webnovel

12. Bali

Pagi harinya, Charlos bangun dan melihat Reva sudah bersiap-siap. Reva mengenakan kaus dan celana pendek yang kasual, sedangkan dirinya masih telanjang dada dan hanya memakai celana dalam boxer. Matanya masih terasa lengket ketika ia melihat jam dari ponselnya. Ternyata sekarang sudah pukul sembilan.

"Good morning, sleepy head!"

Reva mendekatinya dan menciumnya. Tubuh Reva sangat wangi dan segar. Charlos mengerang dengan suara parau sambil meregangkan badannya.

Reva tersenyum dan berkata, "Ayo kita pergi!"

Reva menunjukkan selembar kertas. Charlos segera duduk dan menyambar kertas itu. Ternyata itu adalah tiket pesawat ke Bali. Mata Charlos membelalak dan ia pun tersenyum dengan mata yang masih sipit.

"Bagus sekali. Kamu sangat cepat mendapatkan tiketnya."

Reva tersenyum. "Tentu saja."

"Biasanya, Rendra yang menyiapkan semuanya, tapi sekarang, kamu menyiapkan tiketnya untukku. Rasaya seperti … Aku merasa sangat terhormat." Charlos tersenyum lebar.

"Apa kamu bercanda?" Reva mengelus pipi Charlos hingga membuat bulu kuduknya meremang.

Akhirnya, Charlos bangkit berdiri dan mandi. Setelah itu, Charlos dan Reva sarapan bersama di kamar.

Reva sudah menelepon Jack dan memberitahunya kalau mereka akan berlibur ke Bali. Beruntung, Jack menyetujuinya.

Charlos dan Reva tiba di bandara Ngurah Rai hari itu juga pada pukul empat sore. Cuaca di Bali sangat bagus; panas dan sangat cerah. Berbeda dengan Bandung yang hampir setiap hari hujan.

Setelah mengambil koper, Charlos Reva pergi meninggalkan bandara dengan menggunakan mobil sewaan. Charlos yang menyetir.

Malam itu, mereka menonton pertunjukkan Tari Kecak di Pura Uluwatu sambil menikmati indahnya matahari terbenam. Tempat pertunjukkannya berada di tepi jurang berpagar. Ombak berdebur di bawahnya. Betapa pemandangan yang sangat menakjubkan.

Suara penyanyi pria yang bersahut-sahutan membentuk sebuah nada orkestra yang sangat unik. Kecak kecak kecak.

Penari wanita wajahnya sangat cantik dengan tubuhnya yang molek melenggak-lenggok dengan anggun. Tari Kecak diakhiri dengan atraksi kehebatan Hanoman menendang bola api yang seharusnya membakar dirinya, tapi dengan kekuatannya, Hanoman menendang bola api itu seperti bola sepak.

Para penonton terdiri dari orang lokal dan asing. Mereka semuanya bertepuk tangan. Lalu, mereka berebutan untuk berfoto dengan para pemain Tari Kecak.

Charlos menarik tangan Reva, dan kemudian mereka meninggalkan tempat itu menuju ke Jimbaran. Langit telah sepenuhnya gelap. Setelah Charlos memarkirkan mobilnya, mereka masuk ke sebuah restoran di tepi pantai yang sangat cantik.

Charlos bisa melihat cahaya lilin dan lampu-lampu yang indah di sepanjang pantai Jimbaran. Para pengamen restoran memainkan lagu-lagu romantis. Alat musiknya berupa gitar, bass, dan perkusi, lengkap dengan topi yang besar ala orang Meksiko.

Mereka menyantap makan malam seafood mereka dengan lahap. Charlos tertawa saat Reva bingung makan kepiting. Charlos membantunya membuka kulit kepiting yang keras dan mencabut dagingnya untuk Reva.

"Apa kamu keberatan jika kita makan malam di tempat ini?" tanya Charlos.

"Tidak apa-apa, Charl. Memangnya kenapa? Pemandangannya sangat indah di sini," kata Reva.

"Yeah, kamu benar," ujar Charlos setuju. "Aku tidak sempat memesan restoran temanku yang biasa aku kunjungi jika aku sedang ke sini. Kalau di sana aku bisa memesan restorannya secara pribadi. Jadi, tidak akan ada pengunjung lain yang datang, tapi sepertinya agak susah kalau aku minta memesan keseluruhan restoran di tempat ini."

"Kamu terlalu banyak berpikir, Charl. Aku senang berada di sini. Aku tidak pernah ke Bali lagi untuk waktu yang sangat lama. Terakhir aku ke sini waktu aku bersama Sue."

Tiba-tiba, Reva terdiam. Hal itu membuat Charlos khawatir.

"Ada apa?"

Reva menggeleng. "Maaf, seharusnya aku tidak membicarakan tentang Sue."

"Tidak masalah, Rev," ucap Charlos.

Reva tersenyum, dan kemudian menempelkan bibir yang penuh dengan saus ke pipi Charlos. Charlos harus membalas perbuatan Reva. Ia mencolek pipi Reva dengan saus. Mereka terus saja bercanda hingga Reva menarik Charlos dan menciumnya.

Charlos sangat terkejut. Lalu ia melihat ke sekeliling jika ada wartawan yang melihat mereka. Namun, tidak ada yang memperhatikan mereka.

Tidak ada yang tertarik pada apa yang mereka lakukan, tidak ada wartawan, tidak ada yang berusaha mengambil gambar mereka, dan tidak ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama.

Keesokan harinya Charlos dan Reva pergi menyelam ke Pantai Nusa Penida dengan speed boat pribadi Charlos. Perjalanan memakan waktu satu setengah jam menuju tempat yang akan mereka jelajahi.

Mereka mengenakan pakaian selam ketat berwarna hitam. Reva membantu Charlos menggendong oksigen di punggungnya. Dalam hitungan ketiga, mereka bersama-sama masuk ke dalam laut dengan posisi kepala terlebih dahulu.

Mereka menikmati banyak sekali ikan hias yang cantik dan berwarna-warni seperti pelangi. Tangan Charlos berusaha menggapai ikan-ikan itu, tapi mereka menghindar dengan gesit seperti yang sedang mengejeknya.

Reva menarik tangan Charlos saat ia hampir saja mencucukkan tangannya ke arah bulu babi yang sedang bertengger di sisi terumbu karang. Reva menggelengkan kepala, lalu menunjuk ke arah kanan. Segerombol school fish melewati mereka dengan bentuk barisan yang sangat rapi. Gerakan mereka begitu teratur seolah mereka memiliki pemimpin.

Rangkaian bunga anemone laut tampak seperti menari-nari di seberang mereka. Ada yang berbentuk seperti kaktus laut berwarna kuning stabilo. Lalu dua ekor ikan badut berwarna oranye sedang berdempet-dempetan pada sekelompok anemone berwarna merah kekuningan. Charlos mencari posisi yang tepat kemudian menekan tombol kamera anti airnya. Seketika itu juga ikan badut itu kabur seperti ditelan oleh para anemone.

Lalu muncul bidadari laut yang sangat cantik. Ikan berwarna oranye putih belang-belang dengan siripnya yang sangat indah, melenggak-lenggok dengan angkuh. Ada pula ikan yang seperti kuda zebra, tapi ikan itu melesat saat Charlos mendekatinya.

Reva menggengam sejuput kudapan untuk ikan dari dalam tas kecilnya. Dalam hitungan detik, puluhan ikan mengerumuninya seperti mereka sedang kelaparan. Charlos tidak lupa untuk memotretnya. Ia ingin tertawa, tapi selang oksigen menahannya.

Kemudian ubur-ubur transparan beracun melintas. Reva menahan Charlos yang tampak panik.

Reva melepaskan oksigen dari mulut hingga membentuk gelembung udara yang seolah bergolak di hadapan mereka. Ubur-ubur itu melayang perlahan seperti parasut, menjauhi mereka. Gerakannya begitu santai seolah tak peduli dengan mereka. Setelah ubur-ubur itu pergi, Charlos dan Reva kembali melanjutkan petualangan.

Segerombol penyu berbagai ukuran berenang santai. Gerakan tangannya yang seperti mendayung tampak begitu mempesona. Betapa pemandangan yang jarang terjadi. Kali ini, Reva merebut kamera Charlos dan mengambil foto penyu.

Puluhan bintang laut berserakan di dasar pasir putih. Ada satu yang menarik perhatian Charlos karena warnanya biru muda dan sangat unik. Charlos hendak mengambilnya, tapi Reva segera mencegahnya sambil menggelengkan kepala dan Charlos mengangkat bahu.

Reva sangat pandai menyelam. Reva bahkan menyelam sampai ke dasar laut yang dalam. Charlos tidak berani mendekati. Telinganya seperti tertekan, rasanya lumayan sakit. Setelah puas menyelam selama hampir tiga jam, akhirnya mereka naik ke permukaan.

Reva naik ke speed boat terlebih dahulu, tangan Reva menarik Charlos naik ke atas. Badannya terasa sangat berat, belum lagi beban oksigen di punggungnya. Charlos tampak kepayahan. Reva tertawa-tawa.

"Ada yang takut pada ubur-ubur," ejek Reva.

"Kamu juga takut!" seru Charlos. Mereka berdua tertawa. "Aduh, Reva. Aku lelah sekali. Kamu masih mau memancing? Aku mau istirahat dulu ya."

"Oke!"

Mereka melepas baju selam. Setelah itu Reva melanjutkan petualangan dengan memancing. Charlos menghempaskan tubuhnya ke kursi dan menutup wajahnya dengan topi. Sementara Reva duduk di tepi speed boat dengan pancingan siap di tangan.

"Charl! Kamu tidur?"

"Hmmm..."

Charlos masih tetap diam pada posisinya. Reva mencolek kaki Charlos. "Charl!"

"Hmmm..."

"Ayolah! Jangan tidur dulu! Sini temani aku memancing," ajak Reva. Jarinya kemudian menggelitik kaki Charlos. Seketika itu juga Charlos terperanjat.

"Aduh, Rev! Jangan begitu! Geli!" Reva tertawa lepas. "Sebenarnya ada apa?" Charlos melempar topinya ke samping lalu dengan susah payah ia duduk di sebelah Reva. Matanya terbuka setengah. Reva tersenyum manis.

"Kamu capek, Charl?"

"Iya. Aku mengantuk." Charlos memandang Reva sambil mengernyitkan dahi. "Kamu itu tidak ada capek-capeknya ya. Energinya banyak sekali." Charlos mengelus rambut Reva yang masih basah. Reva tertawa.

"Charl, apa yang akan kamu lakukan kalau aku mati?"

"Apa yang kamu bicarakan?" Charlos menggaruk belakang telinganya dan merasakan butiran pasir yang meluruh di jarinya. "Jangan bicara seperti itu, Rev!"

"Serius, Charl! Jawab aku. Kalau aku mati, apa yang akan kamu lakukan?"

Charlos mendengus keras. "Pertama, kamu tidak akan mati karena ada aku yang pasti menolongmu. Kedua, kalau kamu sampai..." Charlos memutar bola matanya. "...mati, aku akan..."

"Oke! Berarti aku tidak perlu mati," potong Reva. "Karena kalau kamu yang mati duluan, Charl, aku akan membunuh orang yang membuat kamu mati dan kemudian aku akan bunuh diri."

Charlos melongo.

"Aku serius, Charl. Kamu itu milikku. Aku tidak akan pernah membiarkan seorangpun merebutmu dariku." Reva merasakan getaran di tangan. Charlos otomatis memandangi laut.

"Oh! Strike!" Reva menarik pancingan ke atas, sementara tangan kiri memutar poros. Sepertinya kali ini tangkapan Reva cukup besar. Charlos membantu Reva menarik pancingan.

"Rev, kenapa kamu tidak memakai sarung tangan? Nanti tangan kamu terluka!" Suara Charlos tercekat.

"Kan ada kamu yang menolongku!" jawab Reva cukup keras.

Mereka berdua berkutat dengan pancingan. Ikan itu terus meronta-ronta, tubuhnya yang keperakan mulai muncul ke permukaan. Setelah berjuang selama setengah jam, mereka berteriak bersamaan dan akhirnya berhasil menarik ikan itu ke atas speed boat. Charlos membantu mengangkatnya dengan jaring. Ikan itu terus bergoyang-goyang seperti kehabisan oksigen. Dengan gesit, Reva melepaskan kail yang mengait di mulut ikan.

Giant Trevally.

Mereka bersorak-sorak kegirangan. Charlos mengambil foto Reva yang sedang menggendong ikan yang masih meronta-ronta itu. Senyum lebar menghiasi wajah Reva yang memerah karena kepanasan. Rambut ikal Reva berkibar-kibar tertiup angin laut. Lalu Reva melepas ikan itu kembali ke laut.

"Kasihan. Mulutnya agak berdarah. Tapi tadi itu luar biasa, Charl! Aku senang sekali!" Reva mengalungkan tangan ke leher Charlos dan mereka berpelukan.

"Kamu memang hebat, Rev! Kamu hebat dalam hal apa pun. Empat jempol cukup tidak?"

Reva melepaskan pelukan. "Empat ciuman saja."

Charlos tersenyum lebar saat Reva mencium kening, pipi kiri, kanan, dan terakhir bibirnya.

Speed boat bergerak menuju daratan. Mereka melanjutkan makan siang di daerah Tanjung Benoa. Wajah Charlos terasa perih terkena sinar matahari.

Kali ini mereka mencoba makanan khas Bali. Charlos memesan Ayam Betutu. Hidangan ayam dengan rempah-rempah yang dimasak sampai bumbu itu meresap ke dalam-dalamnya. Warna dagingnya agak kehijauan karena bumbu. Aromanya sangat lezat menggoda.

Kemudian ada sup ikan kakap merah yang juga sama berempah dan dihiasi dengan potongan mentimun. Mereka sangat bersemangat untuk makan siang karena mereka sudah sangat lelah menyelam sejak dari pagi.

Reva mencoba daging ayamnya dan matanya membelalak. "Oh my God! This is.... Charlos, ini gurih sekali! Wow!"

Reva menyendok lagi dan sekali lagi mengaguminya. "Kenapa waktu itu kita ke restoran Perancis? Aku lebih suka masakan Indonesia, Charl."

Charlos mendengus tertawa. "Baiklah. Lain kali kita kuliner masakan Indonesia saja ya."

Dalam hatinya berharap ada kata lain kali untuk mereka berdua. Ada sebuah perasaan lega saat melihat Reva makan dengan begitu semangat. Apakah mungkin Reva akan betah di Indonesia dan memilih untuk bertahan di sini selamanya? Ia berharap Reva bertahan bukan hanya karena suasana yang menyenangkan dan makanan yang enak, tapi juga karena memang Reva benar-benar ingin bersama dengan Charlos. Sepertinya ia tidak perlu meragukan hal itu.

"Apa kamu senang, Rev?" tanya Charlos.

"Tentu saja! Bali adalah tempat yang sangat luar biasa. Di sini benar-benar menyenangkan." Reva tersenyum manis.

Charlos membalasnya dengan senyuman penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa dirinya tidak ingin lagi berpisah dengan Reva. Tapi tiba-tiba saja di pikirannya terlintas wajah Rissa. Charlos tidak benar-benar sedang memikirkannya, tapi entah mengapa pikiran itu muncul begitu saja.

Malam harinya mereka jalan-jalan di sepanjang Kuta Square. Charlos menunjuk sebuah gitar besar dengan lampunya yang berwarna merah bertuliskan "Hard Rock". "Ke sana yuk!"

Mereka bersantai sambil minum-minum di Hard Rock, tapi tidak sampai mabuk. Sepulangnya dari Hard Rock mereka berfoto-foto. Seorang turis mancanegara mendekati mereka dan menawarkan mereka untuk difoto bersama. Reva merangkul Charlos dan ketika lampu blitz menyala, Reva tiba-tiba mengecup pipinya. Charlos terkesiap. Turis itu mengembalikan kamera ke tangan Reva.

"Thank you, Sir!" seru Reva sambil tersenyum lebar. Ia berjalan duluan. Charlos mengikutinya di belakang.

"Apa yang kamu lakukan?" Charlos menyipitkan matanya.

Reva hanya tertawa-tawa. Tidak ada beban sama sekali di wajahnya.

Mereka berjalan dari Kuta dan menembus ke Legian. Sepanjang jalan sangat ramai dengan pertokoan dan klub malam. Suara lagu dengan tempo yang cepat terdengar sampai ke jalan. Lampu sorot berwarna-warni membentuk citra yang terus berubah-ubah. Kadang berbentuk bunga, kemudian berubah menjadi bulatan-bulatan, kemudian titik-titik.

Reva membelikannya es krim rum raisin. Ketika sedang asyik menjilat-jilat es krim, mereka melihat beberapa pasang kekasih dari turis mancanegara sedang berciuman di pinggir klub. Charlos memperhatikan betapa cuek dan bebasnya mereka mengumbar gairah emosional yang meluap-luap. Tiba-tiba Reva mencium pipinya. Bibir Reva terasa dingin karena es krim.

"Rev..." Charlos membalas ciumannya di bibir. Ia tidak bisa berhenti. Suara musik yang kencang dan lampu-lampu membuatnya tak sadarkan diri. Es krim jatuh dari tangannya. Reva tampak menikmati momen ini. Tiba-tiba tepukan riuh dari dalam club membuyarkan ciuman mereka. Reva tersenyum malu-malu. Kemudian menarik tangan Charlos. Mereka berjalan cepat, cukup jauh. Setelah lima belas menit mereka berhenti untuk istirahat. Es krim meleleh di tangan Reva.

"Jangan lakukan itu lagi, Charl."

"Bukankah kamu yang mulai duluan?"

Reva tersenyum. "Baiklah. Tapi aku pikir sebaiknya kita jangan terlalu berlebihan. Berciuman di depan umum?"

"Aku pikir kamu menyukainya." Charlos menggoda Reva dengan mengelus punggung tangan Reva.

"Aku memang menyukainya. Hanya saja aku tidak bisa membayangkan jika tiba-tiba ada wartawan."

"Sepertinya tidak ada."

"Kita tidak pernah tahu."

Charlos tersenyum sambil menengadah ke atas. Malam ini langit tampak bertabur jutaan bintang. Sama seperti keindahan bintang, hari-hari Charlos pun tampak lebih indah dari biasanya.

Selesai menelusuri Legian, mereka kembali ke pantai Kuta. Kemudian mereka berhenti berjalan dan duduk di hamparan pasir. Di sana agak gelap. Charlos mengeluarkan ponselnya dan menyalakan lampu. Reva melakukan hal yang sama.

"Rev, kamu tahu tidak, apa yang membuatku berani untuk menyatakan perasaanku padamu?"

Reva menggelengkan kepala sambil bersandar di bahu Charlos. Ombak mendesir perlahan. Buihnya hampir mengenai kaki mereka.

"Ada seseorang yang mendukungku," kata Charlos hati-hati.

"Satria?" tanya Reva.

"Bukan." Mereka terdiam sesaat. Kemudian setelah dirasa cukup aman, Charlos melanjutkan ceritanya.

"Dia pernah melihat kita bersama waktu itu di kedai kopi. Aku marah sekali waktu dia bilang melihat kita di sana. Aku berpikir terlalu panjang. Jadi aku..." Charlos menggelengkan kepalanya. "Yah intinya, singkat cerita aku jadi terpaksa menceritakan tentang kamu ke dia. Dan dia bilang seratus persen mendukungku untuk menyatakan perasaanku."

Reva kemudian menegakkan kepalanya dan memandang Charlos.

"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Aku mau kita bersama," kata Charlos. Matanya sangat serius saat mengatakannya.

Reva tersenyum manis. "Terima kasih, Charl. Aku senang sekali kamu mau berterus terang tentang perasaan kamu."

Charlos mengacak rambut Reva.

"Hentikan!" Reva memiringkan kepalanya. Charlos terkekeh.

"Kamu itu lucu sekali kalau rambutnya acak-acakan."

"Sudahlah jangan meledekku. Ngomong-ngomong siapa orang itu?"

"Siapa?"

"Orang yang bilang begitu padamu, Charl."

"Oh. Itu tidak penting." Charlos menggerakkan tangannya seperti sedang menghalau lalat. Reva nampak curiga. Reva menatap Charlos agak sedikit menuduh.

"Apa ada orang lain selain aku?"

Charlos terkesiap. Pertanyaan Reva sejenak membuat otaknya menyalakan sinyal berbahaya. "Apa maksudmu?"

"Lalu kenapa kamu tidak menjawab? Apa dia seorang perempuan? Apa jangan-jangan dia yang ada di berita di internet? Yang namanya... Carissa itu bukan? Ayo beri tahu aku."

Ternyata Reva memang membaca berita itu. Tentu saja. Reva tidak akan mungkin melewatkan setiap berita mengenai dirinya.

"Ya. Aku harap kamu jangan salah paham. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya," terang Charlos.

Wajah Reva berubah serius. Charlos mulai merasakan aura ketegangan di antara mereka. "Aku tidak percaya dengan yang namanya gosip. Kalau kamu mau menjelaskannya padaku, aku siap mendengarkan."

Charlos menarik napas dalam-dalam. "Oke. Namanya Rissa. Dia hanya rekan bisnis. Tidak lebih dari itu," Charlos menambahkan.

"Oh. Lalu soal undangan pernikahan yang kamu bilang. Kenapa kamu bisa bersama-sama dengan wanita itu?" tanya Reva ketus.

"Dia itu perwakilan dari Kharisma. Kebetulan aku bertemu dengannya di sana." Charlos tampak putus asa.

"Kharisma? Apa dia bekerja untuk Esther?"

"Ya, tentu saja."

"Jadi kamu juga bertemu dengan Esther di sana?"

"Tidak. Dia tidak hadir. Rissa yang menggantikannya."

"Lalu untuk apa kalian berdansa?" Reva melipat tangan di dada dengan tatapan mata yang begitu tajam.

"Karena tidak ada yang mau berdansa denganku."

"Omong kosong." Reva membuang muka.

"Aku pikir pembahasan kita terlalu jauh." Charlos menggelengkan kepalanya. "Apa kamu tidak percaya lagi padaku?"

"Entahlah, Charl."

"Percayalah. Kalau kamu ada di sana, sudah pasti aku akan berdansa denganmu." Charlos menarik wajah Reva agar mereka saling berhadapan. "Aku mohon, Rev. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Reva tampak sedang menimbang-nimbang. "Baiklah. Hanya saja aku tidak ingin membayangkan wajah orang-orang ketika melihat kita berdua berdansa."

"Ya mungkin sebaiknya kita tidak perlu membahas hal itu lagi sama sekali."

Reva mendengus kesal. "Oke. Sekarang, kalau wanita bernama Rissa itu pernah melihatku, apa reaksinya tentangku? Kenapa dia bisa langsung mendukungmu untuk menyatakan perasaanmu padaku?"

"Entahlah. Intinya dia mendukung kita. Sudah begitu saja." Charlos mengangkat bahunya.

"Sangat menarik. Aku jadi penasaran ingin bertemu dengan wanita itu. Apa dia cantik?"

"Rev, kamu memang benar-benar cemburu. Kamu sudah jelas tahu kalau dia itu bukan tipeku. Nanti kalau kita sudah pulang ke Bandung aku mungkin akan mengenalkanmu padanya. Itu juga kalau kamu mau ikut denganku."

"Kenapa tidak? Besok aku ikut denganmu pulang ke Bandung," kata Reva tegas.

Charlos tidak bisa berkata apa-apa. Reva tidak bicara lagi setelah itu. Reva mematikan lampu di ponsel kemudian bangkit berdiri terlebih dahulu, berjalan memunggungi Charlos.

Liburan telah usai. Mereka benar-benar pulang ke Bandung keesokan harinya. Mereka dijemput oleh supir Charlos di bandara. Charlos merasa agak menyesal telah menceritakan tentang Rissa pada Reva.

Ia merasa sangat sedih karena hati kecilnya berkata sepertinya hubungannya dengan Reva mungkin tidak akan bertahan lama.

下一章