webnovel

#Bagian 17 : S.

Semua kembali ke kursinya setelah introgasi dengan Yuda Saputra berakhir. Tidak ada wajah antusias yang berseri-seri meski telah menangkap pelaku yang selama ini mereka kejar. Lelah, penat.

Masih ada satu tanda tanya besar yang belum terjawab. Mereka masih harus berpikir meski sudah terlalu lelah. Kasus begitu banyak memakan waktu, memainkan perasaan, dan menguras emosi.

Di mejanya, pandangan Iwata lansung terarah pada catatan kecil yang tertempel di layar komputernya. Catatan mengenai Kira yang tempo hari Sakhi berikan padanya.

Iwata amati lagi setiap kata yang tertulis di kertas. Setiap kata, dan matanya selalu kembali pada kata Shinigami. Nama yang berada di puncak teratas. Dewa kematian yang menjatuhkan Death Note ke dunia manusia.

Shinigami adalah kata kuncinya. Semua dimulai setelah ia menjatuhkan Death Note.

Iwata merasa ini adalah petunjuk penting. Pasti ada Shinigami dibalik Kira. Ada satu orang di belakang ketiga pembunuh. Orang yang seharusnya memegang peran lain yang tidak kalah penting.

Mulai berkonsentrasi, Iwata menyatukan semua keterangan, merangkai semua cerita kehidupan dari ketiga pelaku. Berfikir keras. Pasti ada, sesuatu yang membuat mereka bertemu sebelum ini, yang menghubungkan mereka pada seseorang. Pada inisial S.

"Pak polisi, kalau kalian mau mendapat jawabannya seharusnya kalian berusaha lebih keras lagi."

Tiba-tiba kalimat mengejek Hazim terdengar di saat yang paling tidak diinginkan. Wajahnya, nada bicaranya. Iwata ingin berkonsentrasi penuh, berpikir, tapi kalimat Hazim justru terngiang berkali-kali. Iwata menggeram. Ia benci diejek seperti ini, di saat seharusnya ia fokus berkonsentrasi.

"Huda, bisa lihat catatan konsultasi Yuda?" Iwata beralih pada Huda.

Catatan konsultasi yang sudah Huda bungkus untuk dijadikan satu bersama alat buti lain, dibuka lagi dan diberikan pada Iwata.

Iwata tidak membaca atau membuka-buka keseluruhan catatan. Ia hanya memerlukannya untuk memastikan sesuatu, dan tepat seperti dugaannya. Psikiater yang menangani Yuda Saputra dan psikiater Arjuna Zeroun, sama. Adiraja Bima.

"Sudah? Begitu saja?" Huda heran karena Iwata begitu cepat membaca isi catatan dan mengembalikannya.

"Di mana kamu simpan catatan nomor Hp yang waktu itu saya berikan."

"Eh, yang mana?" Huda tidak ingat.

"Yang dicatat di kertas buku. Nomor Hp Bu Fatimah, kepala panti tempat Hazim pernah tinggal," jelas Iwata.

Huda mulai mencari. Ia yakin menyelipkan di dalam buku saku miliknya. Tapi tidak ada. Ia lupa dimana meletakkan buku sakunya.

Tidak, tidak. Kertas berisi nomor ponsel tidak jadi Huda selipkan di buku sakunya. Karena ada kemungkinan mereka akan menghubungi Bu Fatimah lagi sebelum kasus terselesaikan, ia batal menyelipkannya di buku saku, takut jatuh.

Ah! Huda menyelipkannya di dalam dompet.

"Iwata, kamu tahu sesuatu?" Haikal menimpali dari mejanya.

Iwata menjelaskan secara singkat mengenai inisial S dan kemungkinan adanya orang yang menjadi penghubung antara Arjun, Hazim, dan Yuda.

Dari ketiga pelaku, satu-satunya kesamaan adalah pernah dirawat seorang psikiater. Fakta bahwa psikiater yang merawat Arjun dan Yuda sama, membuka kemungkinan bahwa Hazim barangkali juga bertemu dengan psikiater yang pernah merawat Arjun dan Yuda.

Kemungkinan mengenai psikiter sama, hari ini bukan pertama kalinya Iwata pikirkan.

Setelah mengetahui kejadian yang menimpa Hazim 3 tahun lalu, Hazim diharuskan menemui psikiater. Bagi seorang pemuda, pernah berhadapan dengan prampok yang nyaris ia bunuh merupakan sebuah pengalaman traumatis. Hazim begitu terguncang ketika itu.

Iwata pikir psikiater yang merawat Hazim ketika itu adalah psikiater yang juga pernah merawat Arjun dan Yuda. Tapi dugaannya salah. Bukan Adiraja Bima.

"Kalau dipikir-pikir lagi," Iwata melanjutkan dugaannya. "Tiga tahun lalu bukan pertama kalinya Hazim harus menemui psikiater."

Haikal memutar kursinya, Huda fokus menyimak.

"Pertama kali ditemukan oleh pegawai panti, Hazim sudah terlihat menyedihkan. Sesuatu pasti terjadi padanya karena dia begitu putus asa. Untuk seorang anak yang begitu terguncang di usia itu, pasti butuh penanganan khusus, 'kan?" Iwata meminta pendapat.

"Artinya pasti ada penanganan profesional," Haikal menimpali.

Iwata mengangguk. "Haikal, bisa tolong bilang ke Komandan Iryand kita butuh surat izin untuk menggeledah rumahnya. Aku yakin kita akan temukan tanaman beracun di sana, di rumah Adiraja Bima."

"Kali ini berapa persen?" Sembari menyerahkan kertas bertuliskan nomor ponsel Bu Fatimah, Huda bertanya.

"50."

"50% itu memang terdengar lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi itu artinya kesempatan gagal dan berhasil sama besarnya. Masih terlalu berisiko," celetuk Huda.

"Tapi sudah sejauh ini. Mengambil kesempatan berhasil yang sama besarnya dengan kegagalan saya rasa bukan masalah," Haikal memutuskan. "Oke, saya akan bicara dengan Komandan. Saya pastikan surat izinnya ke luar."

Haikal melangkah ke tempat ketua tim berada. Langkahnya mantap dan penuh peraya diri. Ia akan gunakan kemampuan diplomasi yang pernah dibanggakannya. Surat izin yang dijanjikannya pada Iwata harus ke luar.

Padahal sebelumnya tenaga Haikal telah terkuras dan ia merasa begitu lelah sampai-sampai bergerak saja rasanya tidak sanggup lagi. Dugaan-dugaan yang Iwata sampaikan secara tidak terduga berhasil menyuntikkan tenaga baru. Rasa lelah Haikal telah tertepis sepenuhnya.

Sementara Iwata menghubungi Bu Fatimah untuk mengajukan beberapa pertanyaan, Huda bersiap-siap. Ia akan ikut melakukan penggeledahan. Akan ia pastikan sendiri presentase 50% berpihak pada keberuntungan ataukah kegagalan.

***

14 tahun lalu, Adiraja Bima adalah salah satu relawan di sebuah panti tempat Hazim tinggal. Ia membuka konsultasi gratis bagi para guru dan anak. Setelah setengah tahun menjadi relawan, ia bertemu dengan Hazim yang datang sebagai penghuni baru.

Melihat bagaimana Hazim mengurung diri, tatapan mata dipenuhi kesedihan, hanya terdiam sepanjang hari, membuat Adiraja tergerak. Perasaan ingin melindungi muncul.

Semakin Adiraja berusaha mendalami kesedihan Hazim, semakin ia ingin menyembuhkan luka anak itu, semakin ia menyayanginya. Ini adalah takdir, pertemuan mereka.

Memang tidak mudah membangun hubungan dengan seorang anak yang memiliki luka. Tapi seiring berjalannya waktu, ia akhirnya bisa membuka pintu hati anak itu, uluran tangannya bersambut, dan mereka menjadi dekat.

Iwata telah mendengar semua yang ingin didengarnya dari Bu Fatimah. Segera setelah surat izin penggeledahan dari Pengadilan Negeri setempat ke luar, keempat anggota tim khusus dengan membawa beberapa tim lain, meluncur ke kediaman Adiraja Bima.

"Arjuna Zeroun, Hazim, Yuda Saputra kami menangkap ketiganya atas tuduhan pelaku pembunuhan dengan mengunakan tanaman beracun Wolfsbane. Ketiganya adalah pasien Anda dan kami menduga racun yang mereka peroleh disembunyikan di rumah ini."

Setelah ketua tim menyampaikan maksud kedatangannya dan memperlihatkan surat izin penggeledahan, tim bergerak. Berpencar ke setiap sudut rumah untuk memeriksa.

Penggeledahan dilakukan dengan detail, teliti. Tidak melewatkan satu tempat pun. Setiap sudut tersentuh, semua ruangan dimasuki, setiap celah diperiksa. Ini adalah pertaruhan terakhir yang tim khusus lakukan.

Mengetahui rumahnya didatangi polisi, dan digeledah, sang istri terlihat panik. Tidak ingin membuatnya khawatir, Adiraja berusaha menenangkan dengan mengatakan banyak kalimat baik.

Setelah hari ini Adiraja tahu tidak akan bisa menemani istrinya lagi. Tidak bisa memenuhi janji untuk melalui semuanya bersama. Jika ini untuk terakhir kalinya, ia tidak ingin membuat orang yang dicintainya bersedih, merasa khawatir.

Kenyataannya tidak mungkin. Semua yang telah terjadi, dan apa yang akan terjadi di masa depan pada akhirnya tetap membuat istrinya bersedih, melukai perasaannya. Konsekuesi terbesar yang harus Adiraja terima atas pilihan yang dibuatnya.

Dua jam kemudian, barang bukti yang dicari ditemukan di ruang bawah tanah. Di tempat itu tanaman beracun Wolfsbane tumbuh subur. Jumlahnya fantastis. Cukup untuk membantai satu desa.

Dengan mengecualikan sifat Wolfsbane yang beracun, tanaman berbunga itu terlihat biasa. Bunganya berbentuk buttercup dengan tangkai yang panjang dan daun menjari. Warnanya kuning, ada yang ungu. Cantik.

"Memanfaatkan anak-anak yang memiliki luka dan membuatnya sebagai alat pembunuh, Anda benar-benar mengerikan!" hardik Haikal.

Adiraja tersenyum samar. "Saya adalah orang yang dengan tulus mengulurkan tangan untuk menyembuhkan mereka. Tapi seberapa pun kerasnya saya berusaha, hanya mereka yang tahu sedalam apa luka mereka. Saat ini anak-anak itu mungkin terlihat baik-baik saja. Tapi suatu saat, ketika luka yang nyaris sembuh kembali diprovokasi, pasti akan terjadi pergolakan."

Tatapan Adiraja menerawang jauh. Ia adalah saksi bagaimana anak-anak itu hidup. Bagaimana luka mengambil banyak dari masa-masa mereka yang seharusnya menyenangkan.

"Saya tahu saya tidak akan bisa selalu menyembuhkan. Karena itulah saya pikir untuk memberi tempat bagi mereka untuk melakukan penyembuhan. Dengan cara mereka sendiri," tambah Adiraja.

Mengerikan. Apa yang dimaksud dengan tempat penyembuhan adalah membunuh orang-orang yang mengingatkan mereka pada lukanya. Menghabisi nyawa yang membuat anak-anak memiliki trauma yang sama.

Iwata menarik kerah baju Adiraja. Ini adalah saat-saat di mana kesabarannya telah terkuras habis. Benar-benar habis.

"Jika ingin menyembuhkan seharusnya Anda bertindak sebagai dokter sampai akhir!" sergah Iwata. Sebelah tangannya sudah terkepal. Tapi belum sampai tinjunya terlepas, ketua tim mengambil alih.

"Sebagai otak pembunuhan, dan menyediakan alat membunuh, Anda kami tahan," kata ketua tim sembari menggiring Adiraja meninggalkan rumahnya.

Yang tersisa hanyalah isak tangis sang istri. Melihat satu-satunya orang yang dicintai digiring ke kantor polisi, tidak ada yang bisa dilakukannya selain memekik dan menangis.

Berpikir semua akan baik-baik saja sampai akhir hayat, bisa menikmati masa-masa tenang meski tanpa kehadiran seorang darah daging, mungkin harapan-harapan itu begitu tinggi untuknya.

Bagi seorang wanita bisa hidup bahagia selama-lamanya dengan orang yang dicintai adalah mimpi paling indah. Tapi bagi sebagian yang lain, hidup bahagia selama-lamanya hanya ada di bagian epilog sebuah dongeng. Dalam cerita-cerita Cinderella dan Putri Salju. Hanya fantasi.

下一章