"Baiklah, Semua! Demikian sosialisasi ini. Jika sudah tidak ada pertanyaan lagi, kita bisa memulai pendakian. Semua sudah siap?" Tanya ketua club laki-laki yang bersuara lantang dan gagah itu.
"Siap!" Jawab semua peserta.
Setelah itu, mereka mulai memasuki jalur pendakian dengan tas besar di punggung masing-masing.
Hadyan menoleh ke belakang. Ia mencari sosok gadis dengan rambut dikuncir kuda dan mata indah yang selalu membuat hatinya sejuk dan damai.
Tasia berada beberapa langkah di belakangnya, berdampingan dengan Tata, Patra, dan Mark. Hadyan langsung menghela napas lega. Selama gadisnya tidak sendirian, maka ia tidak perlu merasa khawatir berlebihan.
"Ada apa, Hadyan?" Tanya Marya, menyadari konsentrasi pujaan hatinya itu teralih. Padahal dari tadi gadis itu sedang bercerita banyak hal padanya.
"Hanya memeriksa yang lain. Mereka ada di belakang." Hadyan mengembalikan pandangannya ke depan. "Aku merasa dari kemarin Tasia marah padaku. Tidak biasanya dia bersikap begitu. Apa kau tau kenapa tiba-tiba ia menjadi dingin padaku?" Tanyanya.
Marya mengerutkan dahi. "Entahlah. Setauku, Tasia memang dari awal tidak suka padamu. Kalau memang ia marah, lebih baik jangan dekat-dekat dengannya. Benar, 'kan? "
Hadyan terdiam sebentar. "Tapi akhir-akhir ini kami berteman dengan baik. Kenapa ia tiba-tiba menjauhiku lagi?"
"Karena itu, sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengannya. Dia bisa marah besar dan malah semakin membencimu. Kau kan tidak mengenal Tasia dengan baik," Jawab Marya cepat.
"Aku mengenalnya dengan baik." Balas Hadyan dengan nada suara tegas, bahkan sampai membuat Marya terkejut.
Namun gadis itu cepat bersikap dan memaksa tawa. "Baiklah.. baiklah.. Kau memang pengertian dan mengenal semua orang dengan baik, Hadyan. Karena itu kau sangat populer."
Meski Hadyan adalah seorang pangeran yang sangat percaya diri, ia berencana mengikuti saran Marya untuk tidak dulu mendekati Tasia. Ia benar-benar payah soal ini. Biasanya pangeran Rangin adalah sosok yang selalu dapat membantunya dengan saran dan solusi. Namun sekarang ia tidak dapat bertemu dengan kakaknya itu.
Setelah pendakian yang menyenangkan dan melelahkan, akhirnya usaha keras mereka terbayarkan setelah sampai di camping ground pada sore hari. Di sana, seluruh peserta yang sudah kelelahan dibantu anggota panitia untuk mulai mendirikan tenda mereka sebelum langit menjadi gelap.
"Ternyata mendaki tidak sesulit yang aku bayangkan," Ujar Tasia dengan nada meremehkan dan tentu saja ia berbohong.
Patra meliriknya sinis. "Karena gunung ini untuk pemula. Dan kalian bersama anggota yang sudah sangat terlatih seperti kami. Rasanya anggota klub kami malah menjadi pembatu peserta luar," Ocehnya, tidak menyadari bahwa temannya hanya menggoda. Ia juga sudah kelelahan, tapi masih harus mengurus peserta lain yang manja bagai anak kucing berumur dua minggu.
"Jangan lupa, Patra. Kalian juga membutuhkan uang kami, 'kan?" Sahut Tata dengan senyum liciknya. Tasia mengangguk setuju, meniru senyuman sahabatnya.
"Sudahlah, Tra. Kita tidak akan menang melawan mereka." Mark menepuk pundak kawannya yang sibuk mendirikan tenda dengan wajah cemberut. Masalahnya, itu adalah tenda ke lima yang ia bantu dirikan. Rasanya sendi-sendinya akan copot semua.
"Eh? Ada yang melihat Hadyan dan Marya? Ke mana mereka?" Tanya Mark, memperhatikan sekeliling.
Tata langsung melirik Tasia yang seketika menjadi salah tingkah. "Mungkin sedang mendirikan tenda."
"Tidak mungkin. Tadi aku baru saja berkeliling dan mereka tidak ada. Kalian anak perempuan seharusnya di dalam satu tenda, 'kan? Kenapa Marya tidak ada disini?" Tanya Patra.
Tata mengangguk kesal. "Ya.. Anak malas itu malah lebih memilih menghilang entah ke mana daripada membantu kami memasang tenda tempatnya tidur."
"Pasti mereka pergi untuk pacaran. Dasar anak-anak awam yang tidak mengenal gunung!" Patra mendadak nampak khawatir. Percaya tidak, alam bebas, terutama gunung dan hutan adalah tempat yang harus dihormati. Kita tidak boleh berlaku sembarangan di sini.
"Sebaiknya kita segera mencari mereka. Sebentar lagi gelap," Saran Mark cepat setelah melihat jam tangannya.
"Eum.. Kalian saja yang pergi mencari mereka. Aku takut," Tasia beralasan.
Tata menyadari hal itu sehingga ia tidak berkomentar seperti biasanya, melainkan hanya meng-iya-kan permintaan tersebut. Ia tau Tasia hanya sekedar ingin menjauh dari kedua orang itu.
"Baiklah, Sia. Kami pergi mencari mereka dulu. Kau tunggu di dalam tenda saja atau di dekat gerombolan sana." Tata menunjuk kumpulan panitia dan peserta lain yang sedang beristirahat setelah selesai mendirikan tenda.
Tasia mengangguk. "Oke."
Lalu ketiga kawannya langsung pergi meninggalkankan dirinya sendirian di depan tenda kosong.
Saat itu, Tasia tidak berkeinginan mengobrol dengan siapapun. Ia sedang membutuhkan waktu sendirian di dalam tenda karena suasana hatinya sedang buruk.
'Tidak kusangka akhirnya aku benar-benar menyukai Hadyan. Kenapa ini semua bisa terjadi? Dia adalah hantu! Bagaimana mungkin, aku yang mengetahui hal itu masih bisa menyukainya?
Bahkan sekarang aku jadi cemburu setelah melihat bahwa ia menjadi dekat dengan Marya. Ternyata jin laki-laki sama saja dengan kaum adam di alam manusa. Mereka adalah hidung belang! Sial sekali aku bisa terjebak dan jatuh hati padanya. Untung saja aku tidak sampai setuju ikut dengannya tinggal di alam goib. Siapa tahu jika ternyata ia sudah memiliki ratusan istri di sana?'
Tasia mendengus berkali-kali. Mungkin ia akan segera menjadi gila jika tidak mengalihkan pikirannya dari kedua orang itu. Karena itu, Tasia memutuskan untuk keluar tenda dan berjalan kaki di sekitar wilayah camping mereka.
"Ah! Segarnya! Seharusnya dari tadi aku melakukan ini!" Gumam Tasia sambil melangkah santai dalam balutan jaket hijau gelapnya sambil melihat keindahan alam sekitar, menikmati jajaran pohon yang menjulan tinggi dan kicauan burung-burung sore yang merdu.
Tanpa sadar, Tasia sudah berjalan sedikit jauh dari yang semestinya karena terlalu terpukau oleh pemandangan pegunungan itu. Namun tidak butuh waktu lama bagi gadis penakut sepertinya untuk menyadari hal tersebut, sehingga ia segera melangkah pulang.
Tiba-tiba, dengan samar, ia mendengar suara wanita tertawa hingga membuatnya nyaris memekik kaget dan lututnya seketika menjadi lemas.
"Eh? Seperti suara tawa Marya," Pikir Tasia setelah tersadar.
Karena penasaran, perlahan ia mengikuti suara tawa yang hilang timbul bersama suara obrolan samar. Dan.. benar saja. Lagi-lagi ia menemukan Marya dan Hadyan sedang mengobrol berduaan beberapa meter darinya, terhalangi batang-batang pohon yang menjulang tinggi.
'Lagi?! Sial sekali aku selalu mendapat pemandangan semacam ini!' Dengusnya kesal.
Lalu, bagai disambar petir di tengah hutan, ia melihat sebuah adegan yang teramat menyayat hatinya. Marya mencium pipi Hadyan di tengah obrolan mereka.
Kedua mata Tasia terbelalak dan tenggorokannya mendadak terasa kering.
'Sebaiknya aku segera pergi dari sini.' Ucap Tasia dalam hati.
Kemudian ia berbalik terburu-buru, lalu melempar langkahnya dengan ceroboh hingga menyebabkan kata-katanya tadi menjadi kenyataan. Ia benar-benar tertiban 'Sial'.
Krak! Brugh!
Tasia tersandung akar pohon dan jatuh ke atas tumpukan kecil ranting kayu dan dedaunan kering.
Hadyan dan Marya yang sedang duduk berdua di atas batang pohon yang sudah tumbang, mendengar suara gaduh itu dan langsung menoleh ke belakang.
Sementara itu, Tasia dengan cepat kembali berdiri. Ia mendapati kedua orang itu tengah menatapnya terkejut.
Tasia tidak tau lagi bagaimana warna wajahnya sekarang. Mungkin itu bisa disandingkan dengan tomat atau semangka kupas.
Yang terpikir olehnya hanyalah tersenyum, mengisyaratkan maaf menggunakan kedua telapak tangannya yang ia satukan, dan memberikan simpol piece dengan kedua jarinya. "Maaf ganggu teman-teman. Silahkan lanjutkan." katanya, diselingi cengiran canggunf.
"Oh, tidak!" Detik itu juga, Hadyan langsung mengejar Tasia yang tiba-tiba berlari kabur terbirit-birit bagai dikejar hantu, meski dapat dibilang, itulah yang benar terjadi.
Hadyan berlari meninggalkan Marya sendirian di sana tanpa mengatakan apa pun.
"Tasia! Tasia! Tunggu!" Seru Hadyan sambil berlari sangat cepat hingga jarak mereka yang tadinya cukup jauh, menjadi hanya sangat tipis.
Namun, masih terlalu jauh baginya untuk bisa meraih gadis itu. Sementara Tasia masih terus berlari sekuat tenaga bagai atlet olimpiade.
Tasia tidak berani menoleh karena ia tau seperti apa wajahnya sekarang ini. Malu yang ia rasakan tidak dapat digambarkan dengan apa pun. Ia benar-benar selesai.
"Tasia! Berhenti! Jangan berlari! Berbahaya!" Seru Hadyan, menyadari bahwa mereka sudah keluar jalur aman. Namun Tasia tidak mendengarkan. Seakan telinganya ditutup oleh deru angin dan kepanikan.
"Tasia! Berhen.."
Brakk! Srukk!
Tasia perlahan menghentikan laju kakinya saat mendengar suara yang teramat buruk itu. Jantungnya berdebar keras dan pandangannya sedikit kabur.
Ia membayangkan apa yang sedang terjadi di belakangnya dan berharap bayangan itu tidak benar-benar terjadi. Namun keheningan yang tiba-tiba melanda, menandakan sosok Hadyan benar-benar tidak berada di belakangnya lagi. Itu membuatnya menoleh ngeri.
"Hadyan!" Serunya panik dari pinggir jurang, menatap ke bawah medan terjal itu.
Teman2.. makasih buat supportnya yah! Dan teruntuk kalian udah berbaik hati send gift ke cerita sy ini, makasih banyak!! Selamat membaca teman2.. \(^^)/