webnovel

Bagian 14

Ada apa dengan hatinya? Tersenyum secara tiba-tiba hanya karena ucapan selamat pagi, terlihat jelas murahan dirinya. Harusnya tidak boleh terjadi tapi tidak bisa melawan perasaan yang semakin hari terus meminta untuk menampilkan bahwa ia sedang jatuh cinta, mungkin. Erik segera menggelengkan kepala, mengusir sesuatu yang telah mengganggu pikiran. Menyimpan kembali ponselnya lalu bersiap-siap turun.

"Ini Pak, ambil aja kembaliannya." Erik memberikan uang seratus ribu pada supir taksi. Pukul dua belas siang memilih keluar dari apartemen, tidak memakai kursi roda, hanya tongkat yang ia bawa sebagai alat bantu. Rasanya Erik sudah bosan diam, bekerja dari rumah. Ia butuh udara seger dari luar, butuh cahaya matahari untuk tubuhnya.

"Terima kasih Mas,"

Supir taksi membantu Erik turun, menawarkan diri untuk membantu Erik masuk ke dalam sana. Sayangnya Erik menolak, ia bisa berjalan dengan kakinya yang semakin hari mulai membaik.

"Pak Erik?"

"Hai ..." Erik menyapa melemparkan senyuman hangat sembari berjalan pelan-pelan.

"Kursi rodanya mana Pak? Biar saya bantu,"

"Nggak perlu. Saya bisa, apa kabar kalian?" tanya Erik basa-basi.

Erik berada di sebuah kafe, kafe ini adalah miliknya. Erik mencari uang dari hasil balapan dan kafe, sudah tiga tahun ia membangun kafe ini. Sama halnya dengan Fre— kembarannya, ia juga menjelajahi dunia bisnis.

"Baik Pak, kita kaget banget. Pak Erik sudah sehat?"

"Sehat. Tinggal terapi kaki aja, kafe aman kan selama saya tinggal?"

"Iya Pak, aman. Kita selalu laporan lewat email."

Erik tahu. Hampir satu tahun ia meninggalkan kafe ini, ada kerinduan yang tersirat. Seketika ia menyadari satu hal, Tuhan memberikan satu kesempatan untuknya. Salah satunya masih diberi kesempatan berjalan kembali, bernapas dan sebentar lagi kembali bekerja. Keadaan kafe sangat ramai hari ini, Erik merasa lega. Selama ini ada sahabatnya bernama Erika yang mengelola kafenya.

"Rud buatkan saya kopi ya, tolong,"

"Iya Pak,"

Erik pelan-pelan melangkah ke salah satu meja, ia ingin duduk sebentar sembari menikmati suasana kafe. Erik mendesain kafe ini sesuai keinginan Meja kafe Dengan Kursi Gantung, ada perpustakaan besar, di sana semua jenis novel tersedia. Ide perpustakaan dari kepala Erik mengingat minat baca dinegara kita sangat rendah, Erik berinsiatif membuatnya agar pengunjung tak hanya menikmati kopi saja tapi sesekali bisa menikmati bacaan.

"Rik,"

Erik mendongak, tersenyum hangat. Kebetulan sekali bertemu di sini.

"Hai Om," Erik mencoba menyapa balik.

"Sudah sembuh?"

"Belum, masih proses penyembuhan."

"Inilah kenapa Om tidak menyetujui hubungan kalian kondisi kamu saja seperti ini, mau dikasih makan apa nanti anak Om. Pekerjaan pembalap tidak akan bisa memenuhi kebutuhan, saran Om ... Berhenti main balapan, masa depanmu masih panjang."

"Oh ya, maafkan saya ..." ucap Erik. Memang susah kalau ada keluarga mementingkan uang dibanding kemanusiaan, Erik juga biasa-biasa saja setelah ditinggalkan Anara.

"Anara sudah menikah, sedang hamil satu bulan, suaminya sekarang lebih tanggung jawab. Gimana ya, dalam pernikahan kalau cuman modal cinta nggak cukup."

Erik masih terdiam cukup lama lalu segera mengucapkan selamat atas pernikahan mereka, Erik tidak tahu sama sekali padahal kalau tahu berniat datang melihat langsung pernikahan mantan kekasihnya.

"Om permisi, semoga cepat sembuh,"

"Thanks ..." balas Erik langsung bernapas lega akhirnya papa dari mantan kekasihnya tak terlihat lagi di hadapannya, mendengar mantan kekasih lebih dulu menikah cukup membuat Erik terkejut bahkan kehilangan selera menikmati kopi buatan barista kafenya. Sial, ia sekarang sama seperti Gendis. Ditinggal nikah oleh mantan kekasihnya.

Ada perasaan sedih ternyata, apalagi kata-kata papa Anara sangat memojokkan Erik sebagai pria. Tak perlu ada yang mengajarinya, sebelum memutuskan menikah tentu ia harus siap dalam segi ekonomi. Sayangnya papa Anara terlalu menyepelekan Erik.

Tak lama kemudian karyawan Erik memberikan satu cangkir kopi Ristretto, aromanya menyeruak indera penciuman. Kopi Ristretto sama seperti ekspresso hanya saja menggunakan air lebih sedikit, Ristretto jauh lebih membuat Erik tenang dibanding ucapan papanya Anara.

"Pak mau buat cemilan?"

"Nggak deh, lagi nggak pengin." jawab Erik pada karyawan yang kembali menawarkan makanan.

Menyeruput kopi miliknya sembari memperhatikan pengunjung menjelang siang. Suara musik dari penyanyi terkenal kembali terdengar ditelinga Erik.

"Hai!"

Erik tersenyum. "Miss you ..."

"Miss you too! Gila kamu ya, datang nggak kasih kabar. Aku barusan ditelepon Arman tuh,"

Erik terkekeh. "Sori Rika .. "

Erika memeluk Erik dari samping, sahabat sekaligus sepupunya ini selalu ia doakan agar cepat kembali karena ia merasa tidak bisa menangani sepuluh kafe milik Erik. "Capek ngurus kafe, gantian lah,"

"Senin mulai masuk."

"Yakin?"

Erik mengangguk. Ia merasa kondisinya semakin membaik, tentu ia akan bicara dengan dokter terlebih dahulu. "Bawa mobil?"

"Bawa,"

"Antar saya pulang," pinta Erik

"Siap Pak bos, tunggu sebentar ..." Erika bangkit meninggalkan Erik sebentar untuk mengataskan pada karyawan, ia akan keluar mengantar Erik pulang.

***

Gendis tersenyum hangat ketika kembali ke Jakarta, ia masih menggendong gadis kecil anak dari Ami dan Anggara. Karena seringnya diam di rumah mereka membuat Gendis insiatif ikut menjaga gadis kecil bernama Aurora. Untungnya Ami langsung memperbolehkan, berterima kasih karena Aurora ada yang menjaga.

"Aurora panggil Mbak lagi dong," pinta Gendis

"Mbak ..."

Gendis terkekeh. Menggemaskan apalagi Aurora memiliki tubuh yang sintaldan rasanya Aurora menjadi penyembuh untuk lukanya, Ami dan Anggara memperlakukan Gendis sangat baik bahkan setelah ini mereka tetap membawa Gendis ke Surabaya. Kata Ami, mental Gendis belum bisa dikatakan membaik. Setelah sampai di apartemen Fredella, Gendis akan izin pulang bertemu dengan bude.

"Mas?"

Gendis ikut menoleh padahal bukan memanggil dirinya, mereka baru saja sampai apartemen hendak masuk ke dalam lift tapi tak sengaja bertemu Erik di sini. Senyum Gendis berubah, ada sosok perempuan di samping Erik.

"Erika, Erik?" Anggara mendekati keduanya. "Kamu belum sembuh, Rik."

"Bosan di apartemen, ada Erika tenang aja." jawab Erik

Erika menyapa mereka, tak lama karena harus kembali ke kafe. "Balik dulu Mas," pamit Erik pada Anggara.

"Iya, hati-hati Rika. Terima kasih,"

"Santai saja Mas," Erika melambaikan tangan sebagai tanda Perpisahan.

Sedangkan Gendis masih setia menggendong Aurora. Baru saja ditinggal beberapa minggu saja Erik sudah mendapatkan perempuan lain, ah, memang benar pria mudah sekali berpaling. Gendis segera menggeleng, menghilangkan pikiran tentang Erik. Harusnya sadar bukan siapa-siapa, Gendis terlalu berharap.

"Kok nggak mau bantuin?" Erik menahan tangan Gendis.

Gendis menoleh. "Lagi bawa Aurora, Mas sekarang sudah bisa jalan."

"Belum lancar, tunggu dong. Kalau saya jatuh gimana?"

"Jatuh kan ke bawah," sahut Gendis santai. Sayangnya Aurora harus kembali pada mamanya karena Ami yang meminta agar Gendis membantu Erik.

"Kita duluan, kalian pelan-pelan aja."

"Mas tunggu Mas," Gendis panik meminta Anggara menunggu mereka sayangnya pintu lift sudah tertutup artinya Gendis harus menunggu giliran.

"Biarkan saja, Ndis." ucap Erik

Gendis mengangguk. Mereka jalan saling beriringan, Gendis memperhatikan setiap langkah Erik dengan suasana hati tidak tenang takut tiba-tiba Erik terjatuh. Erik membuktikan ucapannya kalau sekarang kakinya sudah sangat membaik, bisa diajak jalan.

"Eh, eh ... Aduh,"

"Mas!" Gendis panik segera meraih lengan Erik.

"Tapi bohong." Erik tersenyum santai tanpa merasa bersalah, Erik baru saja pura-pura hampir terjatuh. "Lagian kamu bengong mulu,"

"Jailnya nggak hilang. Nyebelin,"

"Betah di Surabaya?"

"Iya," jawab Gendis.

"Kamu nggak kangen saya?" tanya Erik tiba-tiba.

Gendis belum menjawab, melainkan menyuruh Erik agar segera masuk. Lift mereka sudah datang. Gendis tentunya rindu tapi malu jika mengatakan kerinduannya pada Erik. "Hati-hati Mas," tangannya masih menekan tombol agar pintu tidak tertutup secara otomatis, Erik berjalan sangat pelan.

下一章