webnovel

37. Menuju Baekan

"Gua cuman khawatir kalo si Bara itu bukan cowok baek-baek, Coy," ucap Danu dengan nada serendah mungkin. "Gua bukan maksud protes gimana, cuman yaaa aneh aja gitu, cowok model Bara yang ceweknya banyak, terus tajir lagi, ngapain dia tiba-tiba ngedeketin lu? Gua takut aja dia ada maksud tertentu sama lu."

"Jadi maksud lu, cewek miskin kayak gua gak pantes dapetin cowok tajir kayak Bara?" Pradita mengangkat sebelah alisnya.

"Bukan gitu, Coy. Gua ga pernah nyebut lu cewek miskin. Ah, udahlah. Sekarang mah gini aja. Gua gak akan mempermasalahkan hubungan lu sama Bara. Terserah lu aja, lu mau jalan sama cowok mana aja. Gua gak peduli. Lu udah gede. Lu bisa urus diri lu sendiri."

Danu menyerah. Ia tidak akan menjelaskan apa-apa lagi. Ia bangkit berdiri.

"Nu!" panggil Alisha. Ia ikut berdiri dan menarik tangan Danu. "Lu jangan pergi dulu, Nu."

"Udah lah, Al. Gua gak mau ribut-ribut terus kayak gini. Percuma gua ngomong apa juga selalu jadi salah. Diem salah, ngomong salah. Gua cabut aja, Al."

"Danu! Gua gak mau kalian sampe bermusuhan! Sumpah gua gak mau! Kalian itu sahabat dari orok. Masa gara-gara cowok, lu berdua sampe ribut gini? Cetek amat pemahaman kalian sebagai seorang sahabat?"

Danu menyerah dan kemudian kembali duduk di kursinya. Ia melipat tangannya di dada sambil memberengut.

"Yang namanya sahabatan itu harus mau saling mengalah dan menerima," nasehat Alisha. "Kalau kalian ribut-ribut terus kayak gini, terus siapa yang mau ngalah? Kita kan udah sama-sama dewasa. Ayo dong, Dit, Nu. Kalian baikan ya. Gini aja, biar adil. Pradita lu gak usah maen lagi sama Bara. Kalo emang lu pacaran sama dia, lu putusin sekarang juga. Terus lu, Danu. Lu, jauhin tuh si Arini. Lu gak usah ngarep-ngarepin lagi cewek itu. Oke? Kalian berdua bersahabat dan udah, gak usah ada orang lain yang ganggu-ganggu lagi. Setuju gak?"

Danu dan Pradita sama-sama terdiam. Mereka tidak mengatakan apa pun. Alisha mengangkat alisnya. "Gak ada yang setuju?"

"Nah, makanya. Nu, lu disuruh jauhin Arini gak mau kan? Lu juga, Dit. Lu disuruh putus sama Bara juga gak mau kan. Itulah kenapa setiap orang punya hak dan kebebasan masing-masing. Danu, lu gak usah protes lagi soal Bara ke Dita. Begitu pun sebaliknya. Dita, lu gak usah protes si Danu jalan sama Arini."

"Anjir! Gua gak pernah ya protes urusan dia sama Arini!" seru Pradita penuh emosi.

"Iya, iya. Gua kan cuman meluruskan aja, Dit," ucap Alisha sambil memajukan dagunya. "Lu santai dikit, kenapa sih?"

Pradita mendengus kesal. Danu jadi merasa semakin bersalah. Memang sejak awal, ia yang bersalah. Seharusnya ia jangan mendekati Pradita saat ia dan Bara sedang makan di Hopefully.

"Udah deh. Sekarang mendingan kalian saling bilang maaf. Terutama lu, Nu. Lu musti bilang maaf duluan. Sok cepet bilang," perintah Alisha.

Danu berdeham. Ia kemudian mengulurkan tangannya. "Maafin gua." Susah payah ia menyetel cara bicaranya ke mode santai. Ia masih agak ngegas dan hal itu membuat Pradita bergeming.

"Dit, buruan baekan sana," desak Alisha.

"Lu liat kan. Dia tuh gak rela bilang maafnya juga. Gua gimana mau maafin dia coba?" Pradita mengernyit ke arah Alisha.

"Ya udah lah. Pokoknya dia udah bilang maaf. Sana gih kasih tangan." Pradita masih juga diam. "Cepeeeettt!!!" geram Alisha.

Akhirnya, Pradita mengulurkan tangannya dan menggeplak telapak tangan Danu. Hati Danu teriris dengan sikap Pradita yang sampai sebegitu kasar padanya. Namun, Danu sadar kalau ia memang bersalah pada Pradita.

"Dita, ih lu mah gitu amat sih?" Alisha mendorong bahu Pradita.

Danu menarik kembali tangannya dan menunduk.

"Udah biarin, Al. Dia pasti masih kesel sama gua," ucap Danu. Lalu ia menatap Pradita. "Coy, gua minta maaf ya. Gua gak akan ngurusin lagi urusan lu sama Bara. Gua yang salah karena udah ngeganggu lu sama dia pas di Hopefully. Padahal lu sendiri gak pernah ngelarang-larang gua buat deketin Arini. Maafin gua ya, Coy."

Danu jadi canggung. Ia mengangguk kemudian bangkit berdiri. "Gua pamit dulu ya. Dadah. Al, gua duluan ya."

Danu berjalan menuju ke loker dan mengambil tasnya. Anak kelas sepuluh yang sedang berkutat dengan buku kamus melirik ke arahnya dengan tatapan penasaran. Tak ketinggalan Pak Idan yang menautkan alisnya.

"Danu, gak pinjem buku?" tanya Pak Idan.

"Gak, Pak. Saya permisi dulu."

Danu melangkahkan kakinya keluar dari perpustakaan. Hatinya hancur lebur. Pradita tampak seperti yang memusuhinya. Sahabatnya itu jelas-jelas membencinya. Danu menyesal karena telah bersikap seperti itu padanya.

Pradita sudah dewasa. Ia berhak memilih siapa saja untuk menjadi kekasihnya. Danu tidak punya hak untuk mengganggu pilihan Pradita.

Kakinya melangkah gontai menuruni tangga dan kemudian berjalan cepat menuju ke pintu gerbang. Syukurlah. Muncul angkot dengan cepat. Ia melihat jam tangannya, sudah pukul empat sore.

Desta pasti sudah pulang duluan. Ia langsung saja naik ke dalam angkot dan duduk di kursi paling dalam. Ia memeluk tasnya sambil mendesah. Badannya yang capek jadi semakin lemas karena ia merasa gagal berbaikan dengan Pradita.

Sang supir tidak segera maju. Angkot itu masih saja nangkring di depan sekolah. Dari dalam sekolah muncullah Pradita dan Alisha yang berlari tergopoh-gopoh dan kemudian Pradita menggeplak badan angkot dengan tangannya.

Pradita masuk ke dalam angkot dan kemudian melambaikan tangannya ke arah Alisha.

"Dadah, Alisha!" seru Pradita.

Alisha melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. Danu menoleh ke jendela ke arah Alisha yang mengangkat jempolnya. Ia melebarkan matanya, tak percaya melihat wujud Pradita di dalam angkot yang sama dengannya.

Lalu, angkot pun bergerak maju. Pradita menggeser badannya dan duduk tepat di hadapan Danu. Mereka saling curi-curi pandang dihiasi rasa canggung. Pradita membuka jendela di belakangnya sambil mengatur napasnya yang terengah-engah sehabis berlari tadi.

"Ngapain lu liat-liat gua kayak gitu?" tegur Pradita membuat Danu agak tersentak.

"Gak. Biasa aja."

"Lu maen pergi aja sih? Lu gak mau pulang bareng lagi sama gua?" protes Pradita.

"Mau. Eh, maksud gua … Kenapa lu mau pulang sama gua? Gua pikir lu masih marah sama gua."

Pradita mengerucutkan bibirnya. "Udah, udah. Gua gak mau marahan lagi sama lu. Tau gak, ni tenggorokan gua kayak ada yang ganjel tiap kali gua ngomong sama lu, Cuk. Ini mata gua kedut-kedut tiap kali gua liat muka lu. Kesel gak coba? Padahal kita temenan udah lama, tapi udah kayak ketemu alien aja. Heran gua."

"Ya, kan lu yang ngejauhin gua," ujar Danu memasang wajah polos.

"Iya lah. Gua kan kesel sama lu."

Danu mendesah. "Jadi, lu masih kesel sama gua?"

下一章