webnovel

So Far

Langkah Vincent terhenti dihalaman asrama ketika seorang kopral berhenti dihadapannya secara mendadak. "Ada surat untuk anda," kata kopral junior itu menyerahkan perkamen. Surat? Vincent menerimanya. Kemudian kopral junior itu pamit pergi.

Siang ini di hari kedua setelah tiba di kota Maria, Vincent mengadakan rapat dengan para anggota inti. Bersama Aiden di tengah-tengah mereka. Vincent mengenalkan pemuda itu sebagai anggota baru secara resmi. Lalu rapat dimulai dengan membahas ekspedisi mereka sebelumnya. Mengevaluasi perjalanan yang mereka lalui selama setengah bulan sembari mencari Aiden. Mengecek keamanan desa, memusnahkan setiap tentara vampir yang berpapasan jalan, konflik di desa Rumh yang mempertemukan mereka dengan dua orang itu, keanehan benaknya terhadap desa Rumh yang damai mendadak diserang segerombolan budak vampir serta desas-desus warga setempat mengenai Axelia, desa yang telah habis penduduknya yang ternyata ulah Dergon, hingga kasus di kota kecil Gordian di mana Vincent melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Axelia yang buta dapat bertarung lincah dan mereka mengakhiri konflik di Gordian.

"Dia gadis istimewa," celetuk Fernandez berkomentar.

Mereka juga berpikir bahwa Axelia bukan buta biasa. Sangat tidak masuk di akal. "Dia memang tidak bisa melihat," sambung Aiden saat mereka membahas penglihatan gadis itu. Membuat Aiden jadi pusat perhatian seluruh mata di ruangan dengan jendela mengarah pada pemandangan kota.

"Kau sahabat dekatnya, katakanlah siapa sebenarnya Axelia," ujar Cellios. Membungkam mulut Aiden jadi murung.

"Aku tidak tahu," ucap lelaki itu bingung. "Dan tidak ada seorang pun yang tahu. Mungkin pamanku, William, yang tahu siapa Axelia."

"Di mana pamanmu?" sahut Julian.

"Dia sudah meninggal," tandas Aiden. Giliran mereka yang terdiam.

"Apa kita tidak bisa bertanya langsung pada Axelia? Dia mungkin akan menjawab kita," saran Cellios sederhana. Aiden menggeleng pelan, bersamaan dengan Vincent yang menutup matanya paham. "Dia tidak ingat tentang asal usulnya. Tahu-tahu saja pamanku mengurus Axelia sebagai ponakan." Aiden memperjelas.

"Lalu, bagaimana?"

"Aku akan membantu ingatan Axelia kembali." Suara Vincent yang mengusulkan diri seketika diserbu pasang mata mereka.

"Jadi, itulah alasanmu yang sebenarnya dengan membawa Axelia dalam rombongan kita ke kota Maria?" tutur Hannah, tersirat getaran geram yang tertahan. "Apa kau berencana memasukkan dia ke dalam kelompok kita? Memanfaatkan kemampuan anehnya itu?"

"Ya." Satu kata Vincent ucapkan dengan wajah dinginnya yang khas.

"Kenapa harus kau?" sarkas Aiden, dia tidak bisa menyembunyikan kebenciannya terhadap pria itu. Anggota yang lain menunggu jawaban dari komandan mereka. Vincent tahu dirinya tidak merasa begitu yakin tentang suatu hal yang menjadi dilema benaknya. Dan dia tidak bisa mengatakannya secara gamblang kepada mereka, bahkan siapa pun. "Karena aku orang yang terhubung dengannya." Jeda sesaat. Membuat mereka mengeryitkan dahi mencerna kalimat Vincent. "Mendiang ayahku mencari gadis dengan ciri-ciri seperti Axelia," tandas Vincent.

"Dan, besok pagi kita harus pergi ke tembok Berlin. Aku mendapat surat dari Jendral mengenai vampir bangsawan. Masalah ini semakin serius."

***

"Apa maksudnya itu? Ayahnya tahu Axelia?" gumam Aiden saat berjalan di koridor. Dia kebingungan dengan pernyataan Vincent tadi. Sayangnya rapat yang berlangsung singkat membuat Aiden tak memiliki kesempatan untuk bertanya lebih lanjut ketika seorang kopral masuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Vincent, hingga pria itu langsung mengakhiri pertemuan dan pergi begitu saja dengan acuh. "Kalian pasti tahu ayahnya Vincent. Siapa dia dan di mana dia sekarang?" tanya Aiden menuntut, pada Hannah dan Cellios yang berjalan di sampingnya. Bernandes serta Julian telah memisahkan diri ke pasar.

"Komandan memiliki seorang ayah tiri. Dia adalah seorang komandan Nightroad Zero sebelumnya yang berasal dari kota Maria." Hannah memaparkan.

"Kau harus mencarinya ke Langit jika ingin bertemu dengannya," sambung Cellios dingin.

Aiden terkejut. "Dia sudah meninggal? Apa yang terjadi padanya?"

"Gugur dalam misi."

"Ah, bukankah itu Axelia?" tegur Hannah. Axelia sudah berdiri di seberang koridor tepat dihadapan mereka. Bibir pucatnya tampak menarik senyuman tipis. Aiden menghampirinya. "Axelia apa yang kau lakukan di sini?" kata lelaki itu.

"Menunggumu. Aku merasa bosan," jawab Axelia polos.

"Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat. Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu," balas Aiden.

***

Aiden menceritakan tentang rapat tadi pada Axelia. Dia ingin tahu apakah Axelia pernah mengenal seseorang -mungkin saja orang itu adalah ayah Vincent. Akan tetapi gelengan rambut Axelia menjawabnya. Axelia teringat dengan mimpi semalam. Dan karena mimpi itu, Axelia jadi segan untuk menceritakannya pada Aiden. Aiden begitu menakutkan dimimpi itu. "Aku tidak pernah tau ataupun kenal orang lain selain kau, paman William, Violet dan neneknya di desa Rumh." Ketika itu angin berembus. Sejenak menerbangkan helai anak rambut mereka di depan sepasang batu nisan. "Ngomong-ngomong, apakah ini makam orang tuamu?" tanya Axelia.

"Bukan. Orang tuaku tidak dikuburkan di dalam kota. Makam ini adalah makam kakek dan nenekku yang telah meninggal sewaktu aku masih anak-anak." Sudah berapa tahun Aiden tidak berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir ini. Tetapi hari ini dia datang dengan ditemani Axelia di samping. "Nenekku menikah dengan pria biasa, meninggalkan klan Hellius dan menetap di kota ini sampai akhir hayatnya. Aku beruntung, mereka tidak mati dibantai seperti keluargaku yang menyandang klan Hellius." Tersirat kesedihan dalam nadanya. Aiden mengatakan dengan wajah sendu.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Aku mempunyai seorang adik sepupu dari pihak kakek. Dia tinggal di sini dan menjadi seorang kopral di kepolisian. Aku akan mempertemukan kalian. Dan juga suatu saat nanti akan kubawa kau rumah besar klan Hellius. Rumah tempatku dilahirkan dan tumbuh di sana," janji Aiden.

"Aku tidak sabar menantikannya," kata Axelia. Tersenyum ringan.

Pikiran Aiden sedang berkecamuk. Berhubung karena di sini hanya ada mereka berdua, Aiden tidak bisa menyembunyikan raut murung di wajah rupawannya. Keheningan sesaat menyentuh sanubari mereka. Hingga kemudian Axelia bersuara lagi. "Aiden, katakanlah sekarang."

Aiden mengerjap. "Huh?" Dia terlihat seperti orang bodoh. Memandang Axelia dengan bingung.

"Kau mengajakku pergi berdua karena ada yang ingin kau bicarakan, kan?" tebak Axelia. Di otaknya sudah tercipta dua kemungkinan mengenai Aiden. Yang pertama, Aiden tidak akan tinggal disisinya. Kedua, Aiden masih bersedih atas kematian keluarganya. Orang mana yang tidak sakit hati ditinggal keluarga tercinta yang dibunuh?

Lalu Aiden mendengus ketika sudah memahami perkataan Axelia. "Besok... Aku akan berangkat ke tembok Berlin bersama Nightroad Zero. Berarti aku akan meninggalkanmu di sini." Jawaban tersebut tidak langsung direspon Axelia. Dalam diamnya yang nampak tenang, Axelia merasa takut. Takut pada perasaannya sendiri yang menebak dengan benar. "Dan aku akan membunuh para vampir yang sudah membunuh keluargaku." Tekad Aiden sudah bulat. Dia menyimpan dendam. Hanya dendam yang dapat membuatnya tetap hidup sampai kini.

"Axelia, selama aku pergi, aku akan meminta adik sepupuku menemanimu," tandas Aiden dengan nada melunak yang hangat. Axelia tidak merespon. Wajahnya sedikit menunduk dengan mata yang ditutup kain bersih.

***

下一章