webnovel

Berapa yang Kau Butuhkan?

Sesaat setelah kejadian tidak terduga itu, Lisa dan Andien kembali duduk dan berbincang sembari menunggu makanan pesanan mereka datang.

"Ah sialan gara – gara si Karina tuh gue jadi lupa mau cerita apa ke lo Ndien!" dengus Lisa jengkel.

"Tadi lo bilang mau pinjem uang ke presdir?" Andien menjawabnya dengan nada polos.

Beberapa saat kemudian, seseorang dengan celemek dan nampan membawa sepiring nasi goreng dan semangkuk bakso. Diletakkannya nasi goreng itu di hadapan Lisa, dan bakso di hadapan Andien. Aroma dari nasi goreng itu sangat menggoda, Lisa memejamkan matanya dan menghirup udara yang mengepul dengan nikmat. Andien mulai menghujam salah satu dari bakso yang berenang – renang di lautan kaldu yang mengepul. Sambil menikmati hidangan, mereka melanjutkan perbincangan mereka.

"Ya nggak ke Oscar juga kali Ndien, lo gila apa? Hubungan gue sama dia cuma hubungan profesional! Nggak lebih!"

"Nggak punya hubungan lebih tapi hamil anaknya, haha parah kamu Lis!"

"Hus diem lo! Ntar yang lain pada denger!"

Sontak Lisa memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang lain yang mencoba menguping pembicaraan mereka. Andien hanya tersenyum simpul. Sejenak suasana di antara mereka berdua mendadak hening.

Lisa kembali mengunyah nasi goreng yang ada di mejanya. Ia menambahkan banyak sekali acar di atas tumpukan nasi berwarna merah menyala yang mengepul harum itu. Andien menatap penampakan nasi goreng yang menurutnya mengerikan itu.

"Lis, tumben makan acar segunung begitu?"

Lisa tidak menyadari nafsu makannya berubah lumayan drastis semenjak ia hamil. Lidahnya terasa hambar, merindukan rasa tajam.

"Kayaknya semenjak gue 'itu' gue jadi doyan makan acar pake banget."

"Iyalah aneh lo Lis, setau gue dulu lo nggak terlalu suka acar, tapi coba lo liat sekarang!"

"Apa lo mikir kalo orang – orang sekantor bakal tau gue lagi 'itu' kalo mereka ngeliat gue makan acar kayak gini?"

"Well, mungkin enggak tapi bisa jadi iya. Apalagi kalo Karina yang lihat. Mending kalo ngidam jangan di kantor deh Lis, mencurigakan soalnya!"

Perut Lisa memang belum menggembung, namun dari kebiasaan makannya yang mulai berubah bisa menarik kecurigaan pegawai kantor lain. Lisa masih berusaha menutupi kehamilannya ini sebelum ia memutuskan untuk menerima lamaran pernikahan yang ditawarkan oleh Oscar.

Lisa kemudian bertanya, memecah keheningan yang ada diantara dua wanita itu. "Menurut lo Ndien, sebaiknya gue pinjem uang ke siapa kalau sudah begini? Jangan bilang pinjam ke Oscar!"

"Gue cuma bisa bantu sedikit aja sih, mungkin separuh dari tabungan gue bisa gue pinjemin. Tapi sisanya lo pinjem yang lain aja. Gimana kalau pinjem si Damar? Dia kan rekan kerja sedepartemen dulu?"

"Aduh gue nggak enak lah sama Damar, ga terlalu dekat juga. Meski gue tau Damar pasti mau aja minjemin duitnya."

Dani Sihotang kembali menghampiri meja tempat di mana Lisa dan Andien sedang bersantap. Lelaki raksasa itu mendekatkan wajahnya ke telinga Lisa dan berkata, "Permisi maaf nona, Pak Presdir memanggil anda sekarang!"

Lisa hanya terdiam, menghentikan jemarinya yang menggenggam sendok dan garpu. Ia menatap Andien dengan tatapan curiga. Andien hanya mengangkat pundak, merespon gestur Lisa yang nampak kaget.

"Baiklah, sebentar lagi saya naik."

"Pak Presdir ingin nona Lisa ke ruangannya sekarang!" perintah Dani singkat.

Apa boleh buat, Lisa terpaksa meninggalkan sahabatnya dan makanan yang belum habis itu.

"Ndien, sampai ketemu nanti ya!"

"Good Luck Lisa!" Andien tersenyum tipis dan melambaikan tangan kanan yang menggenggam sendok.

Lisa mengikuti pria bertubuh kekar itu ke lift dan memasuki ruang presdir. Lisa menatap pria berambut pirang berkilau yang duduk di kursinya, terlihat sedang menautkan kedua jemarinya dan duduk dengan kaki yang tersilang. Lisa melangkah perlahan ke arahnya, pria bertubuh kekar yang tadi mengantarnya melangkah ke pintu dan menunggu di luar.

Lisa berdiri di hadapan Oscar yang sedang menatapnya dengan tajam. Kakinya sedikit gemetaran, namun setiap kali berhadapan dengan pria berambut emas itu tubuhnya selalu menggelenyar. Kenyataan bahwa hubungannya dengan pria berwajah barat dan bermata biru itu tidak lebih dari sekedar hubungan profesional antara CEO dengan sekretaris tidak mengurangi hasrat Lisa yang mengalir di dalam tubuhnya.

Lisa menelan ludah ketika ia tidak sengaja menatap bibir pria itu. Matanya menyisir wajah tampan Oscar. Bibir sensual itu membentuk senyum.

"Bagaimana, sudah selesai mengagumi wajah saya?" ucap Oscar dengan percaya diri. Pria itu bertopang dagu, suaranya rendah dan menggoda.

Sesaat berlalu sebelum Lisa sadar pria itu berbicara kepadanya. Lisa menelan ludah lagi, matanya kini menatap ke meja yang ada di depannya, malu mengakui bahwa Lisa telah memindai wajah Oscar.

"Silakan duduk Lisa, apakah kamu tidak pegal berdiri berdiam diri di sana?"

Lisa menggeser tubuhnya dan duduk di kursi di depan meja Oscar. Bibirnya berkedut, cemas, seakan ia telah melakukan sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh Oscar.

Ruangan itu, seperti biasanya, sangat sepi dan dingin.

"Anda ingin bicara dengan saya?" tanya Lisa dengan nada takut.

"Saya tadi mendengar kerusuhan di lantai dasar, apa betul demikian?"

"I.. Iya Pak." wanita itu menundukkan kepalanya.

"Bagaimana, sudah terselesaikan?"

"Sepertinya begitu Pak..."

"Lisa sayang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan wanita jalang itu lagi. Saya sudah urus semuanya. Sampai dia berani macam – macam denganmu di kantor ini." Pria itu mengambil jarak, walau sedikit tetapi cukup untuk menatap wajah Lisa lebih dekat. "Maka namanya akan saya hapus dari daftar karyawan!"

Bukan kali pertama Lisa dibuatnya diam dengan intonasi suara yang dingin dan sedikit kejam. Namun saat ini Lisa tidak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun selain mengangguk dan menggeleng. Lisa masih berusaha keras untuk menjaga mulutnya agar tidak sampai menceritakan Oscar bahwa dirinya sedang terlilit masalah finansial. Sampai ucapan soal pinjaman uang bocor sedikit saja bisa habis hidupnya!

"Bagus, karena saya mau memberimu sebuah penawaran." ujar Oscar singkat. Tangannya disilangkan.

"Gawat, apa yang diinginkan pria ini lagi!?" ucapnya dalam hati.

Lisa tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, lidahnya kelu, Pria ini benar – benar membuatnya kehabisan kata – kata. Lisa hanya mengangguk, mata hitamnya bertatapan dengan mata biru pria yang ada di depannya itu.

"Jadi butuh uang berapa untuk bayar pajak rumahmu?"

Kalimat itu terngiang – ngiang di telinga Lisa. Tidak ada gunanya menyembunyikan fakta bahwa dirinya sangat membutuhkan uang, tapi ia juga tidak ingin merepotkan atasannya itu untuk bersedia meminjamkan uang kepadanya. Apakah Oscar mengetahui soal pinjaman uang dari Karina? Apakah Karina sengaja mengadu kepada Oscar demi menyingkirkan dirinya dari kantor ini?

下一章