Pagi ini, aku memutuskan untuk berolahraga di sekitaran sini. Cuacanya memang mendung, tapi semua itu tak membuat niatku larut untuk menyehatkan badan.
Karena di tengah kesibukan apa pun, olahraga itu penting walau hanya sebentar saja.
Oh iya, semalam juga aku mendapat kabar dari paman bahwa ketiga pelaku penjahat itu sudah diadili dan mereka sedang mendekam di penjara saat ini bersama Amzar.
Sungguh, aku masih tak percaya dengan kelakuan Amzar yang sebenarnya. Semenjak kejadian itu pula, aku tak melihat Amzar lagi. Mungkin dia sudah diringkus cepat oleh polisi.
Bagiku, ketika melihat kekejaman mereka itu, seperti tak adil jika hukumannya hanya sekedar di penjara saja. Meskipun bertahun-tahun, kegiatan mereka di sana mungkin hanya berdiam diri atau justru mengketuai diri di dalam sel sana.
Tapi biarlah. Setidaknya kita sudah aman karena mereka tak bisa kabur kemanapun. Urusan adil tidaknya, biar Allah yang membalas perilaku mereka semua.
Lagi pula, Alif kemarin sudah memaafkan kesalahan mereka secara tulus. Walau aku masih greget dengan keadaannya yang masih belum membaik, dia hanya bilang bahwa hidup jangan terlalu larut dengan dendam. Kalau ada yang berbuat salah pada kita, berdoalah pada Allah agar dosa-dosanya itu diampuni.
Baiklah. Aku berharap semoga kejadian seperti ini hanya terjadi sekali saja dan jangan pernah terulang kembali. Semuanya cukup sampai di sini, semua penderitaan itu biarlah menjadi penderitaan terakhir bagi Alif atau Hamzah.
Aku berlari kecil di daerah sini. Sesekali kalau kaki sudah pegal, aku beristirahat sebentar atau sekadar duduk di bawah pohon.
Cuaca di kota Bogor memang tak cerah. Karena bulan ini sudah memasuki musim hujan. Meskipun sering hujan, tapi aku belum pernah melihat berita-berita banjir yang biasanya melanda kota Jakarta atau Bogor tempat aku berdiam saat ini.
Walau memang di Bandung pula sering terjadi banjir apalagi jika hujannya berturut-turut tak ada henti. Faktor yang lain pula karena drainase yang terlalu kecil dan dangkal, membuat air hujan tak tertampung hingga meleber ke jalanan.
Aku sudah terbiasa dengan pemandangan-pemandangan seperti itu. Apalagi kalau masih jamannya sekolah dan bel pulang sudah berbunyi, aku bersama teman-teman biasanya saling menunggu di teras depan kelas. Dan kalau misal hujannya itu belum berhenti juga, terpaksa sepatu aku masukkan ke dalam tas, kupakaikan jas hujan tas dan berlari secepat mungkin ke tempat pemangkalan angkot.
Perlu diketahui, dulu aku dan teman-teman memang terbiasa pergi pulang ke sekolah menggunakan angkot.
Selain harganya murah di kantong pelajar seperti kami, pun keadannya juga memang mudah dicari.
Yaa walaupun selalu ada sisi negatifnya, terkhusus ketika macet. Biasanya para pengemudi angkot itu sudah terlalu bosan menunggu macet hingga menurunkan para penumpangnya dan terpaksa, aku harus berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang masih jauh.
Dan yang tak habis pikirnya, setelah menurunkan para penumpangnya itu tukang angkot malah putar balik yang membuat kondisi jalan semakin macet.
Suara klakson seketika berdengung di telinga. Aneh sekaligus lucu memang ketika mengingat saat-saat sekolah dahulu.
Posisiku saat ini masih duduk di bawah pohon. Jika ada yang bertanya mengapa aku sering duduk berdiam diri di sini, itu memang hal yang wajar. Karena di Bogor tempat tinggalku sekarang, banyak sekali pohon rindang yang berjejer di pinggir jalan. Selain melihatnya teduh, udara di sekitar sini pun lebih sejuk karena banyaknya pohon.
Mataku memperhatikan setiap sudut dan lalu lalang kendaraan kota ini. Hingga pada satu titik, aku melihat dari kejauhan nampak seorang pria tua yang berjalan dengan susah payah.
Pikiranku masih dipenuhi pertanyaan oleh siapakah pria di sana itu. Tapi, semua itu hilang tatkala pria tadi semakin sini wajahnya semakin terlihat jelas.
Bahwa sebenarnya dia adalah Abah.
Aku seketika berdiri lalu menghampirinya dengan perasaan yang begitu senang.
Ketika Abah melihatku, beliau sangat terkejut seperti ketiban durian runtuh.
Aku langsung mengajaknya menepi dan duduk di tempat ku tadi sambil memberikannya beberapa makanan dan sebotol air minum.
"Abah ini dari mana mau ke mana?" Tanyaku antusias.
Dijawabnya dengan tersenyum ramah. "Abah cuma mau jalan-jalan aja neng. Sumpek kalau di rumah terus. Abah sempatkan diri buat olahraga biar sehat."
"Wah bagus bah. Apalagi udara pagi ini masih sejuk belum terpapar polusi kendaraan."
"Iya neng," Abah terkekeh. "Eh ini," dia menunjukkan padaku roti yang aku berikan padanya, "serius neng ini buat Abah?"
"Tentu," aku tersenyum. "Makan saja bah. Barang kali Abah lapar."
"Eh, neng reine ini tahu saja kalau abah lapar." Beliau kalau berkata selalu saja diiringi tawa kecil atau tersenyum yang membuatku semain senang kalau mendengarnya berbicara.
"Oh iya bah. Rumah Abah itu di mana?" Tanyaku kemudian.
"Memangnya kenapa, neng?"
"Ya tak apa bah. Reine hanya ingin tahu saja. Barangkali nanti kalau ada waktu, Reine akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Abah bersama alif."
"Ohh," terlihat Abah begitu menikmati sekali roti yang ia makan itu, "rumah Abah tak terlalu jauh neng kalau dari sini. Tinggal lurus saja nanti ada pertigaan, terus belok kiri dan lurus lagi, sudah sampai. Rumah Abah juga mudah dikenali kok."
"Memang, cirinya apa?"
"Rumah Abah mah paling butut¹ dari yang lain." Jawabnya sambil terkekeh.
"Jangan begitu bah. Abah lebih beruntung dari orang-orang di luaran sana yang bahkan tak punya rumah."
"Iya, neng. Alhamdulillah." Katanya, "eh bagaimana kondisi Alif, dia baik-baik saja?"
Aku terkejut mendengar ucapan Abah hingga tak tahu harus menjawab apa. Jika jujur, takut membuat Abah khawatir. Kalau bohong, aku tak berani menutupi kebenaran apalagi ke orang yang lebih tau dariku. Di samping dosa, tak sopan pula.
"Neng?" Ujarnya seketika membuyarkan lamunanku, "neng reine lagi mikirin apa?"
"Ohh tidak bah," aku tertawa kecil.
"Alif bagaimana kabarnya?"
Terpaksa aku harus mengikuti opsi kedua, "dia baru saja mendapat kemalangan."
Aku bisa melihat reaksi Abah yang seketika menghentikan kunyahannya, "Allahu Akbar! Apa neng sedang tak bercanda?"
Aku mengangguk. "Iya, bah. Beberapa hari yang lalu Alif diculik dan disiksa seperti binatang. Tapi lusa kemarin Alif sudah ditemukan dan segera diobati. Alhamdulillah, sekarang kondisinya sudah mulai membaik walau belum seratus persen full."
"Ya Allah," Abah terdiam sesaat dan suaranya terdengar gemetar, "lal-"
"Hamzah juga diperlakukan seperti Alif. Dia diculik dan disiksa oleh para penjahat bayaran. Bahkan kondisinya saat pertama kali ditemukan lebih buruk dari pada Alif. Karena memang tujuan utama para pelaku itu pada Hamzah. Jadi mereka memperlakukannya sangat tidak manusiawi."
"Ya Allah, cucuku...." Suaranya parau.
"Tapi Abah tak usah khawatir. Hamzah sekarang sudah sadar."
Dia menyeka air matanya. "Apa neng mau antar Abah ke Hamzah?"
"Tentu, bah."
Aku dan Abah segera ke rumah sakit menggunakan taksi online. Sebelumnya, aku mengirim pesan juga pada Ayssa apakah mereka ada di sana, dan ternyata masih.
Tak membutuhkan waktu yang lama, aku telah sampai di tempat tujuan.
Sementara itu, aku bisa melihat reaksi Abah yang nampak begitu khawatir dengan kondisi Hamzah. Kami bergegas menemui ruangannya, dan tak jauh dari sana, aku bisa melihat Ayssa yang terlihat sedang menungguku.
Dia memelukku ketika aku sudah sampai di depan ruangan Hamzah.
"Bagaimana kondisi, Alif?" Tanyanya.
"Alhamdulillah. Dia sudah semakin membaik. Kalau Hamzah?"
"Iya. Setelah kamu pulang saat itu, kondisinya perlahan pulih. Kakak juga sudah bisa bicara walau tak terlalu banyak."
"Alhamdulillah kalau begitu."
"Tapi dia masih sakit kah neng?" Tanya Abah.
"Mungkin baginya masih sakit. Tapi tak terlalu parah, bah."
"Terus, kami bisa mengunjunginya?" Tanyaku kemudian.
"Silakan," Ayssa membukakan pintunya.
"Apa kamu tak ikut masuk?"
Dia menggeleng. "Aku menunggu di luar saja."
"Ya sudah, aku temani Abah dulu ya."
Ayssa tersenyum.
Aku segera mengajak Abah ke tempat Hamzah yang nampaknya tengah duduk dengan sandaran bantal.
Abah terpaku sesaat tatkala melihat luka-luka Hamzah yang terlihat sangat menyakitkan.
"Cucuku...." Kali ini, Abah tak bisa lagi menahan tangisnya. Dia mengusap lembut tangan cucunya itu dan membelai rambutnya penuh cinta.
Hamzah juga menitikkan air mata lalu Abah memeluknya. Aku sampai terharu melihat kasih sayang mereka berdua. Seketika mataku pun memanas tatkala Abah menciumi pipi cucunya itu seakan si jago masihlah anak kecil.
"Nak, kenapa semuanya bisa seperti ini?"
"Hanya permasalahan biasa. Abah jangan risau."
"Ya Allah," dia memeriksa setiap luka yang Hamzah alami, "Abah tak menyangka kamu bisa mengalami hal-hal menyakitkan seperti ini nak."
"Tak apa bah. Mungkin semua ini ujian."
"Apa saja yang masih terasa sakit?"
"Hanya linu saja, bah. Hamzah belum bisa berdiri atau berjalan. Rasanya masih sakit."
"Kalau lukanya?"
"Ini tak terlalu. Tapi kalau saat buka perban, terasa perih."
"Cucu Abah...," Abah memeluknya lagi, "kamu harus kuat ya nak. Abah yakin Allah akan selalu melindungimu."
Hamzah tersenyum. "Aku kan jagoannya Abah, jadi harus kuat."
Kami seketika terkekeh mendengar Hamzah mengucapkan hal itu.
"Eh, Hamzah memang disekap di mana?"
"Daerahnya aku juga kurang tahu. Tapi yang pastinya di hutan yang di dalamnya ada gubuk tua."
"Ohh..., terus Hamzah ditemuin sama siapa?" Lanjutnya lagi.
Hamzah menolehku dan aku segera menunduk.
Suasana tiba-tiba hening.
Sementara aku masih terdiam, tak tahu harus melakukan apa.
"Sama Reine." Ujar Hamzah kemudian.
...
Butut¹=Jelek