Sore harinya, Mona bercerita kepada keluarganya tentang rencana mencari kedelai. Eka mengerutkan kening dan berpikir sejenak, "Rena, pergilah bersama Mona. Nanti kakak akan menyusul kalian jika kakak sudah selesai. "
Empat orang bersaudara ini berangkat bersama dari rumah. namun mereka berpisah di tengah jalan. Eka dan Rano terus melangkah maju. Mona bersama Rena mengumpulkan kedelai. Namun, kedelai tersebut tidak lagi segar, Sebagian hampir busuk dan sebagian lagi sudah hampir bertunas. Tapi tidak apa, kedelai itu masih layak dikonsumsi.
Eka dan Rano tidak mendapatkan banyak ubi dan kentang hari ini. Ladang tempat mereka mencari sisa ubi dan kentang sudah ditanami ulang oleh pemiliknya. Jadi, mereka tidak bisa lagi membongkar tanah untuk mencari ubi dan kentang sisa panen.
"Kakak" Mona melihat sosok dua kakaknya dari jauh, dan melambai pada mereka berdua. Rano mendatangi dua adiknya, mengatakan jika ia sudah selesai mencari ubi dan kentang.
Mona bertanya-tanya mengapa mereka berdua kembali begitu cepat, "Kak, apakah kalian sudah mengumpulkan ubi dan kentang?"
Rano kemudian bercerita tentang tanah ladang yang telah dibajak dan ditanami bibit oleh pemiliknya. Keempat bersaudara tersebut kemudian sepakat mencari kedelai hari itu. Sore itu mereka berhasil mengumpulkan setengah kantong kedelai dan merasa setengah kantong itu sudah cukup untuk dibawa pulang.
Setelah pulang ke rumah, Eka kembali untuk mengumpulkan jerami dan ranting, jika tidak, maka tidak akan ada api untuk memasak kedelai yang telah mereka kumpulkan. Sementara itu, Mona dan Rena memilah biji kedelai yang mereka kumpulkan hari ini. memisahkan yang sudah bertunas dan menyisihkannya di lantai.
"Kak, ayo kita rendam kedelai yang sudah bertunas ini dalam air. Kita akan memakannya nanti malam" Mona bosan memakan kubis, jadi ia ingin makan tauge hari ini.
"Oke, kita rendam dan kita jadikan menu makan malam nanti."
Bersama Rena, Mona pergi mengambil air. Mona tak menyadari betapa pendek tubuhnya saat tubuhnya saat itu jika dibandingkan tubuhnya di kehidupan sebelumnya. Bahkan, tingginya saat ini hanya setengah tinggi tangki air.
Mona mengambil segayung air dan menghampiri kakaknya, "Kak, bisa bantu aku? Aku tak bisa menggapai tangkinya."
Rena paham jika adiknya itu memang masih kecil. Ia mengambil gayung dari tangan Mona, tersenyum, dan mengelus kepala adiknya. "Mona, kamu akan menggapai tangki air itu tahun depan, kamu akan bertambah tinggi nanti."
Ketika Rena keluar untuk mengambil air, Mona mengikuti dari belakang, tetapi saat mereka hendak keluar mengambil air, mereka melihat kakeknya di ambang pintu, "Mona, Rena, lihat kakek bawa sesuatu untuk kalian. Bolehkah kakek masuk?".
Kakek masuk dan mengeluarkan segenggam biji kacang dari sakunya. "Mau?" Rena sedikit terkejut.
Kakek memasukkan segenggam kacang di saku jaket Mona dan Rena, "Apakah kalian jadi anak pandai di rumah?" Kakek menggendong Mona dengan penuh kasih sayang.
"Kek, apa yang kakek pegang itu?" Mona sedikit penasaran dengan apa yang dipegang Kakek, sebatang kayu putih yang bengkok.
Kakek Dirjo mengangkat sebatang kayu putih yang ditanyakan Mona, menunjukkannya tepat di depan mata Mona "Ini adalah alat untuk memanen beras ketan, khusus digunakan untuk memanen padi jenis ketan sehingga kita bisa memanen dengan lebih mudah dan cepat."
Mona mencoba alat itu. Ia menggerakkannya. Alat itu bisa mengapit batang padi dan memotongnya. Alat yang sangat sederhana tapi benar-benar membantu pekerjaan kakek.
"Kek, apakah kalian semua akan memanen di ladang hari ini?" Rena bertanya.
"Ya, hari ini, kita yang sudah tua memanen sayuran. Ibumu memilih ikut memanen ketan, dan ia memberiku ini. Ketan yang kempis yang tidak laku dibawa tengkulak." Dirjo memang bangga dengan menantu perempuannya, tetapi istrinya tidak. Istrinya suka meremehkan orang lain, termasuk menantunya yang satu ini.
"Mona, Rena, kakek harus pulang, jika tidak, akan jadi masalah jika nenek kalian melihat kakek disini. Kalian berdua tetap di rumah, jangan bermain api, ibumu dan ayahmu akan segera pulang."
Kakek mencium wajah kecil cucunya, menyentuh benjolan besar di belakang kepala Mona dan menurunkannya dari gendongan. Kakek menghela nafas panjang sebelum melangkah ke rumahnya.
Melihat punggung kakek berjalan keluar dengan tangan menyilang di punggungnya, Mona tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kakak, mengapa kamu mengatakan bahwa kakek akan menikahi ibu kita saat itu? Saya pikir kakek lebih baik daripada nenek."
Rena menyeringai dari samping. Mona menggelengkan kepalanya ketika, "Aku tidak tahu, tapi menurutku kakek kita baik, jauh lebih baik daripada nenek kita." . Anak-anak selalu berpikir lugu dan sederhana. Siapa yang baik kepada mereka sudah dianggap sebagai orang yang sayang dengan mereka.
Setelah kakek pergi, Eka dan yang lainnya kembali dari mengais jerami dan ranting. Sebelum sampai halaman, Rano sudah berteriak.
"Kak Rena kami pulang, kemari dan bantu kami."
Rena bergegas keluar untuk membantu Rano meletakkan sekeranjang jerami di halaman. Mona juga mengikuti. Melihat kedua bersaudara itu kelelahan, mereka mungkin lapar. Mereka sudah remaja sekarang. Sepotong kue seukuran telapak tangan tak mungkin cukup membuat mereka kenyang.
Mona berjalan ke sisi Rano sambil tersenyum, mengeluarkan isi sakunya dan menyerahkannya kepadanya, "Kak, ini ada makanan untukmu."
Reno tidak tahu apa yang diberikan adiknya kepadanya. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambilnya, dan yang dia lihat adalah kacang mede yang lezat, matanya yang besar tiba-tiba berbinar.
"Dari mana kamu mendapatkannya?"
Rena melihat sekeliling dan berbisik, "Itu diberikan oleh kakek. Masuklah ke rumah dan makanlah. Jangan sampai ada yang tahu."
Kedua anak itu tahu betul, jika tidak ada orang yang boleh tahu jika kakek datang. Rena kemudian mengeluarkan segenggam kacang mede miliknya dan memberikannya pada Eka.
"Kak, kakak pasti lapar. Makan kacang ini untuk mengganjal perut. Nanti ketika ibu sudah kembali, ibu pasti akan memasakkan makanan yang lezat untuk kita."
Eka berkata malu-malu, "Ayo makan bersama, kalian juga lapar." Setelah mengatakan itu, dia mengambil nasi ketan yang juga diberikan kakeknya tadi, menyuapkan segumpal ketan ke mulut adik-adiknya. Rena tersenyum lebar dan membuka mulutnya.
Rena kemudian menolak suapan kedua. "Kak, kakak adalah kakak laki-laki yang harus bekerja keras. Makanlah kak, aku tidak lapar. Aku akan memasakkan makanan enak untukmu nanti."
Rano tidak mau kalah, ia menyuapi Mona. Tapi, adiknya itu hanya mau makan satu suapan. "Kak, aku harus menyisakan ruang di perutku untuk makan malam nanti. Kakak bisa makan sisanya. Nanti, jika aku sudha menjadi orang sukses, aku akan membelikan kakak makanan enak setiap hari."