webnovel

#Bagian 19 Ibu I: Apa akan baik-baik saja?

"Adiraja Bima sudah mengakui perbuatannya. Dia juga menceritakan semuanya." Iwata kembali menemui Hazim di ruang introgasi.

Hazim tidak menanggapi. Hanya helaan nafas yang terdengar.

"Orang tuamu menjualmu pada seseorang untuk biaya operasi adikmu yang terserang kanker tulang. Orang itu ternyata adalah salah satu anggota sindikat perdangangan organ manusia. Jika saja saat itu polisi terlambat melakukan operasi penggerebekan, jika saja terlambat… entah bagaimana jadinya kamu," tambah Iwata.

"Haruskah aku berterima kasih?" Hazim menanggapi sinis.

Hazim yang sebelumnya mengalihkan pandangannya, menatap Iwata. Nada ucapanya datar, tapi tatapannya menantang, seolah mengatakan 'lantas kenapa?' dengan seringai khasnya yang menyebalkan.

Atau… Iwata membacanya dengan cara yang berbeda 'itu memang menyedihkan, tapi aku tidak merasa perlu dikasihani.'

"Merasa tidak diinginkan, dihianati oleh keluarga sendiri. 'Apa aku juga bukan anak mereka?' Pertanyaan yang sering kamu tanyakan ke dirimu sendiri, iya, 'kan?"

Hazim masih menatap Iwata dengan tatapan datar, lurus ke wajah Iwata. Ia masih tidak menanggapi, tidak merespon. Hening.

Masih terdiam cukup lama sampai akhirnya tatapan Hazim melunak. Ia tiba-tiba tertunduk. Ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya kemudian menatap ke arah lain.

"Dihianati oleh orang seperti itu yang membuatku bisa bertahan dan tumbuh kuat seperti saat ini." Hazim berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

Hazim berusaha tersenyum meski tatapannya terlihat sedih. Kali ini benar-benar sedih. Kelopak mata atas rendah, sudut bibir tertarik ke bawah, dan rahang naik. Sedih yang sebenarnya.

"Ini bukan tumbuh kuat, tapi caramu bertahan setelah melarikan diri!" tandas Iwata. "Dan lagi orang tuamu tidak tahu kalau mereka memberikanmu pada orang yang salah. Mereka berpikir kamu akan mendapat kehidupan lebih baik jika dirawat orang lain," tambah Iwata.

"Pak polisi!" Hazim menegaskan suaranya. "Aku belajar sesuatu yang penting setelah kalian menangkap dan mengurungku. Orang yang sudah berbuat salah tidak peduli alasan apa pun yang diucapkan, salah tetap saja salah. Dan lagi, sudah sejak lama aku tidak peduli dengan apa pun alasan mereka. Aku tidak pernah bertanya dan aku juga tidak ingin tahu."

Hazim bukannya tidak mengerti maksud dari semua kalimat yang coba Iwata sampaikan, tapi Hazim menutup diri untuk mengerti. Ia masih terlalu marah dengan keadaan yang pernah menimpanya, bahkan hingga detik ini.

Hal mengerikan apa yang telah keluarga barunya lakukan tidak mungkin terlupakan seumur hidup. Seolah tidak cukup baruk, ia jatuh ke tangan mafia perdagangan organ.

Berdamai dengan masa lalu adalah sesuatu yang mustahil. Memaafkan tidaklah mungkin. Toh setelah semua yang terjadi orang tuanya tetap tidak pernah muncul.

Iwata beranjak dari duduknya. Ia sudah cukup dengan semua hal yang ingin dikatakannya.

"Pak polisi," panggil Hazim saat Iwata sudah mencapai pintu ke luar. "Apa ibu… akan baik-baik saja?"

Iwata menghela nafas. Ia mengerti siapa yang Hazim maksud dengan panggilan ibu. "Jika benar kamu menyayanginya, bukankah dari awal seharusnya kamu menjaga perasaannya."

Hazim kembali tertunduk dengan tatapan mata kehilangan fokusnya.

Di ruangan lain, Haikal juga datang untuk berbicara dengan Arjuna Zeroun. Tidak hanya bicara karena ia juga membawa sebuah novel dan pena.

"Aku selalu memperlakukan pengemarku dengan baik, tanpa terkecuali," kata Arjun setelah menandatangani novel yang Haikal bawa.

"Ini memang pertama kalinya saya membaca novel dan menyukainya jadi saya tidak mempermasalahkan disebut penggemar."

Arjun hanya menanggapi kalimat Haikal dengan tersenyum enggan.

"Menurutmu, seandainya Light bertemu dengan L lebih dulu dibanding Death Note, apa akan ada yang berubah?"

"Mungkin," jawab Arjun sekenanya. "Tapi... seandainya Light tidak memiliki Death Note, L tidak akan pernah menemukan rival yang sebanding dengannya dan cerita Death Note mungkin akan berakhir membosankan."

Haikal mengangguk, setuju dengan pemikiran Arjun.

"Kami sudah menemukan dari mana kalian mendapatkan racun dan kami juga sudah menangkap orang itu. Adiraja Bima." Haikal beralih pada kasus, cukup untuk basa-basi singkatnya.

Arjun tersentak. "Ibu, bagaimana Ibu?" tanya Arjun cepat.

"Ditinggal anak-anak dan suaminya menurutmu bagaimana? Saat akhirnya mengetahui apa yang sudah anak-anak dan suaminya perbuat, apa menurutmu masih bisa baik-baik saja?" Haikal menanggapi dengan balik bertanya.

Arjun tertunduk sedih.

"Oke, pertanyaan terakhir," kata Haikal sebelum meninggalkan Arjun. "Kenapa pola waktu kejahatan setelah korban kesembilan berubah?"

"Karena..." Arjun sebenarnya tidak ingin menjawab, tapi sebuah kata sudah terlanjur ia ucapkan. "Karena meski mereka dibunuh, yang lainnya tetap tidak berhenti. Untuk menghabisi manusia-manusia sampah itu, tidak ada pilihan selain meningkatkan penyerangan."

Tatapan mata Arjun dan Haikal saling bertemu.

"Menyimpan dan sesekali memandangi kuku dari manusia-manusia yang kamu sebut sampah. Siapa yang lebih tidak menyadari posisinya?"

Bola mata Arjun bergerak ke sisi kiri atas –mengingat kembali perasannya saat memandangi kuku para korban yang telah dibunuhnya, dan ke kiri bawah –berdialog dengan dirinya sendiri, berpikir jawaban seperti apa yang akan ia berikan.

"Pertanyaan terakhir sudah terjawab, 'kan?" kata Arjun memilih tidak menjawab.

Pada akhirnya kasus bisa terselesaikan sebelum batas waktu yang ditetapkan Pimpinan. Mereka merasa lega, tapi tidak sekali pun terdengar sorak-sorai penuh suka cita. Mereka yang menyelidiki latar belakang pelaku, menangkap, dan berinteraksi langsung ikut terpengaruh secara emosional.

Rasa sakit, perasaan dikhianati, sampai akhirnya jatuh ke tempat yang salah. Ini kejahatan yang menghasilkan buah kejahatan lainnya. Rantai.

Setelah penangkapan selesai, tim khusus sibuk duduk manis di depan komputer masing-masing, membuat berita acara, menyelesaikan laporan.

Selanjutnya setelah semua berkas kasus lengkap, bersama alat bukti, dan tersangka akan diserahkan ke jaksa penuntut umum. Ketika itulah tugas mereka baru benar-benar selesai.

"Ah... ekspresi Yuda yang menghawatirkan ibu angkatnya benar-benar mengganggu saya," komentar Huda di sela-sela suara tuts komputer.

"Manusia-manusia sedingin itu bisa juga terlihat manusiawi di sisi yang berbeda," Haikal menanggapi.

"Satu sisi mereka adalah anak-anak yang baik, tapi di sisi lain mereka manusia berbahaya dalam masyarakat," komentar Huda lagi.

"Tidak cukup lahir dari keluarga yang salah, mereka juga bertemu dengan dokter yang salah. Ini bagian menyedihkannya," kata Haikal lagi.

"Kalau bukan Adiraja Bima… kira-kira mereka akan berakhir seperti apa?" Iwata berhenti mengetik sesaat untuk ikut memberi tanggapan.

Tidak ada jawaban, tidak ada tanggapan. Hening, karena menang hanya ada mereka bertiga dalam ruangan.

Jika bukan Adiraja Bima, apa mereka bisa membuka hati. Jika bukan Adiraja Bima, apa mereka akan memiliki kepercayaan pada orang lain. Jika bukan Adiraja Bima, apa mereka bisa bertahan.

Pada akhirnya tidak ada jawaban untuk menjawab pertanyaan Iwata. Ketiganya menghela nafas bersamaan.

"Akan selalu ada alasan untuk melakukan kejahatan. "Dari mengatas namakan ketidakadilan sampai tidak ada pilihan lain," kata Haikal untuk terakhir kalinya.

Obrolan singkat selesai. Mereka kembali sibuk menyelesaikan laporan. Suara jari yang menari-nari di atas tuts komputer menjadi suara-suara yang mengisi kekosongan, bersaing dengan tik-tik jam dinding.

Begitu laporan selesai, mereka sepakat untuk mencari makan bersama. Iwata menyarankan kepada Haikal untuk mengajak ketua tim. Tapi seperti kebiasaan yang sudah-sudah, ketua tim menolak ajakan dengan segala maaf. Lebih memilih pulang dan makan di rumah bersama anak dan istrinya.

Tempat makan yang telah disepakati ketiganya adalah tempat yang sama dengan tempat Sakhi bekerja. Mereka sengaja datang ke kafe selain untuk mengisi perut, juga untuk menemui Sakhi.

Kasus telah selesai dan pelakunya telah tertangkap. Sakhi memberi banyak petunjuk dan aksinya terakhir kali yang tergolong nekat juga banyak membantu. Mereka akan berterima kasih secara langsung.

Pengunjung kafe tidak seramai hari-hari biasanya. Hari belum terlalu larut namun meja-meja sudah banyak yang kosong. Mungkin karena bukan hari libur atau mungkin karena bisnis kuliner tidak selalu berada di atas angin. Ada banyak pesaing.

Iwata, Haikal, dan Huda telah memesan makanan, namun mereka tidak juga melihat Sakhi menampakkan diri. Iwata celingukan ke sana-kemari tapi tetap juga tidak terlihat tanda-tanda keberadaan Sakhi.

Rin yang kebetulan bertugas mengantar minuman langsung diserang Iwata dengan pertanyaan.

"Sakhi?" ulang Rin. "Mendadak tadi dia minta izin libur tadi."

"Kenapa? Apa ada masalah?" Iwata bertanya lagi.

Rin menggeleng tidak tahu. "Urusan keluarga katanya."

Iwata akan bertanya lagi, tapi Haikal berdehem. Iwata akhirnya mengurungkan niatnya, menahan diri.

Setelah Rin kembali ke dapur, Haikal dan Huda senyum-senyum jahil. Iwata mengerti apa maksudnya dan ia tidak akan terpancing provokasi Haikal atau mulai meributkan hal-hal tidak penting. Pikiran Iwata sepenuhnya tertuju pada Sakhi.

'Jika benar urusan keluarga, kenapa minta izi begitu mendadak.'

下一章