Sebanyak apapun penyesalan, waktu tidak akan berjalan mundur
~ Aksara Kalandra
___________________________________
.
.
.
Langit biru itu, kini berubah warna menjadi kemerahan dengan cahaya jingga tersorot dari matahari yang akan pulang pada peraduannya. Gadis berambut panjang berwarna coklat gelap tersebut duduk dipinggiran atap, jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit sebatang rokok yang baru saja dia sulut.
Tatapan kedua netranya terpaku pada sebuah mobil sedan Mercedes Benz berwarna hitam mengkilap diparkiran sekolah yang sudah sepi, tampak sepasang kekasih tengah bercakap-cakap disana.
Asap mengepul disekitarnya ketika Alana mengisap batang nikotin tersebut, lalu menghembuskan nya dengan pelan.
Baru saja ingin menikmati rasa nikotin yang membuatnya bisa merasa lega, sebuah tangan kekar merampasnya. Membuat sembarang, lalu menginjaknya hingga bara api kecil diujung batang nikotin tersebut padam.
"Resek banget sih lo"
"Rokok gak baik buat cewek!" katanya santai, lalu pemuda yang tadi membuat rokok Alana tersebut bergabung duduk dipinggiran atap.
Pemuda tinggi dengan paras rupawan yang sayang untuk dilewatkan, namanya Jonathan Satria Bigantara atau terkenal dengan sapaan Nathan. Ketua geng terkenal seantero sekolah, dan kotamadya. Nathan memperhatikan Alana yang masih terpaku pada indra penglihatannya, kedua netranya pun mengikuti kemana arah mata hazel yang langka tersebut mengarah.
"Kalo masih cinta, kenapa lo putusin?"
"Bosen aja sama status yang gak jelas" kata Alana, bibir pink nya melengkung tipis. Tetapi, tampak sekali jika ia tengah mengasihani diri sendiri.
"Gue bego banget ya, sampai Aksara lebih suka sama Luna?"
"Iya, lo itu cewek yang paling bego yang gue kenal"
Mereka berdua tertawa terbahak, sambil tetap memperhatikan bagaimana Aksara dan Luna berinteraksi. Mereka selalu terlihat sebagai pasangan sempurna, pasangan kekasih yang sering mengharumkan nama baik sekolah dengan prestasi mereka. Tidak seperti dua remaja yang duduk di atap gedung sekolah, dengan sapuan angin yang membelai kulit mereka.
"Eh, tunggu. Bukannya lo tadi ikut ekskul modelling?"
"Ikutan apanya, diusir lah iya sama Bu Rumi. Heran gue sama tuh guru, kayaknya benci banget sama gue"
Nathan tertawa geli dengan keluhan sahabatnya, dalam pikirannya bagaimana tidak diusir jika gadis berwajah cantik itu hanya duduk disudut ruangan tanpa semangat mengikuti ekskul. Disaat jam pelajaran pun sama, Nathan yakin Alana adalah tipe gadis pemalas.
"Makanya jadi cewek yang lurus dikit, jangan kayak preman pasar biar gak diusir dari ekskul modelling"
"Ck! Lo mah gitu, tau sendiri gue ogah berurusan sama yang namanya modelling. Salahin nyokap gue lah!"
Alana terlihat mulai bersungut-sungut jengkel, kulit wajahnya yang putih bersih akan terlihat memerah seperti tomat. Sayangnya, ekspresi wajah Alana yang berubah-ubah tersebut adalah hal yang disukai Nathan.
Mereka mulai larut dalam percakapan kecil yang saling mengejek, tidak menyadari jika langit telah berubah gelap. Matahari ternyata telah pulang pada peraduannya, menyisakan langit gelap tanpa gemintang yang saling berkedip menyapa.
Nathan bangkit dari duduknya, tangan kanannya yang kekar terulur ke samping. Seolah sedang mengajak gadis disampingnya untuk segera pulang, dengan berat Alana meletakkan tangan kirinya diatas telapak tangan hangat yang selalu menuntunnya. "Udah yuk, balik. Udah malem, entar Om Angga nyariin"
"Iya Jonah bawel!" Nathan tersenyum tipis, pemuda tersebut selalu senang mendengar Alana memanggilnya 'Jonah'. Entah itu hanyalah panggilan untuk sekadar mengejek, atau memang panggilan sayang dari Alana, yang pasti Nathan ingin selalu mendengar panggilan itu dari mulut pedas Alana.
.
.
.
Motor sport Nathan terparkir sembarang di teras kediaman keluarga Hanggara, Alana sejak tadi berjalan malas-malasan layaknya siput. Kedua kakinya tiba-tiba terasa begitu lemas seperti jelly.
"Cepetan masuk Lan!"
"Gue males Jonah"
Kedua netra beriris gelap milik Nathan menajam, seakan pemuda tersebut tidak ingin mendengar penolakan atau alasan apapun dari mulut gadis yang sejak lima belas menit yang lalu masih berdiam diri didepan rumahnya.
"Kalian ngapain?"
Alana yang tengah diam terperanjat, sejak kapan pintu rumahnya terbuka dan menampakkan seorang wanita dewasa disana.
"Mama?"
"Kok gak diajakin masuk sih Nathan, Alana kebiasaan deh. Ayo Nathan, masuk dulu tante buatin minum"
Nathan tersenyum lebar mendengar perkataan ibu Alana, tanpa disuruh dua kali Nathan meraih tangan kosong Alana. Membawanya masuk kedalam rumah besar, berarsitektur Eropa yang kental disetiap sudut.
Pintu berukuran raksasa yang sengaja dicat berwarna pelitur menyapa mereka didepan, seakan memberikan jalan pada Nathan untuk membawa gadis keras kepala tersebut masuk.
"Jonah.." Alana berbisik sangat pelan, ketika melihat pasangan kekasih yang sore tadi mereka perhatikan dari atas gedung.
Mereka sedang duduk dengan beberapa buku yang berserakan diatas meja, hobby mereka adalah membaca buku. Tak heran, dari berbagai kesamaan menimbulkan getaran hati yang kuat membuat mereka saling mencintai.
Nathan mengeratkan genggaman tangannya pada Alana, mereka berjalan beriringan dan duduk disalah satu sofa empuk diruang tamu. "Luna"
"Alana, kamu baru pulang?"
Gadis itu mengangguk singkat pada saudari kembarnya, tersenyum selebar-lebarnya untuk mengatakan jika Alana selalu bahagia.
"Gue naik dulu, ganti baju bentar"
"Iya, udah sana lo bau!"
"Enak aja, lo tuh yang bau!"
Luna tersenyum melihat tingkah Alana saat bertemu dengan Nathan, mereka seperti kucing dan tikus, tetapi mereka sebenarnya saling menyayangi dan membutuhkan.
Diam-diam, tanpa mereka sadari Aksara memandang punggung kecil Alana yang semakin jauh tersebut dengan tatapan sendu. Ada perasaan berbeda yang terus menerus membuatnya tidak nyaman, ketika Alana tidak lagi memandangnya.
Dada Aksara sebenarnya sesak, tapi semuanya telah berubah. Sebanyak apapun penyesalan, waktu tidak akan berjalan mundur. Aksara hanya harus belajar menerima kenyataan, jika pemuda dingin tersebut telah membuat sebuah retakan pada porselen yang rapuh tersebut.
"Kamu kenapa, Sa?"
Seolah menyadari lamunannya, Aksara mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang sejak tadi ia tatap. Bukan rangkaian tulisan yang berjajar rapi tersebut yang menarik, tetapi pikirannya yang mengulang tentang kilasan balik cerita masa lalu dengan Alana yang telah retak karena kesalahannya.
"Enggak kok, udah malem. Habis ini aku pulang ya, Lun"
"Kamu istirahat yang cukup biar gak sakit lagi"
Luna tersenyum lebar, membalas perkataan Aksara kekasihnya sejak tiga bulan yang lalu tersebut dengan anggukan kecil.
"Benar, semuanya telah berubah" Gumam Aksara, seakan tengah meyakinkan diri sendiri untuk belajar melupakan Alana.
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius