Malam ini kakek mengundang Bastian, Paman Hendri, Bibi Diana dan Victor untuk makan malam di rumah. Kakek merasa sudah jarang sekali makan dengan anak beserta cucunya.
Bastian mengenakan kaus lengan panjang coklat dengan celana putih. Penampilannya kelihatan kasual hari ini. Dia ingin menikmati makan malam ini dengan tenang. Sayangnya keinginannya mungkin tidak akan terkabul. Karena Paman Hendri dan Victor akan makan semeja dengannya!
"Duh, kapan Tuan Hendri, Nyonya Diana dan Tuan Victor datang ya?" kata Adi sambil melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 19.00 malam.
"Kenapa?" tanya Bastian sambil asyik membaca majalah di sofa ruang tamu kakek.
"Saya udah laper banget, Tuan," kata Adi jujur.
Bastian hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah polah asistennya ini. Kini Bastian mempertimbangkan untuk mengganti Adi dengan asisten baru.
"Tuan jangan berniat mengganti posisi saya sama orang lain lho," celetuk Adi.
Bastian kaget. Apakah Adi bisa membaca pikirannya, batinnya.
"Ya semua itu sih tergantung sama sikap kamu, Di," cibir Bastian.
"Jangan dong, Tuan. Gini-gini saya masih punya adik yang harus dibiayai sekolahnya, hutang almarhum ayah belum lunas dan masih banyak lagi," rengek Adi.
Bastian tertawa kecil. Kadang menggoda asistennya ini sangat menyenangkan.
Beberapa saat kemudian Paman Hendri, Bibi Diana dan Victor sampai di rumah kakek. Seperti biasa, Bastian melemparkan senyum dingin pada pamannya itu. Dia malas bertegur sapa dengan adik ayahnya itu.
Bastian masih memaksakan seulas senyum ke arah Bibi Diana. Senyum Bastian dibalas senyuman hangat oleh Bibi Diana. Sekalipun tidak menyukai Paman Hendri, Bastian masih menghargai Bibi Diana.
Sementara itu Bastian hanya menatap dingin Victor. Ia masih kesal melihat sepupunya itu. Ia menganggap sepupunya selalu berusaha mendekati Kirana. Apakah Victor menyukai Kirana? Itu adalah pertanyaan yang selama ini melintas di kepalanya.
Victor masuk ke rumah dengan malas. Dia terlihat tidak bersemangat ikut acara makan malam keluarga.
"Untung kalian semua sudah datang," kakek muncul tiba-tiba.
Ia mengajak mereka menuju ruang makan.
Meja makan sudah dipenuhi dengan beraneka makanan, mulai dari pudding, salad, steik, ikan bakar dan mashed potato. Semua itu adalah makanan kesukaan kakek.
Adi menatap makanan di depan matanya dengan tatapan berbinar-binar. Ia paling suka ikut makan malam dengan keluarga tuannya. Makanan di rumah keluarga Dewandra tidak pernah mengecewakan.
Mereka semua makan dengan diam. Tidak ada satupun yang membuka mulut.
"Jadi gimana dengan proyek kerjasama kita dengan perusahaan di Amerika Serikat?" tiba-tiba kakek menanyakan proyek yang sedang ditangani Paman Hendri.
"Berjalan lancar, Yah. Kita tinggal tunggu mereka menandatangani kontrak saja," jawab Paman Hendri.
Kakek hanya mengangguk-angguk.
"Bagaimana dengan bisnis resort, bar dan klub malammu, Vic?" tanya kakek pada Victor.
Kakek jarang sekali bertanya tentang bisnis yang sedang dijalankan Victor. Karena kakek tidak terlalu menyukai bisnis yang sedang digeluti Victor pada awalnya.
Kakek yang lahir di tahun 40an masih menganggap tabu bisnis yang berkaitan dengan tempat hiburan malam. Karena orang-orang di jaman kakek tumbuh selalu menganggap tempat-tempat seperti itu kotor.
"Klub malamku cukup baik. Banyak orang sedang menyewa resortku di Bali dan Lombok," kata Victor. Ia kembali memotong steiknya.
"Baguslah kalau begitu," kata kakek singkat.
Bastian melirik ke sampingnya. Di sampingnya Adi sedang lahap sekali memakan steik dan mashed potato. Mulut Adi tidak berhenti mengunyah.
Bastian hanya berdecak lidah melihat kelakuan asistennya. Dasar rakus, batinnya.
"Oh ya ngomong-ngomong kakek ingin sekali sebelum meninggal, kakek bisa melihat Victor dan Bastian menikah," kata kakek.
Deg!
Victor dan Bastian saling pandang.
"Aku tidak berminat menikah buru-buru, Kek," jawab Victor.
"Kenapa tidak? Kamu harus segera menemukan wanita yang kamu cintai dan menikah," kakek bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
"Aku masih muda, Kek," balas Victor.
"Saat seusiamu kakek sudah punya anak. Apanya yang masih muda, Vic? Kamu sudah cukup umur. Pokoknya kalau kamu menemukan wanita yang kamu cintai, kakek akan langsung memberi restu."
Paman Hendri dan Bibi Diana hanya diam mendengarkan kakek.
"Bas, kamu juga harus segera menikah," kata kakek pada Bastian.
"Jawabanku sama dengan Victor," balas Bastian.
"Dasar, Anak Nakal. Kamu sudah punya wanita yang kamu cintai, tunggu apa lagi? Kakek akan merestuimu dengan Dokter Kirana."
Baik Victor dan Bastian terbatuk-batuk mendengar ucapan kakek barusan.
"Mereka bahkan gak pacaran," celetuk Victor. Jujur dia kesal mendengar kakek menyuruh Bastian menikahi Kirana.
"Gak pacaran terus langsung menikah kan gak apa-apa," balas kakek. "Jadi bagaimana, Bas?"
Bastian menghela napas. "Aku gak bisa gitu aja menikah, Kek. Aku masih harus membuat Kirana jatuh cinta seratus persen padaku. Baru setelah itu, aku akan langsung melamarnya."
"Bagus, bagus," kakek terlihat senang. "Kakek, tidak sabar menggendong cicit pertama kakek, Bas. Pasti cicit kakek kelak akan pintar sepertimu dan baik seperti Kirana. Kakek akan mendukungmu. Pokoknya Bastian hanya boleh menikah dengan Kirana."
Victor sudah tidak tahan dengan semua pembiacaraan pernikahan ini. Kupingnya panas dan gatal setiap mendengar Kirana berusaha dijodohkan dengan Bastian.
"Aku sudah selesai makan. Aku pamit dulu," kata Victor lantas berdiri dan meninggalkan ruang makan begitu saja.
Kakek, Bastian, Paman Hendri, Bibi Diana dan Adi hanya mematung melihat kepergian Victor dengan penuh tanda tanya.
….
22.00
Vero melangkah masuk ke sebuah bar di daerah Jakarta Pusat. Hari ini adalah hari ulang tahun teman sesama model yang kebetulan kemarin satu proyek pemotretan dengan Vero.
Vero diundang untuk pesta perayaan di salah satu bar paling terkenal dan kelas internasional. Sejujurnya Vero bukan tipe orang yang suka ke bar apalagi minum alkohol. Dia ingat betul alkohol berlebihan sangat tidak baik untuk tubuh.
Tapi mau bagaimana lagi, Vero tidak enak hati menolak undangan temannya itu. Alhasil disinilah ia sekarang. Berdiri dengan gaun berleher V rendah lengkap dengan highheels dan anting besar.
Mata Vero mencari-cari dimana keberadaan temannya itu. Tak beberapa lama, Vero melihat sesosok wanita yang ia kenal. Sangat familiar. Miranda.
Miranda sedang duduk di bar bersama seorang pria. Dari samping pria itu terlihat muda dan tampan. Dan mungkin saja kaya raya.
"Dasar perempuan jalang. Dimana-mana selalu berduaan dengan pria," guman Vero.
Vero hanya melihat dari jauh bagaimana Miranda berbicara dengan pria itu. Lalu Miranda bangkit berdiri dan berjalan menuju toilet.
"Well, jadi begini kelakuanmu," Vero muncul tiba-tiba.
Miranda otomatis menoleh.
"Rupanya kamu," cibir Miranda. "Aku gak nyangka model murahan bisa nongkrong di tempat seperti ini juga.���
Vero tertawa sinis. "Sekalipun aku tidak kaya seperti kamu, setidaknya aku masih punya teman model yang mengundang pesta ulang tahun disini. Tentu gak kayak kamu, ke bar cuman buat berduaan dengan cowok."
Miranda langsung berkacak pinggang. "Apa maksudmu?"
"Ups, sori kalau kata-kataku menyinggung," ledek Vero. "Cuman aku gak habis pikir aja sama artis yang katanya dari keluarga kaya tapi masih aja nyari cowok kaya raya."
Miranda ingin sekali menampar Vero. Dia sudah lama menantikan momen dimana dirinya memukul gadis di depannya itu.