiada janji lagi, pergi dari pandanganku. Rambut coklat seperti kotoran itu membuatku mual."

"Kami tidak memiliki tempat tinggal lagi... saya masih punya satu anak gadis perempuan. Malam di musim dingin itu sangatlah dingin... kumohon."

"Memangnya aku peduli ?! Enyahlah !"

----------------------------------------------------------------------------------------

Terbangun oleh sentakan Eldrich, bibir Irene mengatup keras. Dia sama sekali tidak mau mengatakan apapun dan kedua matanya tengah menitikkan air mata. Eldrich terkejut menyaksikan hal tersebut, tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia segera membawa Irene pergi dari kumpulan orang tersebut, menjauh sejauh mungkin dari mereka.

Pada akhirnya Eldrich dapat bertemu dengan Frederik yang telah berada pada tempat mereka berjanji sebelumnya. Melihat pipi Irene memerah seperti baru saja menangis, amarah yang tak terbendung hendak ia lepaskan pada Eldrich, dia berpikir Eldrich telah melakukan sesuatu pada cucunya yang berharga itu. Tetapi sebelum hantaman sampai pada Eldrich, Irene menahannya, mengatakan seharusnya dia tidak marah pada Eldrich. Dia bercerita bahwa Irene sedih sebab menyaksikan anak yatim piatu yang terlantar di kota. Lantas, tanpa berkata apapun lagi, mereka semua naik ke kereta kuda dan memulai perjalanan kembali ke Canibya.

Semenjak awal perjalanan pulang, Irene tidak ada henti-hentinya bercerita kepada kakeknya mengenai apa yang dilakukannya di kota. Dari menyaksikan gedung-gedung tinggi dengan banyak hiasan... menikmati kemeriahan festival kota... mencicipi manisan dari toko... sampai pertama kali merasakan cinema. Dengan senyum bahagia itu, dia mencoba yang terbaik agar tidak membuat Eldrich merasa bersalah sebab melihatnya menangis... dan mencegah Kakeknya untuk membenci Eldrich karena mengira telah membuat Irene menangis.

Pada akhirnya mereka melewati hamparan luas poppy merah... Irene pun terdiam sunyi tanpa kata. Bunga yang dulu bersembunyi pada kuntumnya yang hangat kini tengah merekah. Ia teringat bahwa musim semi telah begitu dekat... dan musim dingin akan segera berlalu. Lalu tiba-tiba saja Irene melompat dari kereta yang masih bergerak, sehingga ia jatuh terjerembab pada jalan berlumpur. Tetapi gadis itu tidak peduli bahwa kini ia telah terlumuri oleh lumpur, kembali berdiri untuk selepasnya berlari melewati lautan bunga.

"Nona Irene—" Eldrich mencoba mengejarnya tapi lengannya digenggam oleh Frederik.

"Kau sebaiknya tidak perlu tahu lebih banyak..." ucapnya dengan wajah serius.

Dari kejauhan Eldrich memandangi Irene yang berlari tanpa tujuan pada ladang poppy. Matanya berbalik ke segala arah, seakan mencari sesuatu dari laut merah tersebut. Sampai pada pandangan Eldrich tampak papan kayu menyembul pada tengah padang... tingginya hampir tertutupi oleh setiap bunga... tetapi jika dilihat lebih dekat lagi, memang terdapat papan kayu di sana. Eldrich tidak tahu mengapa ada papan kayu tertancap di tengah ladang... siapa yang meletakannya... dan apa alasan di baliknya.

Namun ia menyadari... bahwa itu adalah tempat yang penting, ketika Irene berhenti dan jatuh pada kedua lututnya. Dirinya segera memeluk erat papan kayu tersebut, dengan setetes air mata... mengalir... hingga muncul tangisan memilukan memenuhi padang.

Pada padang nan kecil tersebut... pada tempat yang ia anggap indah, terdapat kenangan sedih dari sang gadis yang kehilangan orang terkasihnya.

下一章