webnovel

Chapter 11: Fall

Oleh: Manggala Kaukseya

"Well well… ini sih literally Autumn."

Suara bang Asger muncul dari belakang kami. Ia terlihat baru saja keluar dari kamar Dakruo.

"Autumn? Apa itu bang?"

Tanyaku.

Bang Asger memang sering mengucapkan kata-kata yang membingungkan, tapi aku masih bisa merasakan maksudnya. Namun kali ini… jujur aku benar-benar tak ada ide arti dari kata itu..

"Musim gugur, lo pada inget kan kalo ada dewa-dewi empat musim di sistem suci?"

Jawabnya.

"Ah iya, Tuan Agung Amartya sebagai Dewa Musim Panas, Nyonya Naema sebagai Dewi Musim Dingin, Putri Emerald sebagai Dewi Musim Gugur dan Cik Ester sebagai Dewi Musim Semi."

"Jadi maksudnya sekarang Dunia baru ini sudah mengadaptasi sistem 4 musim? Itukah sebabnya dedaunan berguguran dan suhu udara menurun?"

Ghanimah melotot murni akan syok, namun di saat yang sama nada bicaranya berbalut akan semangat.

"Yes! Tepat sekali! Dah gitu ini musimnya Putri Emerald… which is, gimana gitu… para Vhisawi pasti makin manteb musim ini."

Anggota tertua kami tampak begitu girang, kurasa bahkan dirinya juga memiliki rasa kebanggaan akan sukunya.

"Bang, aku mau nanya deh…"

Ucapku.

"Nape Mang? Ngomong aje."

"Kata-kata yang abang masukin ke bahasa Bumi abang, gak kedengaran kayak bahasa Vhisawi… itu apa? Unity?"

Bang Asger tersentak sejenak mendengarnya, kian bergeming akan perkataanku.

"Eh iya… sorry sorry… kalian kalo ngomong ama Vhisawi kagak bakal banyak yang kek gue kok. Tapi iye, ini Unity, di suku kami ada 2 orang yang sangat mahir dalam berbicara Unity, lo pada bisa tebak sapa kan?"

Ia terlihat sedikit malu akan caranya berbincang.

"Yang Mulia Viper dan Putri Emerald?"

"Nah tuh bener, kalo lagi kagak posisi formal, keduanya sering campur-campur Unity sama bahasa Bumi, katanye sih lebih sedep gitu, ada bahasa Unity yang gak ada atau agak ambigu di bahasa Bumi, jadi ye... mereka sering campur adukin buat saling melengkapi, dan gue kebetulan lumayan lama jadi ngawal tuh dua."

"Jadi… bang Asger ketularan kebiasaan mereka gitu?"

Simpulku.

"Tepat sekali!"

"Tapi bang Asger paham bahasa Unity?"

"Dikit-dikit bisa lah… kalo cuman sekedar baca mah… gampil!"

"Ah baguslah… gak salah emang milih abang jadi wakil…"

"Dih tai!"

Ia spontan membalas, tegas, tanpa keraguan.

"Bang…"

Kami semua tak tahu harus berkata apa.

"Yowes dah, gue mau ngurusin bajunya si Seija dulu."

Pria itu pun beranjak pergi begitu saja, dan naik ke atas tangga.

"Baju?"

"Itu si Seija kedinginan gara-gara musim gugur, dia gak punya baju tebel."

Ghanimah langsung menjawabku, kurasa dia telah berbincang dengan bang Asger untuk mengatasi masalah ini.

"Ah… aku lupa gak semua orang bisa seenak hati ngatur suhu tubuh kayak Genka…"

"Eh! Aku juga bisa kok!"

Gadis di sampingku itu tiba-tiba cembetut.

"Kalau panas banget gimana? Kalian bukannya takut api?"

"!? … itu…"

Ia pun terdiam, tak mampu membalasnya.

Ah iya, langit di luar sudah mulai cerah. Kurasa ini saatnya untuk kami bersiap menjalankan misi perdana kami.

"Ngomong-ngomong, maaf bila aku berkata demikian… tapi bolehkah kami mendapat sarapan kami, Ghanimah?"

"OH IYA!"

Gadis itu tiba-tiba melengking keras, dan lekas tergopoh-gopoh berlari ke dapur.

Tak butuh waktu lama hingga Ghanimah mulai menghidangkan sarapan untuk kami, dan kami ber-8 pun makan bersama. Aku lalu meminta mereka semua untuk bersiap-siap, dan berangkat menuju pusat administrasi jam 7.30.

Sebenarnya bagi mereka untuk mandi dan berpakaian itu tak memakan banyak waktu, akan tetapi kami tetap berangkat tepat jam 7.30 sesuai kesepakatan. Mau bagaimana pun juga ini tetaplah organisasi militer, kami masih harus sedikit menerapkan kedisiplinan waktu.

*

Sesampainya di pusat administrasi kami langsung naik ke lantai dua untuk mengambil misi kami. Di sana terdapat konter besar berbentuk persegi panjang yang bagian bawahnya terpotong setengah lingkaran, dengan beberapa Melati yang bertugas di dalamnya.

Mereka nampak mengurusi dokumen-dokumen Guild dengan begitu banyak lembaran kertas yang menggunung di atas meja-meja, bersama masing-masing 1 melati duduk di depan meja-meja itu.

Selain itu, di bagian paling belakang konter terdapat 7 papan besar dengan berbagai lembaran kertas tertempel pada mereka. Kurasa itu adalah daftar misi yang bisa kami ambil. Papan paling kiri memiliki jumlah kertas terbanyak, dan semakin ke kanan semakin sedikit, bahkan 3 papan terakhir masih kosong tak terisi sama sekali.

"Selamat pagi tuan Manggala, ada yang bisa kami bantu?"

Salah satu Melati di konter itu kemudian menyambut kami.

"Ah, kami ingin mencoba mengerjakan salah satu misi yang ada, kau tahu… untuk lebih paham tentang jalur pekerjaan kami."

Aku kian menjawabnya.

"Bisa dipahami tuan, misi apa yang ingin anda ambil?"

Ia mengeluarkan sebuah jurnal dan pena, menandakan ia hendak mencatat sesuatu.

"Karena ini misi pertama kami, apakah kamu punya rekomendasi yang sekiranya sesuai dengan kami?"

"Tentu tuan, misi seperti apa yang anda inginkan?"

"Sesuatu yang bisa dijadikan bahan untuk belajar."

"Kalau begitu bolehkah saya sarankan misi perburuan Taanji kelas F?"

"Kelas F?"

Apa itu yang paling rendah?

"Benar tuan, di sini misi terbagi menjadi 7 kategori dimulai dari F, E, D, C, B, A dan terakhir S."

"S? Kenapa tiba-tiba jadi S?"

Walau ya... memangnya ada huruf sebelum A di alfabet Unity?

"Jujur saya kurang tahu tuan, sistem ini dibentuk oleh Tuan Verslinder dan Nyonya Austra, jika tidak salah mereka bilang orang dari Buana Yang Telah Sirna mengurutkan tingkatan dengan abjad seperti itu. Jika tidak salah, S itu singkatan dari 'Super' atau semacamnya."

Aku bisa melihat keraguan di ekspresinya.

"Ah oke, itu mudah di pahami, kalau begitu bolehkah kami melihat-lihat Taanji-Taanji kelas F itu?"

"Tentu tuan."

Melati itu pun berjalan ke papan terkiri dan mengambil beberapa kertas yang tertempel di sana, lalu membawanya pada kami.

"Silahkan tuan Manggala, anda bisa pilih dari beberapa misi ini, jika tidak cocok dengan selera anda, saya bisa ambilkan misi yang lain, atau anda ingin mengambil tingkat yang lebih tinggi? Katakan saja."

Melati itu pun menodorkan 9 lembar kertas dengan jenis Taanji yang berbeda.

"Tak perlu, kami hanya ingin belajar hari ini."

"Dimengerti, tuan."

Aku tak mengerti mengapa ia terdengar agak kecewa.

"Bang ada misi yang abang suka gak?"

Lekas ku pinta pendapat bang Asger sebagai wakil ketua.

"Buru-berburu kan jagonya suku lo, udah pilih aja, kita lebih newbie ketimbang lo kalo masalah ginian."

"Ah… oke deh."

Diriku lalu menelaah tiap-tiap lembaran itu, berusaha mencari Taanji yang besar dan lamban untuk bisa dipelajari.

"Ah ini saja!"

-----

Dakutan:

Monster berkaki gajah dengan badan lebar layaknya badak dan kepala menyerupai centrosaurus tanpa tanduk di atasnya, ekornya menyerupai reptil purba lainnya tanpa armor ataupun duri. Berkulit tebal dengan warna coklat bercorak hitam.

Tinggi: 5 meter

Panjang: 11 meter

Lebar: 3 meter

Elemen: Tanah

Upah: 720000 Gria

-----

"Dakutan?"

Nona Himesh menyatakan kebingungannya.

"Benar, Taanji ini cukup besar dan lambat, cocok untuk dijadikan eksperimen pertama kita."

"Tapi elemennya tanah, bukannya sama dengan Dakruo?"

"Justru bagus, Dakruo kan tank kita, dia tak perlu menyerang, dan serangan musuh bakalan hampir gak ngaruh ke dia."

"Eh benar juga, baiklah… di mana lokasi misi kita?"

Ia bisa dengan mudah menerima logika itu.

"Timur dari sini, antara desa Chrysos dan Ferreus."

"Perlukah aku memesan kereta kuda untuk ke sana, kak?"

Lalita menawarkan penawaran yang teramat bagus, tapi…

"Kalian tak perlu memesan transportasi apa-apa, Guild telah menyediakan kereta kuda untuk anggotanya, mereka ada di depan gerbang barat benteng."

Melati di konter pun langsung menerobos masuk ke pembicaraan kami.

"Di antara kalian ada yang mampu mengendarai kereta kuda kan, tuan Manggala?"

"Tentu, aku bisa mengemudikannya."

Jawabku.

"Bagaimana dengan Dakruo?"

Tiba-tiba Ghanimah bertanya.

"Bagaimana apanya?"

"Hah!? Jelas dia terlalu besar untuk masuk ke kereta kuda Talaria!"

"Tak perlu mengkhawatirkan diri ini, nona."

Dakruo pun membalas ucapan Ghanimah dengan suara beratnya. Aku sebenarnya penasaran bagaimana orang memandang Dakruo yang saat itu tengah merangkak kian rendahnya hingga kepalanya setara dengan tinggi kami.

"Ah, kurasa kamu kurang mengenal kaum para naga. Sudah, tak perlu khawatir sekarang kita langsung berangkat saja ke kandang kudanya!"

下一章