Sekar memandang keluar lewat jendela rumah salah satu pengikutnya, mengamati derasnya rintik-rintik hujan yang jatuh ke Bumi. Sementara itu, Pratista menelungkup di kerangkeng dengan tubuh gemetaran.
Mendengar pintu ruangan tempatnya berada diketuk, Sekar berkata, “Masuk.”
Begitu memasuki ruangan, Martin meringis. Matanya menemukan ceceran darah di dekat kerangkeng.
“Ada apa?” tanya Sekar pendek.
Yang ditanya menelan ludah, masih belum terbiasa dengan pemimpin barunya itu. “I… Itu, Nona Sekar. Saya sudah menempatkan orang suruhan untuk mengawasi rumah sakit tempat perempuan bernama Brie itu dirawat, dan juga di rumah anak-anak lainnya.”
“Bagus. Terus beri aku perkembangannya.” Sekar terkikik sambil melotot.
Melihat pantulan raut mengerikan pemimpinnya itu lewat jendela, Martin berjengit.
Beberapa menit telah berlalu. Bukannya pergi, sang ajudan malah diam di tempatnya. Menyadari hal itu, Sekar pun bertanya lagi, “Ada apa lagi?”
“Ah, tidak, Nona.” Martin menunduk dan berbalik, berniat untuk keluar.
Mendeteksi nada ragu-ragu dalam suara Martin, Sekar ikut berbalik. “Tunggu, lebih baik kamu katakan apa yang ada di pikiranmu itu, Martin.”
Martin yang sudah memegang kenop pintu langsung bergidik. Ia tak berani mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya ini, tetapi ia lebih takut untuk membantah perintah tuannya itu.
“I… Itu, Nona. Saya... Saya cuma ingin tahu kenapa Nona Sekar tidak segera membunuh Brie waktu masih ada kesempatan. Bukankan itu salah satu tujuan Nona?”
Setelah sejenak memperhatikan wajah Martin yang ditundukkan, Sekar tertawa keras.
“Aku ini sedang memosisikan diri sebagai pemburu, Martin. Apa kau tahu kenapa aku ingin menjadi pemburu?”
Terkejut mendengar kalimat absurd itu, Martin menggeleng kaku.
“Karena aku menyukainya.” Sekar melotot lagi, sekarang lebih lebar, seolah bola matanya bisa keluar kapan saja. Pandangannya terhujam ke tubuh Martin yang mulai dialiri keringat dingin. “Aku akan berangkat setelah dia berangkat. Pemburu itu biasanya ada di belakang buruannya.”
Perempuan ini gila. Kalimat itu terus saja merajami otak Martin.
“Ba… Baiklah, Nona. Kalau begitu saya pamit dulu,” ucap Martin sambil membungkukkan badan.
“Tunggu dulu,” cegah Sekar sebelum Martin kembali memegang kenop pintu. “Bagaimana bisnis pengikut-pengikutku yang kuberi jimat pesugihan baru?”
“Sangat baik, Nona. Banyak yang berkembang pesat.”
Sekar manggut-manggut. “Terus, bagaimana dengan anakmu? Setelah kistanya kusembuhkan dengan kekuatanku, apakah dia masih mengeluh sakit?”
“Ti… Tidak, Nona. Waktu diperiksa lagi, kistanya sudah benar-benar hilang,” jawab Martin terbata-bata.
“Semoga dia tetap sehat. Sebagai orangtua, kamu tetap ingin dia sehat, kan?” Sekar kembali menatap hujan dari balik jendela. Di bibirnya tersungging senyum penuh arti.
Kata-kata itu seolah merantai Martin, yang kini sama sekali tak bisa berkutik.
***
“Dari sini ke Yogyakarta berapa jam tadi?” tanya Brie yang tengah keluar dari hotel, tepat satu hari setelah dirinya meninggalkan rumah sakit.
Mengenakan kemeja pas badan yang lengannya dilipat sampai siku, sepatu boot dengan tinggi tak sampai betis, serta celana jeans, Brie menerjang udara fajar yang dingin. Mengumpat dalam hati karena masih mengantuk, ia menjejeri Revan yang membawa koper dan tasnya, berjalan menuju tempat parkir hotel.
“Kurang lebih sembilan jam,” jawab Revan datar.
“Sembilan jam!? Kenapa kamu bersikeras pakai kendaraan pribadi? Bukannya lebih enak pakai kendaraan umum?”
“Biar kita bisa leluasa ke sana kemari di kota tujuan.”
Brie menghela napas, tak percaya alasan bodoh itu bisa terlontar dari mulut Revan. “Kita kan bisa menyewa mobil di sana...”
“Aku nggak suka pakai kendaraan umum, oke?” potong Revan. Nada suaranya agak meninggi.
“Kenapa? Kamu takut keramaian?” Begitu sampai di dekat mobil sedan sport hitam milik Revan, Brie menyilangkan kedua tangannya penasaran.
Revan tak menjawab dan mulai memindahkan barang-barang Brie ke bagasi belakang. Brie menggigit bibir, sadar kalau dirinya sedang didiamkan. Meski sebal, gadis itu memilih untuk membiarkannya saja.
“Yah, paling tidak kalau mobil ini kenapa-napa, kita tidak akan punya urusan panjang,” gumam Brie, duduk di kursi depan mobil.
“Kamu yakin udah bener-bener baikan?” tanya Revan, mengulangi pertanyaannya di hotel tadi.
“Tenang saja,” jawab Brie. Nyeri di perutnya memang sudah memudar, tapi itu karena beberapa butir painkiller yang dicurinya dari apotik rumah sakit. Karena tak mau membuang lebih banyak waktu, ia memutuskan keluar sebelum waktu yang ditetapkan dokter. Ia harus segera mendapat jawaban, sebelum keluarga anak-anak itu dibantai Sekar dan tak bisa mengatakan apa-apa.
“Nih, makan dulu. Buat kamu semua.” Revan menyerahkan kantong plastik kecil kepada Brie.
“Kamu?” tanya Brie, mengamati beberapa roti isi dengan label minimarket dan gelas kertas berisi kopi hangat di dalam kantong itu.
“Aku udah makan.” Revan mulai menghidupkan mobilnya, mengendarainya keluar dari rumah sakit.
“Hei, apa tidurmu cukup?” tanya Brie, mulai menggigit roti berisi krim keju. Ia memergoki lingkaran kehitaman di bawah mata rekan seperjalanannya itu.
“Cukup.”
Sedikit menyipitkan mata karena rasa krim yang menurutnya aneh, Brie tetap menjejalkan roti itu ke mulutnya. Ia diajari Steph untuk tak memilih-milih makanan. “Kalau kamu capek, aku bisa menggantikan kamu…”
“Aku sedang konsentrasi nyetir, jadi nggak bisa diajak ngobrol. Ngerti?” sela Revan lagi.
Brie mengerutkan kening. “Oke.”
Lagi-lagi Brie berusaha memaklumi sikap kliennya itu. Barangkali Revan masih frustasi dan berduka. Brie merasa tak punya hak untuk mengintervensi.
Akhirnya, perjalanan mereka dilalui dalam sunyi. Setelah makan, Brie membuka ponselnya untuk membaca berita terbaru. Kebanyakan laman situs membahas kasus pembantaian di pesta pernikahan Revan.
Lebih dari satu jam melakukan hal itu, Brie mulai bosan. Ia tak punya media sosial. Kontaknya juga hanya berisi klien dan orang-orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Tak ada yang bisa diajak chat ngalor-ngidul. Mengobrol dengan Steph? Mana mau perempuan itu berbicara hal yang tidak penting.
“Radionya boleh aku hidupkan?” tanya Brie akhirnya.
Revan hanya mengangguk. Brie menghidupkan radio dan memilih chanel pertama yang ia dapatkan.
“Yak, inilah hits terbaru dari band KKN dengan judul I,” ucap sang penyiar radio.
Brie menyandarkan tubuhnya saat irama rancak terdengar dari radio. Pikirannya mulai menghapalkan rencana yang telah ia susun untuk menyalin daftar alamat di ponsel Revan.
“Aku, ek, ya, je, unë, ich, watashi, jeg, egó, yīshì, 'ana, ja, mwen, eu, naneun…”
Mendengar lirik super absurd itu, urgensi untuk mengganti chanel muncul di hati Brie, dan otomatis ia menurutinya. Tak punya pilihan selain melamun sambil mendengar radio, kebosanan Brie makin menjadi-jadi. Bahkan saat menyamar menjadi pembantu selama tiga minggu, ia tak pernah sebosan ini. Waktu itu pekerjaan rumahnya cukup banyak. Ia juga bisa mengajak bicara beberapa orang di sana.
Rasa bosan ini sama seperti ketika Brie berdiam diri di tempat persembunyian, menunggu panggilan kerja dari Steph dengan cara berlatih sendirian.
“Revan?” panggil Brie ketika matahari siang cukup tinggi.
“Ya?”
“Aku lapar.”
Telinga Brie sedikit mendengar decak kesal dari mulut Revan. Namun, pemuda itu tetap melambatkan mobilnya dan mulai melongok-longokkan kepalanya untuk mencari tempat makan.
“Di mana saja, asal bisa buat isi perut,” ucap Brie, menyadari Revan yang beberapa kali melewati warung pinggir jalan.
“Kata ayah Gisel, kamu itu dari luar negeri. Perut kamu pasti belum terbiasa sama makanan di sini, jadi kamu nggak bisa makan di sembarang tempat. Yah, emang nggak semua tempat makan di sini kotor, tapi paling nggak kita harus cari yang terjamin.”
Brie terkekeh untuk waktu yang cukup lama sampai Revan menoleh ke arahnya.
“Kamu perhatian juga, ya? Aku bisa makan di mana saja, kok. Percaya deh, di sini itu belum ada apa-apanya. Aku pernah makan di tempat yang jauh lebih jorok,” timpal Brie, teringat akan perjalanannya mengintai target yang bersembunyi di pemukiman super kumuh. Ia harus membaur dan hidup seperti masyarakat yang ada di sana.
“Oke.” Meski mengatakan hal itu, Revan tetap memakirkan mobilnya di depan rumah makan yang tampak bersih, walau tak terlalu mewah.
Saat turun, Brie memperhatikan papan nama rumah makan berdekor merah putih itu. Di sana tertulis ‘Spesialis Masakan Jamur KENLISA’. Saat tiba di Indonesia, Brie melihat rumah makan ini ada di mana-mana.
Saat masuk, Brie dan Revan disambut ramah oleh petugas perempuan berseragam merah. Mereka langsung dipandu menuju meja kosong di rumah makan yang cukup dipadati pengunjung itu.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Revan saat mereka diberi kertas berisi daftar menu dan bolpoin.
“Ah, samakan saja dengan yang kamu pesan. Aku ke toilet dulu.”
“Oke.”
Sehabis bertanya kepada pelayan yang lewat, Brie berjalan menuju toilet, tak memedulikan pandangan para pria yang lagi-lagi terhunjam ke tubuh atau wajahnya. Sepertinya penampilan sederhananya kali ini masih tak mampu menghalau mereka.
Begitu masuk ke salah satu bilik toilet, Brie mengeluarkan sebuah ponsel dari sakunya. Warna ponsel itu memang hitam seperti miliknya, tapi itu kepunyaan Revan. Dengan sedikit ilmu kecepatan tangan, ia baru saja menukar ponsel di saku Revan dengan miliknya. Brie sudah mengamati, Revan bukan tipe orang yang sedikit-sedikit mengecek ponsel, maka untuk sekarang keadaan cukup aman.
Dengan cekatan, ia mulai mencari-cari daftar alamat yang yang kemarin ditunjukkan Revan. Beberapa menit berlalu, ia pun mengernyitkan dahi. Ponsel itu sama persis dengan yang dibawa Revan di rumah sakit. Namun, daftar itu tak ada di mana pun, padahal Brie sudah mengubek-ubeknya dengan teliti.
Dihapus?
Brie buru-buru mengecek dierktori-direktori di ponsel itu sekali lagi. Masih tak menemukan apa-apa, Brie mendesah frustasi. Bisa saja ia mengunduh aplikasi pemanggil file yang dihapus, tapi ia sudah makan waktu banyak. Bisa-bisa Revan tambah curiga.
Tak punya pilihan lain, Brie terpaksa kembali ke meja. Revan tengah menyandarkan tubuhnya sambil memijat kening, jelas sekali kelelahan. Pemuda itu sama sekali tak bertanya kepada Brie, yang jelas-jelas sudah pergi cukup lama.
Tipe yang tak peduli hal-hal remeh, ya?
Mengembalikan otaknya untuk fokus, Brie menyusun rencana lain untuk mendapatkan daftar anak-anak itu, sekaligus menebak-nebak alasan daftar itu dihapus. Mungkinkah ini adalah usaha Revan agar Brie tak kabur dan bergerak sendiri? Kalau benar, Brie tak bisa menganggap remeh pemuda ini.
***
Dengan tenang dan tak mencurigakan, Brie menukar kembali ponselnya saat Revan membayar di kasir.
“Bagaimana kalau sekarang aku yang menyetir?” Brie menawarkan diri ketika mereka berjalan di tempat parkir. “Sepertinya kamu lelah sekali.”
“Nggak usah,” balas Revan datar, membuka pintu mobilnya dan tetap duduk di kursi kemudi.
Enggan untuk berdebat, Brie membiarkan Revan melajukan mobil kembali.
“Bisa lihat daftar alamat itu lagi?” pinta Brie saat mereka sudah mengaspal di jalan.
Revan menelan ludah. “Buat apa, sih? Aku udah tahu jalannya, kok.”
Lagi-lagi menghindar. Dugaan Brie kalau Revan tak menginginkannya kabur semakin kuat.
Diiringi bunyi decit ban, tubuh Brie dan Revan tersentak ke depan. Revan baru saja menghindari motor yang tengah menyeberang. Sudah ada dua insiden sejenis sebelum mereka makan siang.
Brie segera mengamati wajah rekan seperjalanannya itu. Mata Revan begitu berair dan berkali-kali mengedip. Intensitas menguap pemuda itu juga terus bertambah sedari tadi.
“Seriously, kamu ini harus istirahat. Sekarang, biar aku saja yang menyetir,” bujuk Brie untuk kesekian kalinya.
Revan hanya memandang wajah Brie sekilas, sebelum kembali menyetir.
Saking gemasnya, Brie sampai sedikit menggertakkan gigi. “Bisa tidak, kamu tidak mengedepankan egomu…”
Tubuh keduanya terhentak ke depan lagi gara-gara mobil yang direm mendadak. Seorang ibu yang hampir disambar moncong mobil Revan mengumpat di luar, tapi akhirnya tetap meninggalkan mereka.
Tanpa pikir panjang, Brie mengambil kunci mobil dan menggenggamnya erat-erat.
“Hei! Kembaliin!” bentak Revan, berusaha merebut kunci itu.
Namun, Brie segera memasukkan kunci itu ke kerah depan bajunya. Kunci itu pun jatuh, terperangkap di antara kedua buah dadanya. Revan cuma bisa mematung dengan tangan terjulur, benar-benar mati kutu.
“Kamu mau seseorang jadi mayat gara-gara ditabrak olehmu, atau kita yang jadi mayat karena kecelakaan!?” serbu Brie cepat, tak memedulikan suara klakson di belakang mereka. “Aku tahu kamu masih frustasi dengan apa yang terjadi, tapi itu tidak bisa jadi alasan untuk berbuat bodoh.”
Revan menggigit bibirnya. Ia hendak memukul setir, tapi segera menahan diri. Enggan berkata-kata, akhirnya ia memilih keluar. Brie ikut keluar dan mereka berdua bertukar posisi duduk. Brie segera menjalankan mobil, sementara Revan menyetel GPS agar menunjukkan lokasi yang harus mereka datangi. Setelah itu, Revan menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan mata.