Clara mengeluarkan note miliknya. Dia menanyakan seperti apa baju kebaya yang Anita inginkan?
"Modern, but elegant," ucap Anita.
Clara mencoba fokus mencatat setiap permintaan Anita, dia benar-benar risi terus diperhatikan oleh Bram.
"Buat pakaian pengantin yang senada. Untuk resepsi pernikahannya, aku ingin gaun yang cantik, yang takan pernah kulupakan seumur hidupku karena terlalu berkesan. Benar begitu, kan, Bram?" Anita melihat Bram dan memegang tangan Bram.
"Tentu, semua orang ingin seperti itu," ucap Bram tersenyum.
"Hm ..." Clara berdehem dan Anita melepaskan tangan Bram.
"Maaf, Saya permisi ke toilet sebentar," ucap Clara dan membawa tasnya pergi menuju toilet. Jarak toilet dari ruang pertemuan cukup jauh.
Sesampainya di toilet, Clara menghela napas panjang.
"Ini gila! Apa Bram benar-benar akan menikah? Lalu, bagaimana denganku? Kebutuhanku? Fasilitasku? Apa setelah ini dia akan menyingkirkanku?" ucap Clara.
Clara bicara pada dirinya sendiri melalui cermin. Dia justru mencemaskan nasibnya jika Bram benar-benar menikah. Alasan Bram menjadikannya wanita simpanan, karena demi memuaskan hasrat Bram. Jika Bram mempunyai istri, tentu saja Bram mempunyai tempat untuk memuaskan hasratnya. Lalu, bagaimana nasib Clara?
Clara terkejut saat melihat Bram memasuki toilet dan mengunci pintu toilet. Clara berbalik dan menatap Bram.
"Untuk apa kamu ke sini? Nanti, kekasihmu curiga," ucap Clara.
Bukannya menjawab, Bram justru mengangkat tubuh Clara dan mendudukannya di washtafel.
"Bram turunkan aku!" pinta Clara.
"Kamu kenapa? Apa kamu cemburu?" tanya Bram.
Clara terkejut mendengar ucapan Bram. Yang benar saja Bram bisa mengatakan semua itu.
"Siapa yang cemburu? Aku biasa saja," ucap Clara.
"Benarkah?" Bram membuka satu-persatu kancing kemeja putih yang ada dibalik blazer yang Clara kenakan. Bram menatap dada Clara yang terbungkus penutup berwarna hitam.
Dia menarik kain penutup itu ke bawah, sehingga terlihat jelas dua bulatan milik Clara.
"Bram, jangan lakukan di sini! Anita bisa mencurigaimu," ucap Clara.
"Aku tak peduli," ucap Bram.
"Kamu benar-benar sudah gila! Kalian bahkan akan segera menikah," ucap Clara dengan sedikit kesal.
"Memangnya kenapa?" ucap Bram sambil terus memainkan tangannya di dua bulatan Clara. Clara memejamkan matanya, dan Bram tersenyum tipis. Dia mengecup dua bulatan itu bergantian. Clara terbuai dengan perlakuan lembut Bram, Bram tak sekasar sebelumnya.
"Bram!"
Bram tak menyahut, dia asik mencecap dada Clara.
"Bram! Lihat aku!" kesal Clara.
Bram mendongak dan menatap Clara.
"Apa setelah kamu menikah dengan Anita, kamu akan meninggalkanku?" tanya Clara.
Bram menghela napas dan merapikan pakaian Clara. Dia mengancingkan kembali kemeja Clara.
"Ya," ucap Bram.
Clara membulatkan matanya. Inilah yang dia takutkan.
"Benarkah? Jadi, kamu akan meninggalkanku? Kamu takan lagi memberiku uang bulanan?" ucap Clara.
"Ya," ucap Bram.
Clara menelan air liurnya. Dia mulai gelisah.
"Tapi jika kamu menuruti semua kata-kataku, kamu takan kehilangan semuanya," ucap Bram.
Clara mengerutkan dahinya.
"Aku menurut selama ini, kamu menginginkannya aku selalu memberikannya bukan?" ucap Bram.
"Kamu merasa begitu? Bagaimana dengan pria itu? Aku tak suka, tetapi kamu melakukannya," ucsp Bram.
"Dia hanya temanku. Aku tak memiliki hubungan apapun selain hanya sebatas teman. Aku tak pernah mengkhianati perjanjian kita," ucap Clara.
Bram tersenyum tipis.
"Kenapa kamu di sini? Aku pikir, kamu akan pergi ke luar negeri. Hm ... Liburan bersama Anita mungkin," ucap Clara.
"Memangnya siapa yang bilang aku akan ke laur negeri? Aku sedang ada urusan di dalam negeri. Sekaligus menemani Anita mengurus segala persiapan pernikahan," ucap Bram.
Clara terdiam menatap Bram. Dia tak cemburu mendengar kabar pernikahan Bram dan Anita, nyatanya dia tak merasakan apapun pada Bram. Namun, ada hal yang membuatnya merasa takut ketika Bram dan Anita sudah menikah nanti. Dia takut Bram akan berubah pikiran dan suatu saat nanti akan menyingkirkannya di saat dirinya belum siap untuk melepaskan semua uang yang Bram berikan.
Bram berbalik, dia meninggalkan Clara sendirian di dalam toilet.
Clara turun dari washtafel, dia merapikan sekali lagi kemeja dan blazernya. Setelah itu dia keluar dari toilet dan kembali ke ruang pertemuan. Sudah ada Bram di sana, dia tampak santai seolah tak terjadi apapun sebelumnya.
"Nona Clara, apa kita Bisa melanjutkan ini nanti? Saya harus melakukan pemotretan, Saya harus segera pergi," ucap Anita.
Kali ini Anita tampak ramah dan tak seperti saat di Villa yang terus membuat Clara kesulitan. Entahlah, atau mungkin belum saja.
"Tentu saja, untuk selanjutnya kita akan melakukan pengukuran lingkar tubuh. Kita bisa lakukan di Butik. Karena semua alat berada di sana," ucap Clara.
"Iya, baiklah," ucap Anita.
"Bram, aku pergi dulu. Kamu masih ada pertemuan bukan?" ucap Anita melihat Bram.
Bram mengangguk dan berdiri. Dia mengecup pipi Anita. Setelah itu Anita keluar ditemani asistennya. Dia pergi dari hotel dan menuju lokasi pemotretannya.
Clara merapikan tasnya, dia akan keluar dari ruangan itu tetapi Bram memanggilnya. Clara pun melihat Bram.
"Tunggu dulu," ucap Bram.
Clara mengerutkan dahinya saat Bram mendekatinya dan membalikan tubuhnya. Clara berpegangan di meja. Bram langsung menggerayangi tubuh bagian depan Clara dari posisi belakang
"Bram, apa yang kamu lakukan? Jangan bilang kamu akan melakukannya di sini," ucap Clara.
Bram tak menjawab ucapan Clara, dia menyingkap rok span yang Clara kenakan dan menurunkan kain penutup alat intim Clara. Bram menyentuh bagian intim Clara sekilas dan mulai memasukan miliknya ke milik Clara.
Clara terkejut, milik Bram tampak kesulitan memasuki miliknya karena dia belum siap.
"Sshhh ..." Bram mendesis ketika miliknya masuk sepenuhnya.
"Kamu adalah milikku Clara! Kamu pemuas nafsuku yang jika kapan pun aku menginginkannya, maka kamu harus melayaniku," ucap Bram ditengah percintaan mereka. Clara tak begitu mendengarkan ucapan Bram. Dia mulai menikmati permainan Bram.
Cukup lama dalam posisi itu, dan Bram membalikan tubuh Clara. Didudukannya Clara diatas meja. Bram menyingkirkan kursi yang menghalangi pergerakannya dan kembali memasuki Clara.
Bram semakin mempercepat tempo permainannya, dia merasa akan segara mencapai puncaknya.
"Clara ...!" Bram meneriakan nama Clara ketika dia mencapai klimaks. Clara terkejut, karena Bram tak pernah meneriakan namanya sebelumnya.
Bram mengatur napasnya, dia tertunduk lemas di atas tubuh Clara yang juga melemas di atas meja. Bram mengecup dada Clara sebelum akhirnya melepaskan penyatuannya dengan Clara.
Bram langsung merapikan pakaiannya.
"Bersihkan milikmu, aku masih ada urusan!" ucap Bram dan pergi begitu saja.
Begitu keluar dari ruangan itu, Bram melihat Dante yang berdiri di depan pintu. Entah Dante mendengar rintihan panas Bram dan Clara atau tidak, Bram tak peduli. Dia tak mengatakan apapun dan meninggalkan ruangan itu.
Clara tersadar dan segera merapikan pakaiannya. Dia merasa tak nyaman karena banyaknya cairan yang Bram keluarkan di rahimnya. Dia bergegas mengambil tissu dan membersihkannya.
Selesai membersihkan miliknya, Clara keluar dari ruangan itu. Dia meminta Dante untuk mengantarnya ke Butiknya.
***
Sesampainya di Butik, Clara duduk sejenak. Dia teringat percintaannya tadi bersama Bram. Untuk pertama kalinya dia mendengar Bram meneriakan namanya ketika mencapai puncak kenikmatannya. Jantung Clara berdegup kencang. Entah mengapa, pikiran tentang Bram yang memang mencintainya kembali terlintas di kepalanya.
"Hm ... Mana mungkin. Itu mungkin hanya kebetulan saja," ucap Clara mencoba kembali tersadar dan menepis pikiran itu.
Clara lelah, dia ingin tidur. Niatnya kembali ke Butik untuk bekerja justru dia urungkan karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk dan lelah. Clara keluar dari ruangannya dan meminta Dante mengantarnya ke apartemen. Dante pun mengantarkan Clara menuju apartemen.