Tenang, Lohgawe. Anggap ini sebagai latihan.
Tubuh Lohgawe menggigil kedinginan. Ia bersama Ken Arok dan beberapa anak buahnya memacu kuda di lereng bukit. Lohgawe tahu mereka belum mendaki tinggi, tetapi bayangan bahwa ini adalah kaki Gunung Semeru membuat bulu kuduknya merinding. Sinar mentari senja menghiasi perjalanan Lohgawe dan kawan – kawannya, membuat hutan pinus dan cemara di sekeliling mereka memantulkan warna keemasan. Di kejauhan ia dapat melihat asap dari puncak Gunung Semeru. Sungguh ajaib.
Hanya sedikit khalayak yang mereka temui dalam satu jam terakhir. Ranu Pani merupakan perkampungan terakhir yang mereka singgahi. Setelah mengisi perbekalan, mereka bergegas memacu kuda kembali. Tidak ada pembicaraan panjang. Ken Arok merahasiakan tujuan perjalanan, baik dari segi tempat dan maksud. Terlihat bahwa perkumpulan ini sedang diburu oleh waktu. Lohgawe mau tidak mau menyiapkan diri jika harus memacu kuda menuju puncak Gunung Semeru.
Cuaca dingin semakin membuat tubuh Lohgawe menggigil. Pelan – pelan namun pasti, hutan pinus dan cemara membuka jalan lebih lebar. Selanjutnya Lohgawe tidak dapat memercayai apa yang dilihat oleh matanya. Sebuah danau luas dengan air yang sangat jernih, dihiasi dengan perbukitan pinus dan cemara di belakangnya. Sinar mentari sore memantul pada permukaan danau, membuat tempat bernama Ranu Kumbolo tersebut terlihat seperti danau dalam cerita dongeng. Kicauan burung dan bunyi gemerisik jangkrik menambah indah suasana.
Sebuah tongkat dan papan bertuliskan Ranu Kumbolo dalam bahasa Sansekerta tertancap di pinggiran danau. Setelah beberapa hitungan barulah Lohgawe menyadari bahwa banyak orang telah hadir di pinggir danau tersebut, selain dari perkumpulannya. Lohgawe dengan seksama memerhatikan mereka. Memakai pakaian kulit dan celana kain, penampilan orang – orang tersebut tidak jauh berbeda dengan kumpulannya. Ken Arok memberi tanda kepada anak buahnya untuk diam di tempat, namun kepada Lohgawe ia menyuruhnya untuk mengikutinya menuju perkumpulan orang – orang tersebut.
Matahari hampir padam ketika Lohgawe dan Ken Arok sampai pada tempat perkumpulan tersebut. Obor – obor telah siap untuk dinyalakan. Mendekati tempat perkumpulan tersebut, Lohgawe menyadari bahwa keadaan yang terjadi sama seperti kumpulan Ken Arok. Para pemimpin berkumpul di tengah, sedangkan pasukannya jauh mengamati dari belakang. Sepenglihatan Lohgawe, ia memperkirakan enam sampai tujuh pasukan berbeda hadir di tempat itu. Semuanya bandit – bandit pasar.
Jadi ini yang namanya rapat para bandit. Hehehe.
"Selamat malam, wahai para handai taulan, maafkan aku yang terlambat pada pertemuan ini. Aku hampir saja lupa seandainya Jayapati tidak mengingatkanku. Apa kabar hai semua kalian para bandit?" Ken Arok menyapa para pemimpin lainnya diakhiri dengan tawa basa - basi.
Seseorang bertubuh tegap, berambut panjang, bermuka kasar, dan memakai rompi kulit menjawabnya, "Tidak perlu minta maaf, Arok. Hentikan basa – basimu. Masih ada yang lebih parah darimu. Si musang kecil."
Ken Arok sedikit terkejut dan melihat ke sekeliling, "Kau benar, orang itu belum hadir."
"Tidak biasanya ia terlambat, padahal ia informan utama kita. Lebih daripada itu, bisakah kau jelaskan siapa orang di sampingmu itu."
"Orang ini adalah temanku. Perkenalkan, namanya adalah Lohgawe. Ia adalah seorang cendekiawan hebat dan sekarang menjadi penasihatku. Ia akan membawaku menjadi seorang raja Kediri."
Beberapa tawa kecil hadir di kepala para pemimpin. Lohgawe bahkan yakin mereka yang tidak tertawa sedang mengolok – olok dirinya di dalam hati. Seseorang bertubuh besar dan bermata kecil tidak tertawa namun perkataannya akan selalu diingat oleh Lohgawe.
"Terakhir kali seorang mpu membawa seorang raja naik ke singgasana kerajaan terpecah menjadi dua."
Lohgawe ingin menanggapi pernyataan itu namun sebuah bunyi deru yang sangat keras memecah percakapan yang sedang terjadi. Derap langkah kaki – kaki kuda menjadi sumber dari bunyi tersebut. Sama seperti kumpulan lainnya, selang beberapa saat seseorang dengan kuda putih menghampiri tempat para pemimpin.
"Akhirnya kau datang juga, musang kecil. Hampir saja pertemuan ini tidak bermanfaat jika kau tidak datang ke tempat ini." Si rambut panjang menyambut temannya.
"Maafkan aku, Candradimuka. Aku baru saja berkendara jauh dari daerah Prambanan. Situasi gawat sedang terjadi di sana. Beberapa detail khusus akan aku jelaskan."
Si musang kecil terengah – engah turun dari kudanya dan mengambil napas. Sesuai namanya, pipinya yang tirus dan tubuhnya yang pendek merupakan alasan mengapa ia dipanggil musang kecil.
Seorang tua berambut putih, kurus, dan memiliki banyak goresan di tubuhnya, menjawab, "Kau tidak perlu membuang waktumu menceritakan apa yang terjadi. Kami sudah mengetahui semuanya. Si kerajaan serakah, Sriwijaya itu hendak menginvasi tanah Medang, bukan? Sudah terlalu banyak berita di pasar bagaimana pinggiran Kekaisaran Khmer ditaklukkan dengan kekuatan laut Sriwijaya. Namun aku harap bukan itu beritamu."
Si musang kecil menjawab, "Sayangnya itulah beritaku, Norman Caraka. Raja Medang memang belum mengeluarkan pernyataan resmi berperang kepada rakyatnya, namun nampaknya desas – desus sudah berkembang terlalu jauh. Dan dewa menyertaiku, aku kebetulan bertemu dengan panglima perang Kerajaan Medang sebelum menuju kemari."
"Aku sedang minum – minum tuak di Pasar Kliwon dan menghitung hasil kemenanganku pada wahana kertas bergambar, ketika seorang bertubuh besar dan bermuka kasar menumpahkan tuaknya di atas mejaku. Ia yang salah namun ia sendiri yang hendak melayangkan bogemnya ke mukaku. Namun ia menahannya, ketika mendengarku berbicara, ia tahu dari logatku bahwa aku bukanlah asli penduduk tengah Pulau Jawa. Singkat cerita kami akhirnya terlibat percakapan panjang. Dari yang kuketahui orang ini memegang peranan penting di satuan angkatan perang Kerajaan Medang. Di akhir percakapan akhirnya aku mengetahui bahwa orang ini adalah panglima Kerajaan Medang!"
Kini semua anggota rapat mendengar sang musang kecil dengan seksama. Ia melanjutkan ceritanya.
"Aku berpikir bahwa aku tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Aku bertanya padanya mengapa ia berada di Pasar Kliwon dan minum – minum tuak, sedangkan dari desas – desus yang kudengar Kerajaan Medang berada dalam situasi panik setelah Kerajaan Sriwijaya mencanangkan perang terhadap Kerajaan Medang. Dengan angkuhnya ia menjawab, "Kerajaan sampah itu bukan tandingan kami! Namanya saja yang besar, namun kekuatannya tidak seberapa! Ha ha ha," Aku pun tidak ingin kalah. Aku mengakui bahwa aku adalah pemimpin kelompok pemberontakan di timur Pulau Jawa, dan akhir bulan ini akan melakukan serangan terhadap Sri Kameswara. Aku mengatakan bahwa seribu orang bandit berada di bawah kendaliku."
Semua anggota perkumpulan menatap tajam kepada si musang kecil. Ia sedikit mundur dari posisinya.
"Tenang kawan – kawan, aku hanya menggunakan bahasa perhalusan saja. Lanjut ke pokok persoalan. Sang panglima kemudian berubah menjadi serius. Ia menatap tajam ke arahku. Setelah sedikit berpikir ia menawarkan sesuatu yang tidak ada dalam pikiranku sebelumnya, "Daripada kau gunakan kekuatanmu itu sia – sia untuk menjatuhkan Kameswara, lebih baik kau bantu kami untuk mengusir penjajah dari tanah seberang." Aku akui aku sedikit tercekat dengan tawaran sang panglima dan hendak membuka suara untuk mengaku bahwa aku bukanlah siapa – siapa melainkan hanya pemimpin bandit pasar biasa. Namun sang panglima melanjutkan, "Aku menjanjikan lima puluh ribu saga emas bagi kalian. Aku tahu jumlah kalian banyak. Kebijakanmu sendirilah bagi – bagi seperti apa. Aku hanya memiliki uang segitu dari kas negara." Aku tak mampu berkata – kata, dan ia melanjutkan dengan suara berat yang tidak akan kulupa seumur hidupku, "Itu pun kalau Sriwijaya berhasil diusir dari tanah Jawa. Ha ha ha!"
Kini terjadi percakapan riuh rendah di antara pemimpin rapat. Duit lima puluh ribu saga emas sungguh menggiurkan. Aku yakin bandit – bandit pasar ini sulit menolaknya.
Namun nyawalah taruhannya.
Ken Arok membuka suara, "Duit lima puluh ribu saga emas sungguh besar. Kau yakin kau tidak salah dengar, hei musang kecil?"
"Tidak, kawan. Aku yakin karena aku bertanya berulang – ulang kepada sang panglima. Hingga pada akhirnya ia hendak melempar botol tuak kepadaku karena aku tidak yakin dengan perkataannya. Yakinlah, aku berkata jujur."
Indera kebohongan Lohgawe sedikit terangsang. Ketika seseorang berusaha meyakinkan bahwa ia berkata jujur, di saat itulah ia berbohong. Namun aku belum tahu dimana letak kebohongannya. Lebih baik biarkan ia berkata lebih dulu. Dan aku tidak suka menuduh orang sembarangan.
Seorang memakai sorban hitam dan syal berkata – kata. Suaranya ringan. Tatapan matanya serius.
"Kawan – kawan, jangan tergiur dengan tawaran ini. Kita tahu Kerajaan Medang tidak mungkin menang melawan Kerajaan Sriwijaya. Mereka kerajaan lemah. Mau diberikan seratus ribu saga emas pun aku tidak ingin melakukan misi ini. Ini sama saja dengan bunuh diri."
Keheningan melanda pertemuan. Semua pemimpin bandit terlihat berpikir. Setelah beberapa saat Norman Caraka menjawabnya.
"Kau benar, Mandalika. Ini sama saja dengan bunuh diri. Kelompokku pun tidak besar. Aku hanya memiliki lima puluh dua orang saja. Aku tidak ikut."
Seseorang bertubuh besar dan bermata kecil yang menyinggung perasaan Lohgawe pada awal pertemuan ikut manggut – manggut, "Aku setuju. Aku, Panji Lodeh, tidak akan ikut berperang ke arah barat."
Lohgawe tercekat dan harus sedikit menahan tawanya ketika mendengar nama sang pengejek. Lihatlah, namanya sendiri merupakan olok – olok.
Kini hanya tinggal kelompok Ken Arok, Candradimuka, musang kecil, dan seorang pemuda yang memiliki tampang biasa saja. Jika penilaian seorang Lohgawe diperlukan, pemuda ini bahkan tidak terlihat seperti seorang bandit pasar. Ia berpakaian rapi dan bersih serta berpenampilan segar. Dan ia belum bersuara.
Candradimuka membuka suara, "Aku masih bimbang. Tawaran ini menggiurkan. Memang aku memiliki bawahan dalam jumlah besar. Namun aku belum paham dengan kesempatan menang Kerajaan Medang. Aku lebih condong untuk mengatakan tidak."
"Bagaimana denganmu hai musang kecil, kau ikut atau tidak?" tanya Ken Arok.
"Aku tentu saja akan ikut. Aku sudah berteman baik dengan panglima Kerajaan Medang."
Ken Arok kemudian menarik lengan Lohgawe untuk berunding di sebelah perkumpulan. Ia berkata pelan agar tak terdengar oleh yang lainnya.
"Hanya si musang kecil saja yang mengikuti tawaran dari panglima perang Kerajaan Medang. Berikan aku saran. Apakah aku ikut atau tidak?"
Lohgawe terdiam. Ia melayangkan pandang kepada pasukan yang dibawa oleh si musang kecil.
"Apakah kau ingin ikut? Kau tahu kesempatan menang sangat kecil. Oleh karena itu semua pemimpin disini menarik diri. Namun jawab aku dengan terus terang. Apakah kau ingin ikut memerangi Kerajaan Sriwijaya?"
Ken Arok menatap ke bawah, beberapa saat kemudian ia menatap mata Lohgawe. Pada saat ini Lohgawe mengetahui bahwa keinginannya untuk tenar sudah mengalahkan rasa takutnya.
Lohgawe melanjutkan, "Baiklah. Beritahukan pada yang lain kau akan ikut. Hanya saja," ia terdiam. Ken Arok menatap Lohgawe, "Ada apa, brahmana. Beri tahu aku jika ada keraguan. Cepat!"
Lohgawe menjawab Ken Arok, "Aku mencium ada kebohongan yang dikatakan oleh si musang kecil."
Ken Arok terperanjat, "Apa?"
Lohgawe melanjutkan, "Pikirkan baik – baik. Ia adalah orang yang memberikan keterangan bahwa ada penawaran dari Kerajaan Medang. Kau percaya dengan semua yang ia katakan? Lihat, hanya ia sendiri yang menyatakan ikut. Aku melihat pasukannya, hanya terdiri dari dua puluhan orang saja. Candradimuka saja dengan pasukan seperti semut tidak berani menantang medan perang. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, namun aku tidak tahu apa dan tidak suka menuduh orang sembarangan."
Mata Ken Arok berapi – api. Lohgawe tidak menyangka bahwa ucapannya akan memancing emosi koleganya. Ken Arok membuka pedang dari sarungnya dan mengarahkan pada musang kecil. Seluruh anggota pertemuan terperangah dengan aksi Ken Arok. Si musang kecil terperanjat ketakutan.
"Kau berbohong, musang kecil! Ada yang kau sembunyikan. Cepat beritahukan kepada kami!"
Musang kecil menggeleng dengan cepat. Sementara itu riuh rendah terjadi pada kelompok musang kecil. Beberapa mulai mengeluarkan senjata pedang dan golok.
"Tidak ada yang aku sembunyikan, kawan. Semuanya aku beritahukan dengan kejujuran."
Kini Lohgawe ikut terlibat, "Oh ya? Beritahukan kepada kami nama panglima perang yang kau temui di Kerajaan Medang. Kau katakan kau sudah berteman baik dengannya."
Tidak mungkin seorang panglima yang berada dalam situasi perang minum – minum tuak di pasar. Ada – ada saja.
Musang kecil terdiam. Seluruh anggota pertemuan kini menatap sang musang kecil. Ia menghela napas.
"Baiklah. Aku akan beritahukan yang sebenarnya. Aku tidak bertemu dengan panglima perang Kerajaan Medang."
Kini semua pemimpin bandit menatap marah si musang kecil. Ia mundur ketakutan.
"Tapi aku benar – benar bertemu dengan wakil pasukan Kerajaan Medang. Namanya adalah Anggabaya. Ia katakan bahwa ia memiliki posisi tinggi di angkatan perang. Aku mengatakan bahwa aku bertemu dengan panglima untuk meningkatkan kepercayaan diri kalian dan mengikuti perang melawan Sriwijaya. Dan Anggabaya memang menjanjikan hadiah bagi kita."
Lohgawe memotong ucapan musang kecil, "Berapa? Jangan katakan lima puluh ribu saga emas."
Kini Candradimuka pun sudah mengeluarkan pedangnya. Beberapa pemimpin juga sudah mulai tidak terlihat sabar menghadapi si musang kecil.
Musang kecil menatap tanah, "Seratus lima puluh ribu saga emas."
Kini riuh rendah terjadi di pertemuan para pemimpin. Lohgawe tersenyum. Kesimpulan yang ia ambil ternyata benar. Ken Arok dan Candradimuka menyarungkan pedangnya.
"Kau seharusnya malu, musang kecil, kau ingin mengambil semuanya untuk dirimu sendiri. Kita beruntung disini, ada orang seperti Lohgawe yang mampu menguji orang dan mendeteksi kebohongan seperti yang kau lakukan. Aku harap kau tidak mengulangi kebohongan dan kebodohan seperti ini lagi."
Masih tertunduk, si musang kecil mengangguk pelan.
Norman Caraka berujar, "Kalau tidak karena seratus lima puluh ribu saga emas yang kau katakan, kepalamu sudah tidak berada di atas lehermu, kawan. Tunggu, apakah kau berkata jujur mengenai hadiah dari tanah sebelah?"
Masih ketakutan, si musang kecil dengan cepat mengangguk, namun Norman Caraka menatap Lohgawe meminta persetujuan. Dengan sinyum simpul Lohgawe mengangguk, tanda bahwa kejujuran telah dikatakan. Si musang kecil menghela napas lega.
Candradimuka kembali membuka pemungutan suara, "Kini jumlah hadiah bertambah menjadi tiga kali lipat dan aku harus mempertimbangkan kembali keputusanku. Jumlah uang yang ditawarkan sangat besar. Ini kesempatan sekali seumur hidup. Aku akan ikut."
Ken Arok menimpali, "Aku juga ikut."
Panji Lodeh tidak mau kalah, "Aku pun ikut."
Mandalika menggeleng – geleng, "Hadiah bertambah menjadi tiga kali lipat dan kalian lupa akan nyawa sendiri. Aku masih dari keputusan awal. Aku tidak akan ikut. Lagipula aku takut si Anggabaya ini hanya mengada – ada saja. Semuanya terlihat mencurigakan. Mengapa ia tidak meminta tolong kepada kerajaan sebelah seperti Sunda atau angkatan perang Kediri?"
Semuanya terdiam. Beberapa saat kemudian sang pemuda yang belum bersuara dari awal melangkah maju ke depan.
"Kerajaan Medang sudah mengirimkan pesan kepada Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kediri. Hal ini wajar karena jika Medang lenyap, tentu kerajaan sebelah – sebelahnya akan menerima dampak berikutnya. Dari informasi yang kuperoleh, Kerajaan Sunda menolak terlibat karena mereka menganggap hal ini adalah perselisihan keluarga, sedangkan Kerajaan Kediri masih mempertimbangkan akan memberikan bantuan atau tidak. Kemungkinan mereka akan mengirim satu atau dua ribu pasukan berkaki."
Mandalika dan pemimpin – pemimpin lainnya terkagum – kagum mendengar penjelasan sang pemuda. Lohgawe pun menyukai pemuda ini. Wawasannya luas, pintar, dan terlihat tanggap terhadap perkembangan informasi.
Tunggu, apakah ia mengetahui bahwa musang kecil berbohong dari awal? Kalau benar, sialan sekali.
Mandalika menanggapi sang pemuda, "Penjelasan yang bagus, Regiastara. Sebagai anggota baru kemampuanmu tidak mengecewakan. Malah lebih baik dari kami para bandit pasar tua. Namun aku tetap pada pendirianku. Nyawa lebih berharga daripada uang. Aku memikirkan anak istri yang akan ditinggalkan jika anggotaku ikut perang. Tidak dan terima kasih."
Norman Caraka pun ikut berujar, "Aku pun sepertimu, Mandalika. Aku sudah tua dan sebagian besar dari anggotaku sudah di atas umur tiga puluhan. Kami memiliki tanggung jawab kepada keluarga. Berbeda dengan kelompok Arok, mereka dipenuhi dengan pemuda – pemuda yang bersemangat. Kelompokku tidak akan ikut."
Candradimuka akhirnya mengambil kesimpulan, "Baiklah, kelompok yang ikut adalah kelompokku, Ken Arok, musang kecil, dan Panji Lodeh."
Ken Arok bersuara, "Bagaimana denganmu, Regiastara? Kau belum mengambil keputusan."
Sang pemuda tersenyum, "Tentu saja aku ikut, Arok."
***
Bau ikan bakar yang menyengat membangunkan Lohgawe dari tidurnya. Secercah cahaya matahari menembus celah pada tendanya. Dengan kepala berat Lohgawe memaksakan diri bangkit dan menuju keluar tenda. Sebuah pemandangan luar biasa indah menyambutnya seketika ia menjejakkan kakinya di luar tempat peristirahatannya: sinar matahari memantul pada permukaan danau Ranu Kumbolo, dataran pohon pinus yang berwarna hijau kekuningan, serta langit biru tanpa awan yang membentang sejauh mata memandang. Semilir angin sejuk ditambah bunyi – bunyian alami dari alam menambah rasa syukur Lohgawe oleh keindahan yang diciptakan oleh sang dewa.
Kini bau ikan bakar membuatnya sadar akan tujuan pertamanya keluar dari tenda. Jayapati, Suryani, dan Bolgun terlihat mengelilingi perapian dengan ikan bakar berada di atasnya. Bolgun bahkan sudah menyantap beberapa ikan bakar, terlihat dari tumpukan duri di sampingnya. Lohgawe melangkah menuju perkumpulan. Jayapati yang menyadari kehadiran Lohgawe memberikan tempat duduk di sampingnya dan memberikan sebuah ikan bakar yang telah matang. Dengan lahap Lohgawe menyantap ikan bakar tersebut. Suryani membuka percakapan.
"Bagaimana menurutmu tempat ini, brahmana, indah bukan?"
Lohgawe dengan cepat mengangguk dan menanggapi, "Betul, kawan, jarang sekali aku melihat pemandangan seperti ini. Di tempatku terdahulu yaitu Pasar Remuk tidak dikelilingi oleh pegunungan. Terakhir aku melihat pemandangan seperti ini adalah di tempat asalku yaitu Tamil, India. Itupun aku masih berumur tujuh tahun."
Suryani dan Jayapati mengangguk – angguk. Sementara Bolgun masih terlihat sibuk dengan makanannya. Lohgawe menyadari sesuatu. Kelompok Ken Arok telah membuat beberapa perapian ikan bakar, namun kehadiran sang pemimpin tidak terlihat.
"Omong – omong, aku tidak melihat pemimpin kita. Dimanakah Ken Arok berada?"
Jayapati menanggapi, "Kami pun tidak melihatnya sejak pagi ini. Akhirnya kami berinisiatif untuk mengambil sendiri sarapan kami. Dari danau tentunya, hahaha."
Sebuah lenguhan hadir dari mulut Bolgun karena ia ingin menanggapi ucapan Jayapati namun daging ikan di mulutnya menghalangi suaranya.
Selesai menyantap dua ikan bakar dan merasa perutnya sudah penuh terisi, Lohgawe berencana untuk mengelilingi tepian danau Ranu Kumbolo. Ia merasa sayang jika kesempatan seperti ini disia – siakan. Jayapati dan Suryani menawarkan diri untuk menemaninya berkeliling namun Lohgawe menolaknya karena ingin berkelana seorang diri.
Sungguh indah memang pagi ini. Pemandangan yang luar biasa dan jarang sekali aku memiliki kesempatan seperti ini. Masih pagi namun perut sudah terisi dengan makanan yang lezat. Dan kedamaian. Ah sungguh nikmat sekali berkah dari para dewa ini.
Tidak lama Lohgawe melangkah, ia telah sampai kepada suatu perkumpulan kemah. Bau ikan bakar dan daging lainnya menyengat hidungnya. Dari bangkai rusa di samping salah satu tenda Lohgawe mengetahui bahwa daging lainnya itu adalah rusa yang telah diburu oleh kelompok ini. Seorang berambut putih mengenal Lohgawe dan memanggilnya dari kejauhan. Norman Caraka.
"Brahmana! Kemarilah, mari makan ikan bakar dan daging rusa ini bersama kami!"
Mendengar namanya dipanggil, Lohgawe tergesa – gesa mendatangi sumber suara.
"Selamat pagi, tuan Norman Caraka, dewa menyertaimu."
"Selamat pagi juga, kawan, dewa menyertaimu juga."
"Aku sebenarnya sudah menyantap ikan bakar di perkumpulanku, namun satu ikan bakar lagi nampaknya masih sanggup aku lahap. Atau daging rusa." jawab Lohgawe diikuti dengan tawa Norman Caraka.
Norman Caraka membuka percakapan, "Pagi yang indah, brahmana, jarang sekali kami mendapat pemandangan seperti ini. Memang Kahuripan dilewati oleh Kali Brantas. Namun pemandangan sungai dan danau berbeda. Selain itu seringkali air sungai marah dan meluap menuju daratan."
Lohgawe menanggapi, "Jadi kau berasal dari Kahuripan?"
Norman Caraka mengangguk, "Betul. Lihatlah anggota kami, semuanya sudah berumur, bukan? Sesuai dengan tempat tinggal kami, dipenuhi oleh bangunan – bangunan tua dan bersejarah. Kahuripan memang cocok bagi mereka yang ingin tinggal dan menikmati hari tua."
Akhir kalimat itu diikuti dengan tawa yang dipaksakan. Lohgawe menyenangi orang ini. Ia terlihat ramah dan menikmati hidupnya. Sama sepertiku.
"Tapi bukankah kalian ini adalah preman pasar?" tanya Lohgawe.
"Ya benar, namun kami tidak memakai cara kekerasan seperti yang sering kalian lakukan. Kami lebih senang dengan memakai 'ancaman'. Kami menyelidiki setiap orang, mencari kelemahan mereka, dan menulisnya dalam buku catatan kami. Jika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, atau seseorang yang ingin menyewa kami, kami dapat melakukan 'ancaman' terhadap orang yang menjadi target jika rahasia mereka tidak ingin terbongkar. Mudah dan tidak menghabiskan tenaga, bukan?"
Penjelasan Norman Caraka membuat Lohgawe takjub. Ada cara mudah untuk membuat orang menyerah. Ya, seperti itu. Perlu diberitahukan kepada Ken Arok.
Lohgawe mengalihkan pokok pembicaraan. "Bagaimana kehidupan sehari – hari di kabupaten Kahuripan?"
"Nampaknya kau tertarik untuk berkelana bersama kami. Jika kami menarikmu dari Ken Arok, maukah kau tinggal dan bekerja untuk kelompok kami? Saya, Norman Caraka, berjanji akan menjamin hidupmu hingga akhir hayat. Kemampuanmu untuk menguji dan menilai orang sungguh bermanfaat bagi kami."
Dengan cepat Lohgawe menggeleng, "Tidak akan, tuan besar Ken Arok tidak akan setuju." Perkataan terakhir diikuti dengan tawa oleh sang pemimpin kelompok.
"Baiklah, daku hanya bergurau. Kau tahu sendiri Kahuripan berada di dataran Kali Brantas. Tentunya kehidupan kami sebagian besar berasal dari sungai tersebut. Hasil perikanan kami besar. Selain itu karena berstatus sebagai kotaraja negara terdahulu, banyak kapal yang berdagang di pelabuhan Hujang Galuh. Hujang Galuh bahkan telah memisahkan diri menjadi kabupaten tersendiri."
"Kau sempat merasakan Kahuripan saat menjadi kotaraja Kerajaan Kediri?"
"Maksudmu saat kerajaan bernama Jenggala?"
Lohgawe mengangguk.
Norman Caraka menghela napas seakan hendak bercerita panjang lebar, "Rambutku ini memang sudah putih. Namun bahkan aku tidak sempat melihat raja terhebat di tanah timur Pulau Jawa menyatukan kedua kerajaan. Aku lahir ketika Gandra berada di singgasana. Dan sekarang Kertajaya menantikan Kameswara untuk menyerahkan pucuk pimpinan kerajaan kepadanya. Daha tetap akan menjadi pusat kerajaan dan Kahuripan tetap akan menjadi kota tua yang menyenangkan."
Sayang sekali. Padahal aku ingin mengetahui kebijaksanaan dan kharisma seorang pemimpin bernama Jayabaya.
Usai menyantap daging rusa Lohgawe memohon diri dan meneruskan perjalanannya. Ia menyusuri danau, namun menghindari untuk bertemu dengan perkumpulan – perkumpulan lain karena ia tidak yakin masih ada ruang kosong di perutnya. Ia terus berjalan hingga pada suatu tempat dimana rumput, alang – alang, serta semak belukar menghalangi pemandangannya. Jauh di belakang ia melihat celah, seperti gua, dan asap yang mengepul berasal dari gua tersebut. Ia memberanikan diri untuk melangkah menuju gua dan melihat siapa yang berada di dalamnya.
Sebuah sosok yang dikenalnya berbalik ketika Lohgawe melangkah masuk ke dalam gua. Ia adalah sang pemimpin, Ken Arok. Sebuah sosok lain memberi salam kepada sang brahmana. Sang pemuda, Regiastara.
"Selamat pagi, brahmana. Dewa menyertaimu."
"Selamat pagi, tuan. Dewa menyertaimu juga."
Ken Arok juga menyambut Lohgawe, "Selamat pagi, brahmana, kau lihat aku sedang berbincang – bincang dengan temanku ini. Mari duduk bersama, siapa tahu wawasanmu berguna dan bisa menandingi pemuda ini."
Sebuah jagung bakar kini tersaji di hadapan Lohgawe dan ia tidak bisa menolak bau harum yang menyengat hidungnya. Ken Arok membuka percakapan, "Kau memutus saat kami sedang seru berbicara. Lanjutkanlah, Regiastara, apakah menurutmu Kerajaan Sriwijaya akan menguasai nusantara?"
Lohgawe tercekat. Pertanyaan macam apa ini? Terlalu lurus. Bahkan akupun tidak terpikir hal itu ketika berbincang dengan Norman Caraka. Namun ini menarik. Mari kita lihat sejauh apa Regiastara bisa berkata – kata.
"Baiklah kawan, menurutku secara pribadi jika mereka tetap dalam kecepatan menyerang seperti sekarang, mereka akan dapat menguasai nusantara dalam waktu kurang lebih dua puluh tahun ke depan. Hanya ada dua kerajaan yang dapat menandingi kekuatan perang Kerajaan Sriwijya pada saat ini, yaitu Kerajaan Kediri dan Kutai. Kekaisaran Khmer sedang dalam proses keruntuhan dan Medang adalah langkah selanjutnya. Namun aku yakin, Medang adalah pintu gerbang dari semua ini. Jika serangan Sriwijaya dapat ditahan di Medang, atau dengan kata lain Kerajaan Medang dapat mengusir Sriwijaya, maka Kerajaan Sriwijaya tidak akan menyerang kerajaan – kerajaan lainnya dalam waktu lama. Mengapa aku bisa katakan seperti ini? Sumber daya mereka sudah hampir habis. Butuh waktu untuk menumbuhkan pepohonan yang menjadi sumber untuk membangun kapal laut mereka. Sepengetahuanku, mereka membabat habis hutan utara Jambi sebagai bahan baku kapal laut. Maka aku bisa katakan, jika kapal laut yang mereka miliki sekarang dihancurkan, lebih dari setengah kekuatan Kerajaan Sriwijaya akan lenyap."
Ken Arok berdecak kagum mendengar penjelasan Regiastara sementara Lohgawe hanya bisa terperangah dengan jagung bakar berada di depan mulutnya. Ken Arok menyenggol temannya, "Sudah kubilang, pemuda ini berwawasan luas dan menarik."
"Lanjutkan, kawan. Menurutku bantuan kita tidak akan berguna bagi Kerajaan Medang. Pertemuan kemarin hanyalah omong kosong belaka. Kerajaan Sriwijaya memiliki hampir lima ratus ribu prajurit. Perkumpulan bandit ini jika dijumlah tidak akan mencapai seribu. Misi ini hanyalah bunuh diri semata. Apakah kita dapat memenangkan pertempuran ini?"
Regiastara mengernyit, "Ada beberapa hal yang aku masih belum jelas. Lima ratus ribu prajurit? Dari mana sumber yang menyebutkan Kerajaan Sriwijaya memiliki seratus ribu prajurit?"
Ken Arok membuang pandangan, "Aku hanya mengira – ngira saja, kawan. Lima ratus ribu adalah angka yang cukup besar."
Regiastara menggeleng – geleng, "Dalam pertempuran, jumlah prajurit sangatlah penting. Hal ini menentukan seorang juru taktik apakah ia bisa mengalahkan musuhnya atau tidak. Jika tidak maka ia bisa mengirim utusan untuk berunding dan mencapai kata sepakat. Jika tidak maka perang tidak dapat dihindarkan lagi."
Lohgawe pun kini berdecak kagum.
"Dan tidak, teman, Kerajaan Sriwijaya tidak memiliki hingga lima ratus ribu prajurit. Angka kasarku adalah seratus ribu, termasuk angkatan laut dan pasukan berkuda."
"Satu hal lagi yang mengganjalku, Ken Arok. Kau sendiri mengatakan pertempuran ini adalah misi bunuh diri. Mengapa kau tetap mengajukan diri ke medan perang?"
Ken Arok kini menatap Regiastara dengan tajam. Mata itu adalah mata yang sama ketika Ken Arok meminta persetujuan Lohgawe untuk maju ke medan perang.
"Aku ingin terkenal, Regiastara. Aku ingin namaku dikenal sebagai pengusir Kerajaan Sriwijaya dari tanah Jawa. Suatu hari di masa depan semua orang dari seluruh pelosok nusantara ingin menamakan anaknya Ken Arok sebagai peringatan terhadap seorang pahlawan."
Regiastara tersenyum.
"Jadi katakanlah, Regiastara, akankah aku mati atau hidup di pertarungan ini?"
"Sama denganmu, akupun ingin dikenal. Ambisiku adalah masuk ke dalam tatanan kerajaan dan mencapai posisi tinggi. Mengenai kemungkinan menang, bisa aku katakan dua pertiga kemungkinan menang ada di pihak Sriwijaya. Hanya pertahanan yang baik dan tangguhlah yang akan menyelamatkan Kerajaan Medang. Dan aku tidak yakin Joko Wangkir, panglima perang Kerajaan Medang, memiliki taktik perang yang cukup baik untuk menghalau para penjajah. Jadi bisa kubilang, kau kemungkinan besar akan mati disana, Ken Arok."
Lohgawe menggeleng – geleng. Ia tahu dari awal kebohongan musang kecil.
Ken Arok menarik pedangnya dan mengacungkan ke arah Regiastara. Baik Regiastara dan dan Lohgawe terperanjat.
"Aku, Ken Arok, tidak akan mati konyol di tengah – tengah Jawa. Tidak!"
Ia menyarungkan pedangnya dan beranjak pergi sembari memberi sinyal kepada Lohgawe untuk mengikutinya. Regiastara kembali duduk dan menikmati jagung bakarnya. Sebelum beranjak pergi, Lohgawe bertanya kepada Regiastara.
"Siapakah dirimu, wahai pemuda, yang memiliki pengetahuan sangat luas?"
Regiastara tersenyum, "Aku bukan siapa – siapa, brahmana. Hanyalah pemuda biasa."
"Dari manakah asalmu?"
"Daha."