Begitu posesif. Dalam benak Sandra, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Nico memiliki sifat seperti ini. Ia mengira pria dewasa yang sombong dan dingin seperti dirinya tidak akan mudah terpengaruh dengan masalah sepele seperti ini.
"Huh, baiklah.. antar saja jika kamu memang bersikeras. Aku tidak keberatan." Sandra menghela nafas panjang. Merasa tidak ada gunanya untuk menolak. Ia mengganti sepatunya, berjalan keluar, dan melemparkan tas ransel di tangannya kepada Nico dengan santainya.
Nico menangkap tas yang terbang ke arahnya. Untungnya, ia memiliki reflek yang cepat, kalau tidak tas itu akan mendarat tepat di wajahnya. Gadis ini, benar-benar memperlakukannya sebagai budak! Posisi mereka telah bertukar. "Cepatlah, aku akan terlambat." Sandra berdiri di pintu masuk lift, sementara Nico masih kerepotan mengunci pintu kamar.
Sosok tinggi Nico dan sosok mungil Sandra berjalan berdampingan keluar dari gedung apartemen. Perbedaan tinggi diantara keduanya begitu jauh dan terlihat kontras. Bahkan jika Sandra mengenakan sepatu hak tinggi, dia hanya bisa mencapai bahu Nico. Mulut gadis itu cemberut, ia merasa seperti kurcaci kecil jika berjalan berdampingan dengan pria raksasa ini. Dia menjaga jarak dengan diam-diam dan tidak berani untuk terlalu dekat.
Nico melihat Sandra sengaja menjauh darinya. Pada saat yang sama, dia juga memperhatikan sosok Leo di dekat pagar. Tidak heran jika Sandra tiba-tiba menjaga jarak darinya. Semua karena anak itu. Secara reflek, Nico meraih bahu Sandra dan menariknya mendekat. Kekuatan Nico membuat Sandra kehilangan keseimbangan, dan dia tersandung ke pelukannya.
"Aku tidak bisa berjalan kalau begini caranya!", protes Sandra. Ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pria di sampingnya. Mungkin dia menyadari upaya Sandra untuk menjauhinya tadi. Meski begitu, memang apa salahnya untuk menjaga jarak sedikit, apalagi ketika di tempat umum. Kenapa pria ini selalu ingin menempel padanya, benar-benar lengket seperti lem.
Nico tidak peduli, dia hanya ingin menunjukkan kepada bocah yang bernama Leo itu bahwa Sandra adalah miliknya dan tidak ada yang bisa mengambilnya.
Ketika melihat dua orang yang jalan secara berdampingan itu, tangan Leo mengepal dengan kuatnya. Matanya terpaku pada tangan besar pria yang dengan leluasa merangkul bahu Sandra. Mereka terlihat sangat dekat dan begitu serasi. Sungguh pemandangan yang membuat mata Leo pedih.
"Pagi Leo" Sandra menyapa sambil tersenyum. Saat ketiganya bertemu dan dalam jarak yang dekat, Sandra bisa merasakan aura yang begitu tegang. Ia tahu bahwa setiap kedua lelaki itu bertemu, selalu ada percikan di antara mereka, dan itu akan selalu terjadi.
Begitu mendengar Sandra menyapa Leo dengan hangat, Nico memeluk Sandra lebih erat lagi. Takut gadisnya itu akan melarikan diri dengan Leo begitu dia melepaskannya.
"Sandra, ayo cepat naik. Kita akan terlambat", ujar Leo tanpa mempedulikan kehadiran Nico dan auranya yang begitu mengancam.
Di depan Sandra, ia berusaha bertindak dengan tenang. Ia tidak akan kehilangan kendali dan mencoba melawan Nico (tentu saja karena dia tidak bisa berkelahi dan tahu akan kalah).
Leo masih berharap bisa melakukan kebiasaan rutin mereka setiap hari. Memberikan sarapan kepada Sandra dan kemudian pergi ke sekolah bersama-sama seperti biasa.
"Mulai sekarang aku yang akan mengantar Sandra. Tolong berhenti mendekatinya lagi." Nico berkata dengan nada dingin dan begitu mengancam.
Nico berjalan mengambil sepeda miliknya di tempat parkir. Sepedanya jauh lebih baik daripada milik Leo. Satu-satunya kekurangan adalah tidak adanya tempat duduk untuk penumpang di belakang. Tentu saja ini merupakan hal yang disengaja, haha!
"San, kamu benar-benar akan pergi bersamanya?" tanya Leo memelas. Dia takut, benar-benar takut. Selama bertahun-tahun dia dan Sandra telah tumbuh bersama, mereka selalu bersama dan tidak pernah berpisah. Di mata orang tua mereka pun, mereka adalah pasangan yang paling serasi. Setiap kumpul keluarga selalu ada yang bercanda dengan mengatakan alangkah bagusnya jika Leo dan Sandra menjadi sepasang kekasih atau bahkan menikah! Tentu saja itu hanyalah lelucon dan sekedar basa-basi orang tua. Sandra selalu tertawa setelah mendengar ucapan seperti itu. Benar-benar menganggapnya sebagai lelucon. Tentu saja berbeda dengan Leo. Ia secara serius menanggapi ucapan keluarganya, dan berniat untuk menjaga Sandra seumur hidupnya.
Tetapi saat ini, Sandra berada di pelukan pria lain.
"Leo...maaf aku..." Sandra terdengar ragu-ragu. Dia sepertinya melihat keputusasaan di mata Leo. Dan itu benar, mereka selalu bersama, dan tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi kebersamaan mereka, Leo pasti merasa tidak nyaman.
"Bilang pada temanmu ini untuk tidak perlu lagi menjemput atau mengantarmu", Nico berbisik kepada gadis di sebelahnya. Dia berharap pacarnya itu tidak ragu-ragu dan menuruti permintaannya. Bagaimanapun dia sekarang memiliki pacar, dia harus menarik garis yang jelas dengan pria lain. Hanya saja Nico tidak tahu seberapa dalam hubungan antara Sandra dan Leo. Seberapa besar ikatan emosional antara kedua orang yang mengaku sebagai sahabat sejak kecil ini. Sandra juga tidak pernah menjelaskan dengan tegas tentang perasaannya kepada Leo. Nico sangat takut jika diam-diam Sandra memiliki perasaan cinta pada temannya itu. Perasaan yang mungkin dirinya sendiri tidak menyadarinya, mengingat mereka telah terbiasa bersama sejak kecil.
"Em, ya Leo, mulai sekarang kamu tidak perlu repot mengantar jemput aku. Itu bagus kan? Terima kasih atas kebaikanmu selama ini" ujar Sandra sambil tersenyum. Berusaha tidak membuat sahabatnya tersinggung. Ia lalu duduk di sepeda Nico, dengan posisi sama seperti kemarin. Nico menegakkan posturnya yang sempurna, duduk di belakang tubuh mungil Sandra dan mulai mengayuh sepedanya. Meninggalkan Leo tanpa berkata apa-apa.
Leo seperti orang bodoh, menaiki sepedanya dan mengikuti kedua orang itu dari belakang. Otaknya dipenuhi pikiran tentang Sandra. Rutinitasnya setiap pagi untuk pergi ke sekolah bersama Sandra hancur berantakan karena seorang pria asing itu.. Tidak, pria itu mungkin tidak hanya merampas kesempatannya untuk mengantar Sandra di pagi hari. Lebih buruk lagi, apakah dia benar-benar mencoba melenyapkan Leo dari kehidupan Sandra?
"Hei, kamu tidak bodoh kan? Kamu pasti tahu kalau bocah itu menyukaimu, kenapa kamu tidak menolaknya secara tegas agar dia menyerah?". Tanpa basa-basi lagi, Nico bertanya dengan terus terang. Permasalahan ini harus diselesaikan secepat mungkin. Kalau tidak, dia tidak akan bisa tidur nanti malam. Kalau ada satu kelemahan dari seorang Nico Atmaja, maka itu adalah kecemburuan. Ia begitu mudah cemburu kepada pria lain yang ada di sekitar kekasihnya. Perasaan cemburu bisa membuatnya kehilangan akal dan tersulut terbakar karena amarah dengan begitu mudah. Sungguh kelemahan yang menyedihkan bagi seorang dengan posisi terhormat seperti dia.
"Bagaimana kamu tahu bahwa dia menyukaiku? Kita tumbuh besar bersama, dan kita memiliki hubungan yang dekat seperti saudara. Jadi kamu tenang saja. Lagipula, kenapa setiap kali melihatnya, kamu selalu berlagak seperti penjahat yang kejam?"
Sandra kembali bertanya. Membuat Nico menjadi lebih kesal dari sebelumnya. Kenapa gadis ini begitu bebal? Tidakkah dia tahu bahwa dirinya ini cemburu? Atau sepertinya dia tahu tapi dengan sengaja memancingnya.
"Kamu ...", Nico menggeram. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya untuk memperpanjang perdebatan, "....ah sudahlah lupakan"
Nico memutuskan untuk menyimpan amarahnya dalam-dalam. Mereka berdua baru saja bersama, pertengkaran hanya karena persoalan seperti ini tidaklah baik. Ia berusaha mencari topik lain untuk mengalihkan pembicaraan.
"Siang ini mau makan apa? Aku akan minta orang untuk menyiapkannya"
Entah kenapa kedua orang ini selalu menggunakan makanan sebagai pengalih topik pembicaraan yang paling aman.