Ini adalah pertama kalinya nenek melihat kemarahan di mata dua anak remaja ini. Ini adalah pertama kalinya pula ada anggota keluarga yang berani menantang otoritasnya di depan umum.
"Kalian berdua bajingan, apa yang saya katakan? Kalian berani bertingkah di depan nenek. Tidak ada tuan di rumah ini. Saya yang paling kuasa, jadi kenapa aku harus takut dengan kalian?" Meskipun nenek berkata demikian, dia benar-benar tidak punya nyali untuk memukuli kedua cucunya. Namun, tetap saja ia mengeluarkan ancaman untuk menutupi ketakutan.
"Nenek, kamu benar-benar nenek yang baik, aku ingat cintamu hari ini, Bu, ayo kita kembali ke rumah."
Dua remaja itu berusaha membawa ibunya masuk ke dalam rumah. Namun, langkah mereka dihentikan oleh sang nenek.
"Tunggu, ini bukan rumahmu lagi. Dimana kamu akan tinggal saat dewasa nanti? Ketika sudah menikah? Tidak ada tempat untukmu disini. Kamu harus membayar jika kamu ingin tinggal disini."
Kata-kata nenek membuat tetangga ikut merasa panas. Kata-katanya terlalu kejam. Tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan keluarga jika memang tidak bisa hidup bersama dalam satu rumah. Bahkan, jika tidak ada tumpangan untuk tinggal, akan tetap ada jalan yang lebih baik dibandingkan menghina dan menyiksa. Musim saat ini sering terjadi hujan dan badai, dimana keluarga Mona akan tinggal jika harus diusir paksa.
"Nenek, Anda adalah orang baru disini. Jika Anda tidak pandai membawa diri, bukankah Anda akan merendahkan martabat anak Anda di lingkungan ini?", seorang tetangga angkat bicara setelah tak tahan dengan kekejian nenek.
Nenek tetap saja dengan pendiriannya, tanpa rasa iba ataupun bersalah. " Kamu berpikir aku akan membuat Dewi dan keluarganya sengsara sampai mati? Kamu tak pernah tahu kondisi keluarga kami. Rumah kami hanya memiliki 4 kamar, jadi bagaimana bisa ada tempat tinggal untuk mereka? Belum lagi jika anak-anaknya sudah dewasa, kami tidak mungkin bisa membiarkan mereka semua tinggal dalam satu kamar. Jika kamu memiliki kamar kosong di keluargamu, silahkan persilahkan mereka tinggal. Berhenti bicara, ajak mereka tinggal di rumahmu jika melihat mereka diusir membuatmu tak tega."
Tetangga yang berusaha membela keluarga Mona terdiam, ia tak tahu lagi harus bicara apa. Nenek memang benar, setiap keluarga memiliki rumah dengan beberapa kamar, pun demikian dengan keluarganya. Namun, ia memiliki banyak anak sehingga tidak ada tempat untuk Mona dan keluarganya.
"Bu, tidak apa-apa jika kami harus pindah. Tapi bu berikan kami bahan makanan atau setidaknya sedikit uang. Anak-anak juga harus tetap makan, bukan?".
Dewi mengerti jika ibu mertuanya ingin ia pergi dari rumah. Tapi, karena ia harus membawa serta anak-anaknya, Dewi berusaha membuang harga dirinya dan mengiba. Jika tidak, apa yang akan dimakan anak-anaknya nanti.
"Rano, masuk ke rumah dan panggil ayah. Tak peduli bagaimanapun sikapnya, ia tetap seorang kepala keluarga yang harus bertanggung jawab dengan nasib keluarganya", perintah Eka.
Kakak tertua Mona ini memerintah tanpa persetujuan Dewi. Meskipun Dewi marah dengan keputusan Eka, Ia tidak bisa berkutik. Dewi tahu benar siapa sosok suaminya itu. Ia sangat membenci suaminya karena ketika ia dan anak-anaknya disakiti, sang suami justru asyik tidur di kamarnya. Dewi tidak bisa mengampuni suaminya, saat keluarganya di ambang kehancuran, ia justru asyik menenggak minuman, mabuk, dan tak peduli dengan nasib keluarganya.
Rani bergegas masuk ke rumah memanggil ayahnya. Restu yang masih tertidur dengan pikiran setengah sadar dibangunkan oleh anak keduanya. Ia sedikit bergumam, tak rela istirahatnya diganggu.
"Ayah, cepat bangun. Ibu dan adik sedang dihajar nenek dan bibi. Kita juga akan ikut mati jika tidak segera pergi. Nenek tidak akan membiarkan kita tinggal di rumah".
Ketika Restu mendengar bahwa istri dan anaknya telah dipukuli oleh orang lain, dia segera membenarkan kancing bajunya dan berlari keluar. Ketika dia tiba di halaman, dia melihat tubuh istrinya sudah dipenuhi luka dan putri kecilnya menangis.
Restu menghampiri istri dan anakya. Dengan pelan, ia menyentuh kepala putrinya. "Ah, Sakit", teriak kecil Mona menggema di halaman.
Dewi dengan cepat menurunkan Mona, ia menunjukkan benjolan sebesar telur di bagian belakang kepala Mona. Seketika air mata Dewi berderai, ia
"Sayang, beritahu ayah siapa yang mengganggumu, aku akan membalasnya untukmu."
"Ah, sakit." Suara pembunuh babi Mona bergema di halaman.
Dewi dengan cepat menurunkan Mona dari gendongannya. Ia menunjukkan bagian belakang kepala Mona yang terluka. Benjolan hampir seukuran telur di kepala Mona, benjolan ini membuat Dewi semakin sakit hati, air matanya mengalir. Mona memanggil ibunya, merintih sakit, dan keduanya menangis bersama mengingat penyiksaan dan hinaan yang baru saja mereka terima.
Tangisan Mona menyentuh hati Restu. Emosinya melonjak dan makin meninggi setelah mengetahui luka lebam di tangan Mona. Matanya yang merah tiba-tiba saja melotot, memandangi semua orang yang ada di halaman rumah sambil menggertakkan gigi. "Siapa yang berani menindas istri dan anak-anakku? ".
Para tetangga yang semula hanya menjadi penonton tidak berani bicara. Sebagai jawaban kemarahan Restu, mereka hanya memandangi Mulan dengan rasa jijik. Mereka tak pernah habis pikir bagaimana hati seorang wanita bisa tega memukuli sesama wanita dan juga anak kecil.
"Ayah, aku dan ibu dipukuli bibi, Luka di tanganku ini dicubit nenek". Mona bercerita dengan gaya lugu, khas bocah yang tidak lagi peduli jika nenek yang diadukannya kepada sang ayah sudah berusia 71 tahun. Yang ada dipikirannya, keluarga yang ada di hadapannya tidak lebih dari sekelompok pembunuh.
Ketika mendengar putrinya memberi tahu mereka tentang kekejaman saudari dan ibunya, Restu masih setengah mabuk. Ia masih sedikit terlena dengan dunia tenang yang diciptakan alkohol.
"Bu, kakak, apa yang sudah kalian lakukan? Bukankah hubungan kalian baik-baik saja tadi siang? Lalu, mengapa kalian menyiksa istri dan anakku ketika aku tidur? Kalian ini memalukan."
Restu bersikap tegas dengan ibu dan saudara perempuannya. Ia tak habis pikir jika ibu dan kakaknya bisa bertingkah keji dan kekanak-kanakkan, padahal usia mereka tak lagi muda. Tapi, bagaimanapun mereka adalah dua orang tetaua di keluarga, Restu tidak bisa berbuat banyak selain menegur.
"Kamu bajingan, dengarkan saja kelinci kecilmu berbicara omong kosong, mengapa kamu tidak tanyakan bagaimana dia berani memukul kakakmu, dan anak-anakmu yang lain, mereka sudah lebih dewasa, bisa saja mereka melakukan hal yang lebih berbahaya. Mereka bisa saja menghalalkan cara untuk menguasai hartamu. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mendidik anak-anakku, aku tidak tahu bagaimana cara menghukum agar mereka jera dan tidak berlaku seenaknya", wanita tua itu masih bertingkah sombong meski jelas-jelas situasi sudah menyudutkannya.
"Restu, anakmu kesakitan. Ayo bawa dia ke rumah sakit, jika tidak ia akan semakin kesakitan."
Dewi tidak lagi peduli dengan luka-lukanya. Ia berlari dengan Mona yang masih berusia 3 tahun dalam pelukannya, dan kedua anak tertuanya berlari membuntuti Dewi.
Restu tahu apa yang terjadi di rumahnya. Ia tahu jika Dewi tidak memiliki uang. "Bu, tolong beri saya uang secepatnya. Ibu bisa bayangkan bagaimana jadinya jika nanti saya tidak sanggup membayar pengobatan Mona".
"Memangnya apa yang akan terjadi pada Mona? Jangan bercanda, Ibu tidak memiliki uang. Kamu bisa mencari pinjaman, kan?"
Wanita tua berkata dengan wajah cemberut, nadanya terlihat kesal, namun masih khas dengan gaya sombongnya. Restu merasa hidupnya sangat pahit. Tidak peduli seberapa keras ia sudah bekerja untuk membahagiakan sang ibu selama ini, namun hasil keringat dan usahanya selama ini hanya diremehkan, ibunya bahkan tega melihat ia dan anak istrinya menderita.
"Bu, jika memang harus meminjam, tidak bisakah saya meminjam uang ibu saja? Mona sedang menunggu tindakan dokter karena kendala administrasi."
Ibu Restu, Minah mengajak dua putrinya masuk ke rumah, tanpa melihat ke arah Restu. Sudah jelas ia begitu mengabaikan kehidupan anaknya.
"Restu, ikut ke rumah ibu, ibu ada sedikit uang. Gunakan untuk pengobatan Mona", wanita tua yang tinggal di samping rumah restu itu menawarkan bantuan.
"Bibi, terima kasih". Restu sedikit terbata saat berterima kasih. Lidahnya tercekat karena terisak. Hati kecilnya menjerit karena ibunya tak peduli.
Setelah mengambil uang dari rumah bibi, Restu bergegas ke rumah sakit. Dia ingin menampar dirinya sendiri beberapa kali dalam perjalanan. Jika bukan karena kakak dan adiknya yang membujuknya untuk minum hari ini, hal seperti ini tidak akan terjadi. Apa yang terjadi pada Mona sekarang adalah bagian dari kesalahannya.