webnovel

Kita Makan di Luar

"Berhentilah membela orang yang tak pantas dibela. Kau tak akan dapat keuntungan apapun dari sana."

Untuk sesaat, Skylar ingin menertawakan dirinya sendiri keras-keras. Siapa yang barusan bicara itu? Kalimat-kalimatnya begitu dalam dan penuh arti. Skylar yang biasanya tak akan pernah mengucapkan kalimat semacam itu. Apakah dia sedang kerasukan sesuatu?

Lagipula, apa yang membuatnya amat peduli dengan Alexa sampai-sampai dia memberikan petuah hidup? Padahal, mereka berdua tidak ada hubungan darah sama sekali. Namun tindakannya terjadi begitu saja tanpa bica dicegah. Bahkan, nasehat-nasehat itu terucap tanpa Skylar sempat memikirkannya.

Melihat Alexa mengangguk pelan, Skylar pun berdiri dari sofa dan membawa bungkusan makanan ke ruangan makan. Sebelum meninggalkan sofa, dia menyuruh Alexa mengikutinya ke ruang makan.

"Kurasa masih terlalu sore untuk makan malam. Tapi kau harus makan karena masih harus minum obat."

Selain meletakkan bungkusan makanan, Skylar juga meletakkan bungkusan obat-obatan di atas meja. Kali ini, dia pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas air dan menyodorkannya ke arah Alexa yang sudah duduk di kursi biasa. Pemuda itu pun duduk dan mulai membuka bungkus burgernya.

Melihat Alexa masih tampak murung, dia menghela napas lagi. "Berhentilah merasa bersalah. Tapi jika kau masih merasa bersalah, kuberi kau dua pilihan. Dia kupecat, atau kau kupecat."

Gadis itu langsung mengangkat wajahnya dengan panik. "Jangan pecat saya…" balasnya lirih. Namun Skylar tetap santai sambil mengunyah burger di tangan. Lama-lama dia merasa seperti orang tua yang sedang mengajari anaknya tentang hal-hal mengenai kehidupan.

"Kalau kau tak ingin dipecat, habiskan makananmu dan minum obat. Setelah itu kembali ke kamar dan istirahat. Tidak boleh bekerja lagi sampai sembuh. Tak usah memikirkan hal yang bukan urusanmu. Paham?"

Lagi-lagi, Alexa mengangguk pasrah. Dia memang merasa kalau kehidupan orang lain bukan urusannya. Namun, perasaan bersalah tak bisa dihilangkan jika alasan dipecatnya seseorang memiliki sedikit hubungan padanya.

Tak lama, Alexa menggeleng, menghilangkan semua pikiran itu dari kepalanya. Jika disuruh memilih, lebih baik orang lain yang dipecat daripada dirinya. Dia masih butuh uang dan tempat tinggal. Apabila dipecat, bagaimana Alexa harus membayar utang? Kemudian, dia akan tinggal di mana? Berkali-kali dia mengulang di dalam kepala apabila tindakannya bukan tindakan salah.

Ketika sedang mengunyah makanan, Alexa mendadak teringat pada sesuatu. Dia sedikit enggan untuk mengatakannya, namun dia memberanikan diri. Biar bagaimanapun, nasibnya sedikit ditentukan di sini.

"Tuan … apakah saya sudah tidak diperbolehkan masak lagi…?" Sepasang mata coklatnya diarahkan pada sang pemuda yang duduk di sebelahnya. Ada kekhawatiran apabila pemuda tersebut mengiakan, dan Alexa jadi kehilangan satu tugas di sini. Hidupnya akan kelewat bosan apabila dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam dapur lagi.

Sayangnya, Skylar tidak langsung menjawab. Dia menimbang sejenak, membuat hati Alexa semakin gelisah dan tidak tenang.

"Tidak," katanya dengan nada tegas. Apabila suara hati seseorang bisa terdengar jelas, maka Skylar yakin bisa mendengar suara pecahan kaca dari dada Alexa. "Tidak sampai lukamu sudah sembuh total. Selama itu, aku akan pesan makan di bawah," tambahnya agar tidak membuat gadis itu semakin cemas. Skylar merasa tidak enak juga mengisengi gadis itu disaat seperti ini.

Ekspresi yang tampak di wajah Alexa terlihat lucu. Skylar nyaris tertawa saat melihatnya. Perubahan ekspresi itu datang secepat badai. Dari ekspresi kecewa, langsung berubah dalam sekejap, menampakkan mata yang berbinar. Apa yang gadis itu rasakan, terlihat jelas pada wajahnya.

Skylar pun melahap gigitan terakhir pada burgernya, kemudian membereskan sampah dan berdiri. "Aku ke atas dulu, masih ada pekerjaan yang belum selesai. Setelah makan, istirahat. Kalau butuh apa-apa, bilang padaku." Kertas pembungkus burger itu diremasnya dan dimasukkan ke dalam tempat sampah di dapur, lantas meninggalkan Alexa sendirian di ruang makan.

Gadis itu hanya bisa mengucapkan terima kasih sebelum tuannya pergi, menghilang di belokan dapur.

Selama nyaris seharian, Alexa merasa amat bosan. Dia tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan apapun dan hanya diperbolehkan menonton televisi atau membaca buku. Sejak sarapan pun demikian. Mereka hanya makan roti tawar dengan selai tanpa diproses lebih jauh, dan tuannya segera naik ke lantai 53 untuk bekerja.

Alexa juga tidak bisa bermain bersama Sophie, karena hewan itu bisa saja tak sengaja mengenai lukanya. Meski sudah berganti hari, rasa nyeri di tangan dan pahanya masih terasa jelas. Tentu Alexa tak ingin memperparah lukanya hanya karena tidak sengaja dijilat Sophie atau tertindih tubuh besarnya.

Saat makan siang pun sama.

Sebelum makan siang, tuannya pamit pergi, mengatakan jika ada urusan dan menyuruhnya menunggu. Tentu saja, mendapat perintah seperti itu, Alexa mau tak mau tetap menunggu sambil bermalas-malasan. Dia juga tidak terpikir memesan makan siang dari bawah. Karena tidak bekerja, energinya tidak terpakai. Rasa lapar yang harusnya datang juga seolah-olah tertunda.

Secara tak terduga, pada pukul dua siang, pemuda itu kembali sambil membawa kotak kardus berisi makanan. Dari labelnya, Alexa tahu kalau kotak yang dibawa oleh tuannya adalah sandwich dari toko yang terkenal.

Sandwich yang dibelikan untuknya pun berukuran besar. Mengejutkan, karena ketika Alexa berniat membagi sandwich menjadi dua, pemuda itu mengatakan kalau dia sudah makan, dan dia memang membelikan sandwich itu untuk Alexa.

Namun, ternyata hal mengejutkan itu tak berhenti sampai di sana.

Ketika sudah tiba waktu makan malam, Skylar lebih memilih memesan makanan dari restoran di bawah. Mereka berdua menunggu pelayan hotel membawakan makanan ke lantai 51 sambil duduk di sofa dan menonton televisi.

Seperti dulu, Alexa tak pernah tahu menu apa yang disiapkan untuk makan malam, karena tidak ada yang bertanya. Tadi pun, Skylar tidak menanyakan menu dan hanya menyuruh pelayan membawakan dua porsi makan malam ke atas. Sehingga, keduanya menunggu dengan tenang dan menganggap menu makan malam sebagai kejutan kecil.

Lima menit setelah pemuda itu menghubungi dapur di bawah, seorang pelayan membawakan troli makanan ke atas. Ketukan di pintu segera membuat Skylar bangkit untuk membukanya, mempersilakan pelayan masuk dan menata makanan di meja makan. Sementara itu, pemuda tersebut menunggu sejenak di depan televisi hingga pelayan selesai menata makanan.

Begitu pelayan menghampiri mereka dan mengatakan makanan sudah siap, barulah keduanya menuju ke meja makan.

Di sana, sudah tertata piring berisi makan beserta alat makan di sisi-sisinya tanpa gelas minuman. Hanya saja, ada satu benda yang menarik perhatian Skylar.

Setelah mendekat, barulah Skylar menyadari ada selembar kertas yang dilipat dan terletak di depan piringnya. Alisnya mengernyit, kemudian memanggil pelayan yang belum sempat meninggalkan ruangan.

"Apa itu?" tanya sang pemuda setelah pelayan kembali ke ruang makan.

Telunjuk Skylar mengarah pada sebuah kertas berwarna merah jambu bertuliskan, 'Makanan ini dibuat dengan sepenuh hati. Selamat menikmati' di depan piring. Hanya ada satu kertas, walaupun ada dua porsi makanan yang dipesan. Selama ini, tidak pernah ada koki yang memberikan kertas tulisan semacam itu di setiap makanan yang Skylar pesan. Wajar jika dia merasa aneh.

"Saya tidak tahu. Koki di bawah hanya menyuruh saya memberikan makanan yang disertai kertas itu pada Tuan," jawab sang pelayan jujur.

"Siapa yang menyiapkannya?"

"Chef Emy."

Satu nama yang diucapkan tersebut langsung membuat Skylar mendengus. Meski awalnya dia tidak tahu nama koki wanita di bawah, tidak sulit mengenali namanya dari sekian koki di sana. Biar bagaimanapun, hanya dia satu-satunya koki wanita di dapur restoran miliknya.

Apakah perempuan itu berniat mengambil hatinya? Jika berdasar cerita Alexa, ada dua kemungkinan alasan perempuan tersebut melakukan hal ini. Pertama, dia ingin menyenangkannya agar tidak dipecat. Kedua, koki tersebut terlalu senang karena Skylar akhirnya memesan di bawah lagi.

"Bereskan ini dan kembalikan ke dapur," kata Skylar pada akhirnya, membuat dua orang lain di sana membelalakkan matanya terkejut.

"Apakah menu makanan malam ini tidak sesuai dengan selera Tuan?" tanya sang pelayan, memastikan alasan yang akan dia berikan pada koki di dapur.

Lagi-lagi pemuda itu mendengus. Menu makan malamnya adalah fillet mignon, salah satu makanan kesukaannya. Mana mungkin dia tidak suka? Hanya saja, pemberian afeksi tanpa diminta, apalagi dari bawahan, bukan hal favoritnya. Dia tidak ingin makan makanan yang disiapkan seseorang dengan niat tersembunyi.

"Ya. Aku tidak selera makan." Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Skylar mulai melangkahkan kakinya keluar ruang makan. Setelah tiga langkah, dia berkata, "Ganti pakaianmu, Alexa. Kita makan di luar."

下一章