Dua minggu berlalu semenjak terjadinya konfrontasi antara Raka dengan anggota OSIS. Semenjak itu pula, Raka dan Sembadra terlihat semakin dekat. Mereka tak jarang terlihat tengah berduaan, seperti ke kantin atau ke perpustakaan SMA S. Kedekatan mereka yang tiba-tiba itu membuat teman-teman Raka merasa curiga, karena kedekatan semacam ini bisa dianggap kurang wajar.
Akan tetapi, kecurigaan teman-temannya sama sekali tidak digubris oleh Raka, selama ia aman dari kejaran para prajurit Bathara yang berkedok sebagai anggota OSIS itu. Selama dua minggu ini pula, Raka sering mengunjungi Sapta Pratala bersama Sembadra, Srikandhi, dan gadis perwujudan tombak pusaka miliknya, Shinta. Terkadang mereka berkunjung hanya untuk menyapa Asmitha, atau mengadakan latih tanding untuk mengasah kemampuan Raka dalam mengendalikan Vasavi Shakti.
Hari ini pun bukan termasuk pengecualian. Ketika kelas terakhir dibubarkan pada pukul 3 sore, Raka langsung saja menggendong tasnya dan berpamitan pada sahabat-sahabatnya, Gilang, Adit, dan Lingga. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti, Raka pun melangkahkan kakinya ke kelas 10 IPA A tempat Sembadra berada.
"Tumben banget kamu telat, Raka," Sembadra menyapa Raka saat pemuda itu sampai di depan kelasnya. "Berisik, gue gak mau denger itu dari istri orang," ucap Raka datar seraya memalingkan muka. "Aku bukan istri Arjuna lagi, Raka, aku sudah bilang padamu di depan Yunda Asmitha kan?" ujar Sembadra dengan bibir dimajukan. "Bodo amat, kalo bukan karena Asmitha bujuk gue, gue gak bakalan jemput Lo sebelum ke Sapta Pratala," sungut Raka kesal.
"Jahat ih!" Sembadra semakin cemberut mendengar ungkapan kekesalan Raka, membuatnya menghentakkan kakinya ke lantai. "Lo berisik, kek bocah aja," sindir Raka seraya berjalan meninggalkan Sembadra dan menuju ke taman belakang sekolah. "Eh? Raka, tungguin!" teriak Sembadra seraya berjalan mengejar Raka, namun tidak digubris oleh pemuda itu.
Keduanya berjalan menuju ke sebuah pohon beringin tua yang bagian tengah batangnya terbelah seperti lorong. Raka lalu merentangkan tangannya ke arah lubang di pohon itu dan berkata, "Sri Palasara ing sabdaning pandhita prabu, araning cipta pralaya sapta baruna kasulayan. Ing ngarsa rumaos punika, anggihipun tinimbal, kartika lintang Sapta Pratala!"
Selesai membacakan mantra itu, sebuah portal gaib terbuka di dalam rongga pohon beringin itu. Raka tanpa basa-basi memasuki portal itu bersama Sembadra, tanpa mengacuhkan seseorang yang mengikuti mereka dari belakang. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Diana, gadis yang dulunya adalah majikan dari Nyalawadi yang dibunuh Raka. Gadis itu menunggu agak lama setelah Raka dan Sembadra memasuki portal itu, lalu ikut memasukinya tepat sebelum portal itu tertutup kembali.
~Kuntawijaya~
"Sugeng rawuh (selamat datang), Raden Rakai, Roro Sembadra," sapa Jatayu sembari menyambut Raka dan Sembadra di gerbang Sapta Pratala. "Sugeng enjing (selamat pagi), om swastyastu, Patih Jatayu, bagaimana kabarmu hari ini?" Raka balas menyapa Jatayu dengan hangat, sementara Sembadra hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan pergi bersama Srikandhi yang keluar dari tubuhnya.
"Kabar hamba baik-baik saja, Raden. Nyai Ratu Asmitha sudah menunggu anda di ruangan beliau, sepertinya ada sesuatu yang ingin beliau utarakan pada anda, Raden," ujar Jatayu seraya membungkukkan kepalanya. "Baiklah, Patih Jatayu, tolong antarkan aku kepada Asmitha. Tapi, sebelum itu," Raka menjeda kalimatnya seraya menurunkan tasnya dan merogoh sesuatu di dalamnya.
"Apa itu, Raden?" tanya Jatayu saat Raka mengeluarkan sebungkus ikan goreng dari dalam tasnya. "Kudengar dari Asmitha, kau sangat menyukai ikan goreng dan sambel terasi, jadi aku membawakannya untukmu hari ini," jawab Raka seraya mengeluarkan cengiran. "Terima kasih banyak, Raden, hamba bersumpah bahwa hamba akan menjadi pengikut setia Raden sampai akhir hayat," ucap Jatayu terharu seraya menerima bungkusan itu dari Raka dan berlutut ala seorang kesatria.
"Sudahlah, itu hanya makanan, Patih Jatayu. Aku bisa membawakannya untukmu kapanpun kau mau," ujar Raka dengan nada bergurau. "Sekali lagi, hamba berterima kasih pada anda karena telah memberi hamba makanan kesukaan hamba, Raden. Mari, ikuti saya menuju ke ruangan Nyai Ratu," Jatayu berkata dengan penuh hormat, lalu berjalan memasuki Sapta Pratala bersama Raka di sampingnya.
Di perjalanan, mereka mengobrol mengenai banyak hal. Mulai dari keadaan di sekitar Sapta Pratala, kabar simpang siur di alam gaib, sampai hal-hal sepele seperti cara merawat bunga dan menyeduh teh. Saat mereka melewati taman tengah Sapta Pratala, Raka sedikit menoleh kearah Sembadra yang duduk di atas sebuah batu di tepi kolam yang ada di taman itu. Di belakang Sembadra, ada Srikandhi yang mewujudkan dirinya ke wujud fisik dan menyisir rambut Sembadra dengan sebuah sisir kuno.
"Jangan hiraukan mereka, Raden, itu sudah jadi kebiasaan mereka semenjak mereka datang kemari untuk pertama kalinya," ucap Jatayu saat Raka menghentikan langkahnya. "Mereka suka menyisir rambut mereka di tepi kolam? Pagi-pagi begini?" Raka bertanya dengan nada tidak percaya. "Benar, Raden, dan mereka sangat ketus pada para pengawal dan beberapa dayang disini, karena itu tidak ada yang menegur mereka disini," jawab Jatayu prihatin seraya menoleh kearah Sembadra dan Srikandhi.
"Ah, begitu rupanya....." gumam Raka seraya memalingkan muka saat Sembadra menyadari kalau Raka tengah mengintip. "Raden, ada apa?" Jatayu bertanya saat Raka memalingkan muka. "Bukan apa apa, mari kita teruskan, Patih Jatayu," ajak Raka sambil mengalihkan topik. Jatayu menahan tawa saat melihat Raka berusaha mengalihkan topik pembicaraan, begitu pula Sembadra yang melihat dari kejauhan.
Kedua makhluk beda jenis itu lalu melanjutkan perjalanan mereka hingga mereka sampai ke sebuah pintu besar berukiran bunga teratai dan bulan, serta dilapisi emas di beberapa bagian. Jatayu mengetuk pintu itu dengan pelan, lalu mundur sedikit untuk menunggu jawaban. "Bawa dia masuk, Jatayu, aku sudah menunggu kalian," ucap sebuah suara dari dalam ruangan.
Jatayu langsung saja membukakan pintu itu dan membiarkan Raka masuk lebih dahulu. Setelah memastikan tidak ada penguping di luar, Jatayu lalu menutup pintu dan berjaga didepan ruangan itu. Sementara di dalam ruangan, tampak Asmitha dalam posisi semedinya tengah duduk tenang. Wanita itu seperti biasa tengah mengenakan jubah putih yang tudungnya menutupi wajahnya. Raka duduk agak jauh dari tempat Asmitha bersemedi, menunggu Asmitha menyapanya seperti biasa.
"Selamat datang, Rakai, kamu terlambat sehari, apa yang menahanmu untuk datang lebih cepat?" tanya Asmitha dengan nada menuntut penjelasan. Raka sebelumnya terkekeh kecil saat mendengar nada merajuk itu, lalu ia mengeluarkan bungkusan lain dari dalam tasnya. "Aku membelikanmu ini terlebih dulu tadi, Asmitha. Maaf kalau aku terlalu lama tadi," jawab Raka sambil mengingat perbedaan waktu antara alam gaib dan alam nyata.
"Apa itu, Raka?" Asmitha kembali bertanya, kali ini suaranya terdengar antusias dan penasaran. "Salad buah, Jatayu bilang kalau kamu sangat menyukainya, makanya dia sering membawakannya untukmu," jawab Raka seraya berdiri dan menyerahkan bungkusan itu. Asmitha tidak berkata apapun dan malah memandangi Raka yang tubuhnya masih terbalut seragam SMA.
"Asmitha?" panggil Raka saat Asmitha tidak merespon uluran tangannya yang menyerahkan sekotak salad buah. Asmitha seketika tersadar dari lamunannya, lalu menerima kotak berisi salad buah itu dengan senang. "Terima kasih, Raka, aku tidak menyangka kamu akan membawakannya untukku," ujar Asmitha dengan nada senang.
"Tentu, sama-sama, Asmitha," ujar Raka dengan senyuman tipis. Asmitha langsung saja meletakkan kotak salad buah itu di sebuah meja, lalu kembali dengan membawa dua cawan teh. "Minumlah, Raka, kamu pasti haus setelah seharian sekolah di alam fana," ucap Asmitha sambil meletakkan salah satu cawan di depan Raka. "Terima kasih, Asmitha. Hari ini benar-benar melelahkan, aku sampai terlambat datang kesini gara-gara piket membersihkan kelas," ujar Raka sebelum meminum tehnya.
"Bagaimana perkembangan kekuatanmu, Raka?" tanya Asmitha setelah Raka menghabiskan tehnya. "Sejujurnya, aku masih belum terlalu yakin, Asmitha. Sejak kontak terakhirku dengan para prajurit Bathara, aku sama sekali tidak menggunakan Vasavi Shakti, bahkan Shinta sendiri tidak menjawab kontak batin dariku," Raka menjawab dengan lesu seraya menatap tangan kanannya.
"Apa kamu kembali berlatih beladiri sambil memanfaatkan Brahma Dahana (Api Brahma) milikmu?" Asmitha kembali bertanya. Kali ini tatapan matanya beradu dengan tatapan mata Raka, sehingga Raka bisa melihat iris berwarna biru es di tengah gelapnya bayangan tudung kepala Asmitha.
"Ya, aku kembali melatih beladiri yang aku kuasai sambil menggunakan Brahma Dahana. Selain itu, aku menemukan bahwa aku bisa saja menggunakan tenaga dalam milikku untuk mempelajari kekuatan lain selain Brahma Dahana," jawab Raka tenang. Jawaban Raka ini membuat Asmitha merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak. Lalu, wanita itupun bertanya, "Oh ya? Kekuatan macam apa yang kamu maksud, Raka?"
"Adipati Karna memiliki kekuatan berbasis api, lebih tepatnya Brahma Dahana. Jadi, aku membutuhkan sesuatu yang bisa membantuku membentuk api-api Brahma Dahana menjadi ke bentuk yang kuinginkan," ujar Raka menunda jawaban sambil memejamkan matanya dan mengumpulkan tenaga dalam miliknya. Di dahinya perlahan terbentuk Bija miliknya yang berwujud seperti matahari, sementara di tangannya tampak terbentuk kobaran api kecil yang perlahan memadat menjadi sebatang tongkat berwarna oranye.
"Tongkat api? Apakah yang kau maksud dengan kekuatan yang bisa membentuk Brahma Dahana itu Surya Cahya (Cahaya Surya)?" Asmitha kembali bertanya dengan bingung. "Bukan Surya Cahya, ini lebih seperti petir yang dimiliki Bathara Indra, petir yang bisa digunakan untuk menambah kecepatan dan dibentuk sesuka hati," jawab Raka seraya memunculkan wujud asli petir itu.
Di tangan Raka yang satunya, muncul sebuah percikan listrik yang perlahan membentuk sebuah tongkat dengan ujung-ujung yang runcing. Tongkat petir itu berwarna putih kekuningan, berbeda dengan tongkat satunya yang berwarna oranye seolah terbuat dari besi yang dipanaskan. Raka lalu dengan perlahan mengurangi tenaga dalam miliknya dari tongkat oranye miliknya agar elemen petir pada tongkat itu menghilang dan hanya menyisakan kobaran api merah di tangan Raka.
"Aku mengerti, jadi petir adalah fondasi untuk senjatamu, dan untuk mengisi rongga-rongga pada petir itu kamu menggunakan Brahma Dahana, lalu bagian terluar petir itu menjadi padat dan lubang-lubang di tongkat itupun tertutup akibat panas Brahma Dahana sehingga tidak ada sedikitpun api yang keluar," ucap Asmitha dengan nada kagum saat Raka menyatukan api di tangannya dengan tongkat petir di tangan satunya.
"Ya, seperti itulah konsepnya, Asmitha," ujar pemuda yang merupakan pemilik dari tombak Vasavi Shakti itu. "Tapi, ada yang janggal dengan warna petir milikmu, Raka, karena setahuku petir milik Bathara Indra berwarna biru, bukannya kuning seperti milikmu," ucap Asmitha dengan nada penasaran. "Karena petir ini adalah petir Rudra, panglima milik Indra," ucap Raka memberitahu, sebelum akhirnya mereka mendengar sebuah suara ledakan dan jeritan seseorang dari luar.
"Asmitha, sepertinya kita harus melihat apa yang terjadi di luar sana," ucap Raka sambil menoleh kearah Asmitha. "Tentu saja, Raka, kamu pergilah duluan bersama Jatayu, aku akan menyusul bersama Dinda Sembadra dan Dinda Srikandhi," titah Asmitha seraya bangkit dari duduknya.
Begitu mendengar perintah Asmitha, Raka langsung saja membuka pintu dan melihat Jatayu sudah melesat keluar terlebih dahulu. Raka memfokuskan tenaga dalam miliknya pada seluruh tubuhnya, dan petir berwarna kekuningan pun memercik dari tubuhnya seiring langkah kakinya yang semakin cepat. Raka akhirnya bisa menyusul Jatayu berkat tambahan kecepatan yang ia dapatkan dari petir yang keluar dari tubuhnya.
"Raden, mengapa Raden kemari? Ini terlalu berbahaya!" ucap Jatayu dengan nada khawatir seraya memperlambat lajunya. "Jangan mengkhawatirkan diriku, Jatayu, yang lebih penting, apa Sapta Pratala sedang diserang?" tanya Raka yang ikut memperlambat larinya. "Tadi ada pengawal yang melapor pada hamba bahwa ada dua ekor Bhuta yang tengah menuju kemari, Raden. Salah satu dari kedua Bhuta itu tampaknya adalah Bhuta yang sebelumnya pernah menyerang Sapta Pratala," jawab Jatayu.
"Apa? Salah satu dari mereka pernah menyerang Sapta Pratala?" Raka berkata dengan keterkejutan yang tidak bisa dia sembunyikan dari wajahnya. Keduanya lalu berhenti tepat di depan gerbang Sapta Pratala yang telah hancur lebur, menampakkan dua ekor Bhuta yang bertubuh berlainan. Salah satu Bhuta itu memiliki tubuh yang kurus dengan perut buncit dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari tulang manusia di sekujur tubuhnya, sementara Bhuta yang satunya sangat gemuk dan tampak tidak mengenakan hiasan apapun di tubuhnya.
Kedua Bhuta itu tampak tengah berpesta sambil menyerang para prajurit Sapta Pratala, bahkan keduanya berhasil memakan beberapa orang dari para prajurit yang ada. "Sudah kuduga, Bhuta Cakil dan salah satu anak buahnya," gumam Jatayu seraya melesat maju dan menarik keluar pedang Cakra Garudha miliknya. Akan tetapi, sebelum Jatayu bisa mencapai tubuh Bhuta Cakil, Bhuta itu sudah terlempar mundur karena terkena tendangan seorang pemuda yang tubuhnya terbalut api merah.
"Kalian semua, mundurlah! Jatayu, tolong atasi Bhuta yang satunya!" perintah Raka seraya menyiagakan kuda-kuda Muaythai miliknya. Jatayu yang mendengar perintah Raka pun langsung saja menebaskan pedangnya kearah Bhuta yang satunya dan memancingnya menjauh. Para prajurit Sapta Pratala pun menyingkir dari arena duel itu dan menontonnya dari kejauhan.
"[Kurang ajar kau bocah! Beraninya kau menendang wajahku!]" raung Bhuta Cakil seraya memegangi sebelah matanya yang terkena tendangan Raka. "Kau sendiri yang memulainya dengan menyerang tempat ini, Bhuta sialan!" balas Raka seraya mengeluarkan percikan petir Rudra di tubuhnya dan melapisi kedua tangan dan kakinya dengan Brahma Dahana.
Bhuta Cakil kembali meraung marah dan mencoba menghantam tubuh Raka dengan cakarnya. Akan tetapi, serangan itu terlalu lambat sehingga Raka bisa melompat kearah tangan Bhuta itu. Pemuda itu lalu berlari menaiki tubuh si Bhuta, lalu melompat kearah wajahnya. Raka memperbesar kobaran api di kaki kanannya, lalu menghantamkan tulang kering miliknya ke hidung Bhuta itu seraya berkata, "Terima ini! Teknik Kedua Aliran Tapak Dewa: Serudukan Banteng."
Tubuh raksasa Bhuta Cakil terhuyung dan jatuh saat menerima tendangan itu. Raka sendiri langsung bersalto kebelakang beberapa kali dan kembali memasang kuda-kuda saat berhasil mendaratkan tubuhnya ke tanah. Bhuta itu kembali bangkit dengan ekspresi kemarahan yang luar biasa, lalu meraung marah dan menerjang maju kearah Raka yang sudah bersiaga.
"Sang Bathara Surya, pinjamkan aku apimu," gumam Raka seraya melompat-lompat kecil menggunakan ujung kakinya. Kobaran api dan percikan petir semakin menggila di sekeliling tubuhnya saat Raka tampak terus bergerak seolah tengah menari. Saat Bhuta itu sudah semakin dekat dengan tubuhnya, Raka ikut melesat kearah Bhuta itu seraya mengepalkan tangan kanannya di samping tubuhnya.
"Teknik Ketujuh Aliran Tapak Dewa: Sang Naga Menari," gumam Raka sambil mengayunkan tinjunya ke tangan Bhuta Cakil. Saat kedua tangan berbeda ukuran itu saling bertumbukan, seekor naga api besar muncul dari kepalan tangan kanan Raka. Naga itu menembus tangan kanan Bhuta itu, membakarnya menjadi abu, lalu berbalik dan menabrak tubuh Bhuta Cakil hingga terlempar sejauh beberapa meter.
Bersambung