webnovel

Jatayu Sri Garudha

Sakit, itulah yang Raka rasakan saat salah satu cakar Garuda raksasa itu mencengkeram dirinya dan Sembadra. Belum lagi, Sembadra yang entah kenapa malah memeluknya erat sambil berteriak kencang, membuat dadanya terasa sesak dan telinganya seakan dibuat tuli oleh teriakan Sembadra. Rasa sakit dari cengkeraman Garuda raksasa itu membuat Raka tidak bisa fokus dalam mengontrol tenaga dalam miliknya.

Sementara itu, Adit, Gilang, dan Lingga juga merasakan hal yang sama saat dicengkeram oleh cakar lain milik sang Garuda. Beberapa kali Adit mencoba memukulkan Brajadenta ke cakar Garuda itu, tapi sang Garuda sama sekali tak bergeming. Malah, sang Garuda semakin mengeratkan cengkeramannya, membuat ketiganya kesulitan bernafas.

Setelah beberapa lama mereka terbang, akhirnya mereka dilemparkan dengan kasar kearah sebuah lubang besar dengan danau di dasarnya. Raka langsung saja dengan sigap merangkul Sembadra bersamanya, lalu berenang ke pinggiran danau. Lain halnya dengan Adit, dia langsung saja mengakses baju perisai miliknya, Antakusuma, untuk terbang ke pinggir danau. Gilang dan Lingga pun bisa dengan mudah menyelamatkan diri mereka, lalu ikut berenang ke tepi danau itu.

Di tepi danau, kelimanya jatuh telentang di atas bebatuan yang lumayan halus dan sedikit licin. Raka dan teman-temannya berusaha menormalkan nafas mereka, lalu menatap kearah Sembadra yang tampak pingsan. Raka dengan susah payah mendudukkan tubuhnya, lalu menyeret tubuh yang terasa sakit itu ke dekat Sembadra. "Ra.... Bangun Ra! Bertahanlah, tetaplah sadar," ucap Raka seraya menarik kepala Sembadra ke pelukannya.

"Sial! Kenapa siluman Garuda itu menyambar kita sih?! Mana cengkeramannya erat sekali lagi," seru Lingga sambil memegangi pinggangnya yang lecet karena terkena cakar Garuda itu. Raka, Adit, dan Gilang tidak menanggapi seruan itu, karena ketiganya berfokus pada Sembadra yang kondisinya tampak mencemaskan.

"Ka, sepertinya kita harus bawa Nimas ke tempat yang lebih aman, belum lagi, kita harus mengeringkan pakaian kita juga," usul Gilang seraya mencoba untuk berdiri. "Setuju, belum lagi kita juga dikejar-kejar oleh penduduk Sapta Pratala yang dirasuki itu, kita tidak bisa apa-apa selain bersembunyi dulu disini," timpal Adit seraya menggerakkan tangannya untuk menolong Raka memapah Sembadra.

Akan tetapi, Raka menolak uluran tangan Adit dengan cara menggendong Sembadra di punggungnya. Pemuda itu mengabaikan luka gores yang cukup dalam di perutnya, lalu berjalan tertatih-tatih untuk memasuki gua di hadapan mereka. "Si Raka kenapa, Mas? Kok dia aneh begitu?" tanya Lingga yang baru saja berjalan mendekat setelah diacuhkan oleh teman-temannya. Adit hanya mengabaikan pertanyaan Lingga sembari menatap lekat kearah Raka dan Sembadra, sementara Gilang menggelengkan kepalanya sambil memberi isyarat untuk tetap diam pada Lingga.

Setelah agak lama berjalan, akhirnya mereka bisa menemukan sebuah jalan keluar yang terhubung dengan danau di gua itu. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di dalam gua untuk menghindari kejaran penduduk Sapta Pratala, terlebih karena perbekalan mereka hampir semuanya hilang karena tenggelam di danau. Beruntung, tempat mereka bersembunyi cukup kering sehingga akhirnya mereka bisa menyalakan api untuk menghangatkan tubuh dan mengeringkan pakaian mereka.

"Ka, kau nggak makan? Nanti dagingnya dingin loh," ucap Lingga memecah keheningan yang terasa ganjil baginya. Semenjak mereka menemukan tempat persembunyian itu, Raka sama sekali tidak berbicara pada mereka dan terus menatap khawatir kearah Sembadra. Hal itu dikarenakan Sembadra belum juga sadar semenjak mereka dilempar ke danau oleh burung Garuda raksasa itu. Tak hanya itu, Raka bahkan tidak merawat luka goresan di perutnya akibat cakar Garuda itu, hingga akhirnya luka itu mengering dengan sendirinya di dalam pakaian Raka.

Beruntung bagi mereka, berburu di area hutan dekat gua itu tidaklah sulit, karena mereka bisa menemukan banyak sekali Menjangan berkeliaran. Setelah berhasil menangkap seekor Menjangan dan mengulitinya, mereka pun memanggangnya untuk makanan mereka hari itu. Meski begitu, Raka tetap saja tak kunjung memakan bagiannya, membuat Adit dan Gilang merasa jengah karena hanya mereka yang memahami apa yang ada dalam kepala reinkarnasi Karna itu.

"Raka, kau dengar nggak sih? Makan dong, nanti lukamu nggak sembuh-sembuh," ucap Lingga sambil berjalan mendekati Raka dan memberikan daging Menjangan bagian Raka. "Eh... Iya, maaf Ling, aku agak melamun tadi," ucap Raka sambil menerima daging itu dari tangan Lingga. Tak lama setelahnya, Raka bisa mendengar gumaman kesal dari arah tempat Adit dan Gilang duduk, membuat pemuda itu hanya bisa memasang raut wajah bingung atas kelakuan kedua temannya itu.

Setelah selesai makan, Raka kembali diam dan memperhatikan Sembadra yang masih belum tersadar. Beruntung mereka bisa menemukan ladang dimana terdapat banyak gabah kering berserakan. Gabah-gabah kering itu mereka kumpulkan dan mereka bawa ke gua tempat mereka bersembunyi, lalu disatukan menjadi sebuah tempat tidur sederhana untuk Sembadra. Raka menghela nafas dalam, lalu menyadari setitik rasa sakit yang berasal dari pinggangnya.

Raka baru saja menyadari kalau pinggangnya terluka, lalu memutuskan untuk membuka kaos yang ia pakai dan melihat seberapa dalam lukanya. Sayangnya, dia sedikit terlambat untuk membuka pakaiannya sehingga darah yang sudah mengering itu menempel di kaosnya dan terkelupas sebagian saat pemuda itu mencoba melepas kaosnya. "Hah... Gue harus ngomong apa ya ke Mbak Rana sama Bunda kalo gue luka begini? Masa karena dibegal sih? Yang ada Bunda sama Mbak Rana malah pingin cari begal itu buat digebukin," gumam Raka melihat lukanya pecah dan mengeluarkan lebih banyak darah.

Di sisi lain, Adit dan Gilang yang mendengarkan gumaman Raka tadi hanya bisa ikut menghela nafas. Beruntung perbedaan waktu antara alam Sarpa dan alam nyata sangat jauh, sehingga mereka bisa sedikit tenang mengenai luka-luka mereka. Belum lagi, mereka datang kemari pada hari Minggu, jadi mereka bisa menghabiskan liburan mereka dengan lebih tenang. Tetapi, melihat wajah galau Raka membuat kedua pemuda itu tak tahan untuk menepuk jidat mereka karena kebodohan Raka.

"Ka, kayaknya Lo bisa tenang sedikit soal luka Lo itu. Lo ingat kan kalau sehari di alam nyata itu sama dengan setahun di alam Sarpa?" tanya Adit sambil menatap Raka. Raka yang mendengar pertanyaan Adit itu mengedipkan matanya beberapa kali, lalu sedikit menelengkan kepalanya untuk berpikir. "Iya juga ya... Kenapa gue pake khawatir tadi?" Raka balik bertanya pada dirinya sendiri, membuat Adit dan Gilang terpaksa menahan diri untuk tidak menghajar Raka dengan pusaka mereka.

"Tapi, Ka, kok Lo cuma diam aja sih dari tadi? Apa karena Lo khawatir sama Nimas?" tanya Gilang seraya menggigit sebatang rumput kering. "Bohong kalo gue bilang nggak khawatir sama dia, Lang, karena gue merasa udah melakukan kesalahan fatal ke Rara.... Dimulai dari cuekin dia, sampai menghancurkan Sapta Pratala dan bikin dia terluka gara-gara gue gak bisa kontrol emosi dan kekuatan gue," jawab Raka pelan sambil menatap Sembadra dengan mata berkaca-kaca, sepertinya ia mulai lupa bahwa luka di pinggangnya masih mengalirkan darah.

"Kalo emang begitu, sebaiknya Lo pikirin diri Lo dulu, Ka. Ingat, kalo Lo pengen bisa jaga dia, Lo juga harus bisa jaga diri Lo sendiri, Lo udah lihat sendiri kan gimana reaksi Nimas Sembadra kalau Lo sampai kenapa-kenapa," ujar Adit sambil melemparkan lebih banyak ranting dan kayu bakar ke dalam api unggun. Raka kembali terdiam, lalu melihat luka di pinggangnya. Pemuda itu lalu mengeluarkan Brahma Dahana di tangannya, lalu disentuhnya luka itu dengan api suci itu.

Erangan kesakitan tak bisa Raka sembunyikan saat api itu menyentuh lukanya. Akan tetapi, Raka tidak berhenti begitu saja. Tangannya yang dilapisi dengan Brahma Dahana terus saja ia gerakkan mengikuti panjang lukanya, hingga akhirnya ia bisa mencapai ujung dari luka itu. Setelah selesai memanaskan lukanya, Raka hanya bisa duduk dengan nafas terengah-engah karena menahan rasa sakit. Adit dan Gilang hanya bisa diam memperhatikan bagaimana Raka mengeringkan lukanya dengan kemampuannya, memang sangat beresiko, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa cara itu memang efektif untuk menutup luka.

"Guys, ada apa tadi? Kok aku denger suara Raka kesakitan begitu?" tanya Lingga sedikit panik sambil menghambur masuk ke ruangan itu. Adit dan Gilang spontan menoleh kearah Lingga, lalu berkata dengan nada datar, "Gak ada apa-apa kok, Ling, cuma ada Raka yang lagi ngobatin lukanya sendiri. Ngomong-ngomong, kok Lo udah main masuk aja kesini? Bukannya ini masih giliran Lo buat jaga ya?"

Seakan ada paku yang menusuk ke dalam hatinya, Lingga langsung saja merasa murung saat mendengar kata-kata Gilang dan Adit. "Kangmas Gatotkaca dan Kangmas Antareja kok begitu sih? Aku kan panik karena khawatir sama Raka, masa aku nggak boleh khawatir sama temanku sih?" Pemuda itu berkata dengan nada murung dan ekspresi hampir menangis yang kekanakan.

"Bisakah kau hentikan ekspresi cengeng itu, Bima Suta (Putra Bima)? Aku capek mendengarkan ocehan cengengmu itu," ucap sesosok perempuan yang sedang memeriksa luka Raka. Shinta, perwujudan dari panah Kuntawijaya sekarang tengah keluar dari tempatnya bersemayam untuk memeriksa kondisi tuannya yang terluka. Meski Raka sudah menggunakan Brahma Dahana untuk mengeringkan lukanya, tapi Shinta masih tetap mengkhawatirkan kondisi sang tuan.

"Shinta, seharusnya kamu nggak ngomong begitu ke Lingga, kasihan dia kan," tegur Raka pelan. Sebuah kedutan muncul di dahi Shinta, pertanda bahwa gadis itu merasa kesal akan teguran Raka. "Ya udah, maaf kalo aku udah bela-belain keluar buat periksa luka kamu padahal aliran tenaga dalam punyamu lagi nggak stabil!" ucap Shinta dengan nada tegas sambil menekan luka Raka, lalu menghilang masuk ke dalam tubuh sang majikan. Raka sendiri hanya bisa meringis menahan sakit karena luka itu belum pulih.

~Kuntawijaya~

Terombang-ambing di tengah lautan, hanya bisa terdiam karena ada sesuatu yang tidak tampak tengah mengunci pergerakan tubuhnya. Sembadra mencoba untuk memberontak dan berenang, mencoba mencari daratan untuknya berpijak. Tapi, semakin lama ia memberontak, semakin kencang pula belenggu tidak terlihat itu mengunci pergerakannya.

Pun begitu, Sembadra sama sekali tidak bisa memanggil Srikandhi untuk menolongnya keluar dari laut. Setiap kontak batin yang ia coba lakukan selalu gagal, seakan-akan Srikandhi tidak bisa mendengarnya. Dinginnya air di lautan semakin merasuk ke tubuh Sembadra, menambah keinginannya untuk berontak dari kekangan gaib itu.

Rasa lelah dan frustasi membuat Sembadra nyaris saja menyerah kalau saja ia tidak teringat akan seorang pemuda yang memiliki api sepanas matahari. Pemuda itu bersinar terang dalam benaknya, dan semakin menjadi-jadi tatkala ia teringat hawa panas yang dipancarkan olehnya. Rasa dingin yang tadinya menyelimuti tubuhnya perlahan berganti menjadi kehangatan saat gadis itu menutup matanya dan membayangkan sang pemuda.

Tanpa sadar, tubuh Sembadra mulai tenggelam ke dalam air yang gelap itu, namun ia tetap tenang. Aliran air di sekeliling Sembadra terasa semakin tenang, dan posisi tubuhnya perlahan berbalik telungkup. Sepasang tangan menyentuh pipinya, membuatnya membuka mata dan melihat sesosok wanita yang amat sangat cantik dalam balutan busana berwarna hijau lembayung. Sayup-sayup, gadis itu dapat mendengar lantunan-lantunan tembang yang dinyanyikan oleh wanita itu.

Madya Ratri Kentarnya Mangikis

Sira Sang Lir Sinom

Saking Taman Miyos Butulane

Datan Wonten Cethine Udani

Lampahe Lestari

Wus Ngambah Marga Gung

Tengah Malam Suasana Mencekam

Lahir Sang Pemuda

Terlahir Dari Cinta Kasih Ibunda

Tanpa Ada Yang Menanyai

Jalannya Selamat

Menuju Ke Kemuliaan Yang Besar

Tembang Mijil, sebuah tembang yang sangat akrab di telinga Sembadra, karena kawannya sangat suka menyanyikan tembang ini. Tembang yang melambangkan kelahiran seseorang, yang biasanya berisi lantunan rasa syukur dan doa dari sang ibunda untuk anaknya. Wanita itu terus menerus menembangkan tembang itu, seakan ia ingin agar Sembadra bisa mengingatnya.

Setelah beberapa kali menembang, wanita itu berhenti saat melihat Sembadra berusaha untuk mengingat lirik-lirik dari tembang itu. Wanita itu lalu menggerakkan bibirnya, seakan mencoba menyampaikan sebuah pesan pada Sembadra. "Putra Aruna, miyos saking guwa-garba Ernawa, tanpa dimangerteni sejatine piyambakipun, yaiku, Raden Aruna Ernawa Rah," ucap wanita itu sebelum kesadaran Sembadra memudar.

~Kuntawijaya~

"Ra, aku rasa, kita harus bicara sebentar," ucap Raka sebelum menceburkan dirinya ke dalam danau untuk mencari perbekalan mereka yang tenggelam. Adit dan Gilang tengah keluar untuk berburu Menjangan dan kayu bakar, sebentara Lingga sudah terlebih dulu menyelam meninggalkan Raka dan Sembadra di tepi danau.

"Kita bisa bicara nanti, Raka, sekarang kita harus mencari sisa-sisa perbekalan kita yang tenggelam di dalam air," tolak Sembadra seraya mengikat rambutnya dengan karet. Beruntung Raka memiliki beberapa buah karet gelang di dalam tas nya yang tidak tenggelam, sehingga Sembadra bisa meminjam salah satunya untuk mengikat rambut gadis itu.

Helaan nafas berat sempat dikeluarkan Raka sebelum Sembadra menjatuhkan dirinya ke air, membuat pemuda itu kembali melihat kearah lukanya yang sudah disembuhkan oleh Sembadra. Luka itu masih meninggalkan bekas yang cukup besar, tapi setidaknya sudah tidak terasa sakit. Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menepuk kedua pipinya, lalu berlari dan menyusul Sembadra untuk masuk ke air.

Danau itu memiliki bentuk seperti cekungan yang sangat dalam, dengan sebuah lubang berdiameter cukup lebar di bagian tengah danau. Beruntung, tas-tas mereka yang tenggelam hanya berada di pinggir cekungan itu, sehingga Lingga bisa dengan mudah meraihnya. Dengan kemampuannya, Lingga bisa berenang dengan mudah di dalam air dan mengambil dua dari empat tas besar di dasar danau itu.

Saat Lingga beranjak naik, ia melihat Raka dan Sembadra menyusul di belakangnya. Sontak, Lingga langsung mengoper kedua tas yang dia bawa kepada Sembadra dan Raka, lalu kembali turun untuk mengambil dua tas sisanya. Setelah dirasa semua tas sudah didapatkan, ketiganya langsung berenang naik ke permukaan karena dada mereka mulai terasa sesak.

Sesampainya di tepi danau, ketiganya langsung meraup udara ke paru-paru mereka dengan rakus. Ketiganya menyelam dalam rentang waktu nyaris satu menit, yang untungnya cukup untuk mengambil keempat tas mereka. Jika mereka berada di dalam air sedikit lebih lama lagi, bisa dipastikan bahwa akan ada yang tewas karena tenggelam.

"Akhirnya, perbekalan kita bisa diambil lagi setelah 3 hari direndam air," ucap Lingga dengan nada lega. "Aku setuju denganmu, Antasena, karena di dalam tas ini kita menyimpan banyak makanan kaleng untuk dimakan, semoga masih baik-baik saja," balas Sembadra mengutarakan kelegaannya. Raka sendiri hanya terdiam karena merasakan ada sesuatu yang janggal saat mereka menyelam tadi. Rasanya seperti ada sepasang mata raksasa yang memperhatikan mereka dari dalam lubang di tengah danau itu.

"Raka, kenapa kamu diam saja dari tadi?" Sembadra bertanya saat mereka akan kembali ke tempat persembunyian. "Bukan apa-apa kok," jawab Raka singkat, lalu mengangkat tas di depannya dan menyambar tas yang dibawa oleh Sembadra. "Kok begitu sih Ka? Aku bisa bawa sendiri, tau!" ujar Sembadra sambil mencoba mengambil kembali tas yang dibawa oleh Raka. "Jangan banyak protes, nanti Gilang sama Adit terlalu lama menunggu," ujar Raka sembari berkelit dan mulai berjalan.

'Dia ini kenapa sih? Apa jangan-jangan ngambek karena aku cuekin tadi?' batin gadis itu bingung dengan kelakuan Raka, meski akhirnya ia mengikuti Raka dan Lingga dengan langkah pelan. Sementara itu, permukaan air danau perlahan bergejolak seolah dipanaskan. Dari dalam danau itu, keluarlah sesosok kepala hewan raksasa dengan sepasang tanduk dan rambut lebat di area kepalanya. Hewan raksasa yang tak lain adalah seekor naga itu menatap tajam kearah Raka, Sembadra, dan Lingga, lalu perlahan tenggelam kembali ke dasar danau.

"Lho? Kok Kangmas Gatotkaca dan Kangmas Antareja belum datang?" Lingga bertanya entah pada siapa. Tempat mereka bermalam selama sepekan belakangan ini masih kosong, dan sisa-sisa api unggun masih belum dibersihkan. "Mungkin mereka masih kekurangan kayu bakar, Lingga, kita tunggu saja disini," ucap Raka sambil meletakkan kedua tas yang ia bawa dengan hati-hati.

"Benar apa kata Raka, Antasena, sebaiknya kita menunggu disini dan beristirahat sebentar," Sembadra menimpali ucapan Raka, lalu mendudukkan dirinya disamping Raka.

Akan tetapi, sepertinya hal-hal tidak berjalan sebaik perkiraan mereka, karena meski mereka menunggu sampai pakaian mereka kering, Adit dan Gilang belum juga kembali. Lingga sendiri sampai menguap bosan, lalu memutuskan untuk menyusul Adit dan Gilang, meninggalkan Raka yang tengah bersemedi dan Sembadra yang tengah mengobrol bersama Shinta, Srikandhi, dan Segara Bayu.

Tidak lama setelah Lingga pergi, sebuah anak panah muncul dan melesat kearah Raka yang masih bersemedi. Beruntung, Raka menyadari kedatangan anak panah itu, lalu memegang tangan Segara Bayu dan mengubahnya menjadi sebuah keris. Raka menangkis anak panah itu dengan tebasannya, lalu bergerak untuk melindungi Sembadra.

"Sial! Apa yang sebenarnya terjadi? Belum ada sepuluh menit Lingga meninggalkan kami dan sekarang kami diserang?!" gumam Raka sambil mengeratkan pegangan tangannya pada keris Kaladete yang ia pegang. "Tunggu, Raka, entah kenapa aku merasa familiar dengan aura dari penyerang kita," ucap Sembadra yang juga telah memunculkan busur panah miliknya. Shinta yang melihat bahwa situasi menjadi genting pun lalu bergerak untuk memasuki tubuh Raka.

"Kalau kamu memang benar-benar yakin dengan firasatmu itu, berarti aku tidak punya pilihan lain selain menurut, kan?" tanya Raka dengan nada retoris. Firasat Raka kembali bergolak saat merasakan gelombang anak panah menerjang memasuki gua dimana mereka bersembunyi. Pemuda itu dengan sigap menangkis beberapa anak panah, lalu menarik pinggang Sembadra kearahnya dan berlari menuju ke dalam gua.

Benar saja, Raka bisa mendengar puluhan langkah kaki berlarian mengikuti dirinya dan Sembadra. Raka sedikit melirik ke belakang, namun sia-sia karena pandangannya terhalang oleh Sembadra. "Ra, bisa kamu menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang mengejar kita?" pinta Raka sambil melangkahkan kakinya melewati sebuah batu cadas.

Sembadra tentu saja tidak bisa menolak permintaan Raka itu, karena dirinya juga penasaran dengan sosok dari penyerang mereka. Akan tetapi, rasa penasaran itu telah berubah menjadi keterkejutan saat Sembadra melihat bahwa ternyata mereka tengah diserang oleh para penduduk Sapta Pratala sendiri. Bukan hanya mereka, bahkan Adit, Gilang, dan Lingga pun ikut andil dalam pasukan Sapta Pratala, karena Sembadra bisa melihat dengan jelas bahwa ketiganya tengah dikendalikan oleh sosok lelembut di belakang tubuh mereka.

"Raka! Gawat, kita diserang penduduk Sapta Pratala yang dikendalikan itu! Bahkan, Gatotkaca, Antareja, dan Antasena pun juga ikut dikendalikan oleh mereka!" ucap Sembadra panik, apalagi saat ia melihat bahwa Adit sudah menggunakan kemampuannya untuk terbang kearah mereka. "Sebenarnya aku sudah bisa menduganya, tapi, kurasa kita juga akan tamat....." ujar Raka saat melihat bahwa di depan mereka telah terbentang danau tempat mereka terjatuh sepekan lalu.

"Raka, turunkan aku, aku akan membantumu dari belakang," ucap Sembadra saat Raka menghentikan langkahnya beberapa meter dari permukaan air danau. "Jangan bercanda..." ucap Raka dengan nada datar sambil menurunkan Sembadra, lalu mengangkat keris miliknya setinggi dada. "Aku tidak membawamu sejauh ini untuk bertarung, kamu tahu..... Sang Bathara Surya, Pinjamkan Aku Apimu!" gumam Raka sebelum tubuhnya diselimuti oleh Brahma Dahana.

Para penduduk yang dirasuki itu tentu saja langsung menggila saat Raka mengeluarkan kekuatannya. Mereka dengan membabi-buta langsung merangsek kearah Raka dengan langkah yang aneh. Dari mulut mereka, terucap sebuah kata yang Raka kurang mengerti apa maknanya, sembari tangan mereka mencoba menyerang Raka. "'Aruna! Aruna! Aruna! Aruna!'" teriak para warga yang dirasuki itu, membuat Raka merasa bingung sekaligus kewalahan dengan serangan dan teriakan mereka.

Sementara Sembadra langsung menatap terkejut kearah para penduduk itu, karena kata yang mereka ucapkan itu sama seperti sebuah nama yang ia dengar dalam mimpinya. Akan tetapi, Sembadra merasa tidak memiliki waktu untuk terkejut, karena Adit dan Lingga telah maju untuk melayangkan pukulan maut mereka kearahnya. Tentu saja, Sembadra sempat mengantisipasi pukulan-pukulan itu dengan cara menghindar, lalu balas menghantam mereka dengan busur miliknya.

Beberapa saat telah berlalu semenjak pertarungan itu dimulai, dan baik Raka maupun Sembadra telah kewalahan untuk melawan para penduduk yang dirasuki itu. Belum lagi, di pihak mereka ada Adit, Gilang, dan Lingga yang sangat tangguh, membuat Raka yang sempat mengamuk menjadi tidak berdaya karenanya. Raka jatuh dalam posisi berlutut di depan Sembadra yang terkapar, tangannya terentang seakan mencoba melindungi gadis itu. Di sisi lain, Adit, Gilang, dan Lingga telah menyiapkan senjata mereka masing-masing, seakan bersiap untuk menghujamkan senjata mereka ke tubuh Raka.

Tepat saat ketiga senjata itu diayunkan, tanah di gua itu bergetar diikuti bergolaknya air di dalam danau. Getaran gempa itu semakin terasa kuat, saat akhirnya sesosok kepala naga besar menyembul dari dasar danau. Belum cukup sampai disitu, sebuah pekikan keras bergema di dalam gua, dan dari lubang di atas danau, turunlah sesosok siluman Garuda besar yang menggenggam sebilah pedang di tangan kanannya. Raka dan Sembadra bisa mengenali sosok siluman Garuda itu sebagai Jatayu, Patih kepercayaan Asmitha sang penjaga Sapta Pratala.

Kemunculan sang naga dan Jatayu membuat para lelembut yang merasuki tubuh para penduduk terkejut bukan main. Belum lagi, saat sang naga membuka moncongnya dan meraung keras sehingga para lelembut itu terlepas dari tubuh para penduduk, tidak terkecuali Adit, Gilang, dan Lingga yang langsung terjatuh pingsan. Para lelembut yang sudah terlepas itu tidak serta-merta kembali ke tempat mereka seharusnya berada, namun malah berkumpul dan memadat membentuk sesosok gadis yang tampak seumuran dengan Raka dan Sembadra, Diana Ratna Antika.

Bersambung