webnovel

Beggars Can’t be Choosers

"Benar. Namanya Alexa." Pemuda tersebut mengambil satu langkah ke samping, kemudian memperkenalkan keduanya. "Alexa, ini kepala koki yang kumaksud. Namanya Mr. Smith."

"Ah, selamat sore, Tuan Smith."

Pria itu memandang Alexa sambil mengusap dagunya. Dia mengangguk pelan, kemudian berkomentar, "Hoo, jadi ini alasan yang membuat Tuan Fitzroy berhenti memesan makanan dari sini?" Meski berkata demikian, sebenarnya Smith hanya bercanda. Dia pun tertawa ketika Alexa mulai terlihat gugup.

"Ma-maafkan saya…"

"Ha ha ha. Aku hanya bercanda, Nona."

"Benar. Tak usah sedikit-sedikit meminta maaf, ini bukan salahmu. Aku hanya bosan dengan menu yang sering kumakan dari sini, itu saja." Skylar menepuk bahu pelayannya untuk menenangkan. Jujur saja, dia masih heran kenapa gadis itu mudah sekali meminta maaf, bahkan untuk masalah kecil dan juga hal yang bukan salahnya.

Alexa hanya mengangguk malu, tanpa menyadari kalau di ujung dapur, ada yang menatapnya dengan pandangan tajam.

"Aku tidak bisa memberikan jadwal yang pasti padamu, karena saat-saat restoran tidak terlalu sibuk juga sulit diprediksi," kata sang kepala koki. Dia sudah berdiskusi sejenak dengan pemilik tempat ini, dan harusnya pemuda itu juga telah menyampaikan hasil diskusinya pada Alexa. Maka dari itu, Tuan Smith langsung pada intinya.

"Iya, saya mengerti."

Walau begitu, Alexa tak akan memaksa. Bisa belajar di sini saja sudah merupakan hal luar biasa, meski tidak setiap hari. Lagipula, dia juga tidak tahu kapan pekerjaannya menumpuk atau tidak. Dia punya banyak kewajiban lain, seperti memandikan Sophie, mengajaknya jalan-jalan, dan juga belanja di supermarket. Malah, bisa jadi jadwal akan saling bertabrakan.

"Begini saja. Aku akan menghubungimu kalau restoran sedang sepi dan aku bisa mengajarimu. Bagaimana?"

Sebuah tawaran dari Tuan Smith disambut dengan semangat. Alexa mengangguk cepat beberapa kali sebagai persetujuan. Seolah-olah, Alexa harus segera mengiakan sebelum pria tersebut berubah pikiran.

Lagi-lagi, Tuan Smith tertawa. Sebelum dia mengatakan hal lainnya, Skylar sudah menyela. "Dia tinggal bersamaku sementara di atas. Hubungi saja lewat sambungan telepon hotel."

Tuan Smith mengangguk. "Kalau begitu jadi lebih mudah." Kemudian, dia beralih menatap Alexa. "Kami sedang tidak terlalu sibuk sekarang. Kalau kau mau, kita bisa mulai sekarang. Mungkin hanya sekitar satu atau dua jam, lalu kami akan mulai menyiapkan makan malam."

Tawaran dari Tuan Smith terdengar menggoda. Tentu saja, setelah melihat dapur restoran, Alexa sangat ingin mencoba melakukan pekerjaannya di sana. Namun, dia tetap harus meminta izin dulu pada pemuda di sebelahnya. Sehingga, dia pun menoleh ke arah Skylar.

"Lakukan saja," balas Skylar setelah menyadari pandangan sang pelayan padanya. Dia menjawab sambil mengedikkan dagunya ke arah dapur. "Toh, kau juga sedang senggang, kan?" Skylar menilai demikian karena tadi sempat melihat Alexa duduk santai di sofa, alih-alih sibuk melakukan sesuatu. Gadis itu tidak akan bersantai meski punya pekerjaan yang belum selesai, Skylar tahu benar.

Mendapat persetujuan semacam itu, sebuah senyum cerah segera muncul di wajah Alexa. Bahkan, matanya pun berbinar senang, seperti anak kecil yang akhirnya dibelikan mainan oleh orang tuanya. Melihatnya, Skylar mendengus geli. Merasa terhibur dengan bagaimana Alexa amat mudah merasa senang dengan hal-hal kecil.

"Ya sudah, aku pergi dulu. Jangan lupa siapkan makan malam nanti." Pemuda itu menepuk bahu Alexa pelan dan akan melangkah pergi, keluar dari dapur.

"Tuan Fitzroy."

Namun, panggilan dari seseorang di dalam dapur menghentikan langkahnya. Pemuda itu menoleh dan melihat satu-satunya koki perempuan di sana sedang menatapnya. Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Skylar, tidak pula dia repot-repot menanyakan keperluan wanita itu karena memanggilnya. Dia hanya berdiri dan menunggu.

"Apakah Tuan Fitzroy sudah makan siang? Saya akan segera menyiapkannya," kata koki wanita itu.

Koki wanita itu terlihat muda. Kira-kira umurnya sekitar 20 tahun. Rambutnya pirang dan diikat rapi, sementara bibirnya dipoles dengan warna yang tidak terlalu mencolok.

Awalnya, dia sedikit gelisah setelah memanggil pemilik hotel tersebut. Pada akhirnya, dia memberanikan diri untuk bertanya, yang malah membuatnya terkesan sok dekat, karena ini pertama kalinya dia bicara dengan pemuda itu.

Sejak enam bulan lalu, dialah yang terus membuatkan makanan untuk sang pemuda, tiga kali sehari, dari sarapan hingga makan malam. Menurutnya, wajar jika dia sekarang bertanya, walaupun kebiasaan itu sudah berhenti sejak Skylar tak lagi meminta makanan dari restoran ini.

Namun, pertanyaannya tidak mendapat balasan baik. Alih-alih menjawab, Skylar malah mengernyitkan alis dan segera melangkah pergi sambil mendengus, meninggalkan dapur yang kini berada dalam suasana sesak.

Koki wanita itu tidak sadar sedang dipandang dengan tatapan terkejut oleh koki-koki lainnya. Mereka kaget karena rekannya amat berani menanyakan hal seperti itu pada pemilik tempat ini. Bahkan, beberapa dari mereka menyangka dia sudah gila.

Penolakan tersirat dari Skylar tentu saja membuat Emy, sang koki wanita di sana, tercengang dan tak bergerak selama beberapa saat. Suasana di dalam dapur jadi sangat aneh. Bahkan Alexa juga hanya berkedip di tempatnya. Sikap yang ditunjukkan oleh tuannya sangat familiar di minggu-minggu awal Alexa bekerja padanya. Dia jadi merasa sedikit kasihan juga ketika orang lain pun mendapat perlakuan dingin darinya.

Tuan Smith mendadak berdeham, kemudian memecah suasana ruangan yang sedikit berat. Koki lain yang sempat berhenti bekerja, langsung fokus pada apa yang ada di depan mereka. Sementara itu, Tuan Smith kembali bicara pada Alexa.

"Kemari. Cuci tanganmu dulu."

Gadis itu menurut dan mulai mencuci tangannya di wastafel. Sembari Alexa mencuci tangan, kepala koki pergi ke tempat loker dan mengambil celemek di sana dan diberikan pada orang baru di sana setelah dia selesai mencuci tangan.

"Terima kasih."

Setelah menerima dan memakai celemek tersebut, Alexa baru teringat kalau selama ini dia memasak tidak menggunakan celemek. Mau tak mau, dia pun kepikiran untuk membeli celemek. Dia merasa sayang jika pakaian mahal pemberian tuannya sampai terkena percikan minyak. Maka, dalam hati, dia mengingat-ingat agar membeli celemek saat belanja keesokan hari.

Kepala koki pergi lagi untuk mengambil beberapa bahan. Tak lama, dia membawa papan potong dengan dua udang besar dan seekor ikan utuh. Papan itu kemudian diletakkan di depan Alexa.

"Coba katakan bagaimana caranya kau membersihkan dan memasak udang?" tanya Tuan Smith, seperti sedang menguji muridnya secara lisan.

Seraya melihat udang berwarna abu-abu sepanjang telapak tangan di depannya, Alexa berkata, "Biasanya saya mengambil kulitnya dengan cara menggunting atau disobek dengan pisau, lalu dikupas dengan jari. Lalu bagian belakangnya ditusuk dengan tusuk gigi untuk mengambil saluran kotorannya."

"Lalu kepalanya?" Tuan Smith cukup puas dengan jawaban yang diberikan Alexa. Mengambil saluran kotoran udang itu sangat penting. Jika saluran kotoran tidak diambil, maka orang-orang secara otomatis ikut memakan tahi udang tanpa sadar. Itu adalah sebuah kesalahan fatal dalam sebuah bisnis semacam restoran.

"Kepalanya … dipotong pakai pisau."

Meski itu bukan jawaban yang diinginkan oleh kepala koki, namun dia tetap mengangguk. Dia maklum dengan Alexa, karena sebelum ini, Tuan Fitzroy sudah mengatakan jika Alexa hanya belajar masak secara otodidak. Jika gadis itu tidak mengerti beberapa teknik dasar, maka bisa dipahami, dan dia tak berhak marah. Pengecualian jika dia sedang mengajar di sekolah memasak. Tuan Smith tidak akan ragu untuk memarahi dan membentak karena pengetahuan dasar semacam itu.

"Kau hanya perlu memutar bagian kepalanya, dan akan lepas dengan mudah. Cobalah."

Menurut, Alexa mengambil udang itu. Tanpa mengupas kulitnya terlebih dahulu, dia mulai memosisikan kedua tangannya di bagian tubuh dan kepala udang. "Seperti ini?" Sambil bertanya, Alexa memutar kepala udang hingga lepas dari tubuhnya.

"Benar. Kau tak perlu memotongnya dengan pisau lain kali kalau ingin membuang kepalanya." Tentu saja, jika dipotong dengan pisau, akan ada daging yang terbuang, dan rasanya sayang.

Berada di tempat ini, Alexa jadi membayangkan bagaimana jika dirinya benar-benar masuk ke sekolah memasak. Mungkin hal-hal yang akan didapatkannya bisa lebih banyak daripada ini.

But beggars can't be choosers. Sebagai orang yang tidak mampu, Alexa tak boleh terlalu banyak memilih dan berharap. Biar bagaimanapun, bisa diajari secara pribadi oleh kepala koki adalah sebuah berkah, dan Alexa harus bersyukur karena diberi kesempatan seperti ini. Bukankah begitu?

下一章