Hingga waktu sudah tiba di siang hari, Khanza masih enggan mencicipi makanan yang di suguhkan oleh ibunya. Tak peduli apapun yang sudah di lakukan oleh ibunya untuk merayunya agar mau menelan sedikit saja makanan yang disiapkan sejak tadi, Khanza tetap saja menolak.
"Heh, apaan ini? cih, apa kau sungguh sakit karena kelelahan atau kau sedang merasa dalam masalah yang berat? Ceritakan pada kakak jika ad ayang membebanimu." Kali ini sang kakak datang menghampiri Khanza yang berbaring lemah di kamar sebelum dia pergi utuk bekerja.
"Enggak. Aku hanya ingin tidur saja, nanti juga baikan. Kakak pergi saja bekerja, gih!" ujar Khanza mengusir pelan kakak nya unuk segera keluar dari kamarnya segera.
"Meski sakit masih saja menyebalkan ya, ini anak. Cepat makan, ibu sudah panik sejak tadi karena kau mogok makan dari pagi, jangan begini. Apa kau tidak kasihan pada ibu?" Arumi memang kerap sekali bersikap tegas dan sedikit galak pada Khanza, adiknya. Namun sebenarnya dia snagat khawatir dan menyayangi adiknya, mendengar adiknya jatuh sakit pagi ini dia begitu cemas. Tapi di bali itu semua, dia tak ingin menampakkan kecemasan dan kekhawatirannya sehingga membuat Khanza menadi sosok yang manja.
Khanza pun tak pedulikan omelan Arumi, dia malah berbalik badan dan bersembunyi di bawah selimut yang menutupi tubuhnya sejak pagi tadi. Ia sama sekali tak menjawab walau sang kakak selalu mengajaknya bicara.
"Hah, dasar keras kepala. Ya sudah lah, kakak harus kembali bekerja. Apakah kau ingin kakak membawakanmu sesuatu sepulang bekerja nanti?"
"Engga perlu, kakak sangat cerewet!" jawab Khanza dengan cetus. Membuat Arumi menggertakkan giginya menahan kesal. Karena meski sakit, Khanza masih saja membuatnya kesal dan tidak pernah bersikap merengek atau manja sekalipun padanya. Memang itu yang dia inginkan sebenarnya. Lalu kemudian Arumi beranjak pergi untuk menjalani aktifitasnya seperti biasa sebagai pekerja di suatu pusat swalayan.
Karena menyadari sang kakak sudah keluar dari kamarnya, Khanza kembali berbalik badan lalu mencoba unuk meraih ponselnya. Dia tatap layar pnselnya itu, tak ada satupun sebuah pesan singkat dari yang dia harapkan, pak Gibran. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, seharusnya sudah jam akhir pelajaran di sekolah.
"Apa kau sungguh sebahagia itu ketika dengan keluarga kecilmu? Lalu bagaimana ketika bersamaku? Sampai detik ini aku tidak tahu, apa dan siapa aku bagimu, pak Gibran. Hatiku sakit melihat kebahagiaan mu dengankeluarga kecilmu, namun di sisi lain aku pun telah terlanjur berada di posisi sial ini, dan berat rasanya aku untuk melepasmu." Ujar Khanza denga butiran air mata yang mengalir dari ujung kedua matanya yang masih membengkak akibat terlalu banyak ia menangis sejak semalaman.
Ceklek!!!
Lalu kemudian terdengar suara pintu yang terbuka, dengan cepat Khanza menyeka air matanya. Iya tak ingin satupun orang mengetahui kesedihannya saat ini, atau ini akan menjadi masalah besar.
"Hah, entah ibu harus apa lagi melihatmu begini. kau masih saja belum makan sejak pagi tadi, apa kau rindu dengan kondisilemah begitu?" ujar sang ibu dengan helaan nafas panjang sebelumnya.
"Bu, aku hanya ingin tidur saja."
"Jika begitu mengapa kau tidk tidur sejak tadi? Lihat matamu bahkan semakin membengkak saja. Kau jadi sangat jelek, cih."
Khanza tersenyum meski mendengar ibu nya yang berucap demikian, karena dia tahu bahwa itu adalah wujud perhatian ibunya untuknya kala sedang sakit. Khanza mencoba untuk beranjak bangun, untuk bisa lebih leluasa berbicara dengan ibunya.
"Bu, bolehkah aku bertanya sesuatu yang serius?"
Ibu Khanza menatap wajah puterinya itu dengan mengerutkan keningnya, karena tidak seperti biasanya dia melihat puterinya memiliki wajah yang terlihat serius seperi yang dia saksikan detik ini. Lalu kemudian ibu Khanza duduk di dekat nya. Tepat di ujung kaki Khanza yang masih berbalut selimut.
"Katakan, apa yang ingin kau ketahui dari ibu mu ini." Ujarnya kemudian.
"Bu, ehm.. apakah kau pernah melepaskan seseorang meski nyatanya kau masih mencintainya?"
Ibu Khnza terhentak sejenak dengan kedua bola mata yang melotot, kemudian tersenyum menanggapi pertanyaan puterinya kali ini.
"Pernah. Ibu pikir semua kan baik-baik saja, tapi nyatanya tidak. Ibu tidak baik-baik saja, malah justru itu menyakiti hati ibu bertahun-tahun lamanya." Jawab sang ibu dengan menyumbingkan bibirnya, menatap lurus ke depan, seolah sedang mengenang kembali kejadian menyakitkan itu.
"Lalu apa yang ibu lakukan setelah itu?"
"Ibu… ya, ibu… Ibu perrgii, iu pergi ke suatu tempat yang tidak ada satupun tempat kenangan dengannya, hingga akhirnya ibu ertemu dengan ayah mu."
"Semudah itu, bu?" tanya Khanza kembali seakan tak percaya karena nada bicara ibu nya terdengar terputus-putus. Sementara Khanza mengenal betul gelagat ibunya itu.
"I,iya lah. Unuk apa menyiksa diri lama-lama, jika di luar sana masih banyak laki-laki lain yang bisa mencintai kita dengsan kehidupan yang baru lagi. Iya kan?"
Khanza menangkap ada yang berbeda dari sikap ibunya yang kini berubah kikuk dan salah tingkah, kedua bibirnya pun mulai gemetaran, dan sedang berusaha ibunya smebunyikan di depan Khanza.
"Bu…" panggil Khanza dengan pelan, ia mencoba memancing ekspresi ibunya yang mulai memainkan jemarinya untuk melawan kegusarannya.
"Ya?" ibu nya pun menjawab dengan cepat tanpa menyadari jika kini puterinay sedang menjebaknya.
"Ehm, tidak jadi. Mendadak aku lupa dengan apa yang aka aku tanyakan lagi pada ibu." Ujar Khanza mengalihkan perbincangannya. Ia semakin menyadari jika ibunya memang telah menyembunyikan sesuatu yang yang sangat rahasia.
"Ya sudah, sebaiknya kau istirahat saja, ibu akan menyiapkan makan siang yang baru lagi untukmu, ini sudah dingin." Dengan cepat sang ibu beranjak berdiri lalu merih makanan yang sejak pagi disiapkan untuk Khana diatas meja belajarnya tepat di samping tempat tidur Khanza.
Khanza tak lagi berani bertanya karena dia merasa percuma, sebab dia sudah berencana akan mencari tahu perlahan apa yang sedang ibunya sembunyikan, mengapa dia begitu gusar hanya karena satu pertanyaan saja dari nya tadi.
Sedang diluar kamar, ibu Khanza pergi ke dapur dengan hati yang tak menentu megingat apa yang sedang di pertanyakan puterinya tadi. Dia mulai mondar mandir gak jelas di dapur sendirian, seraya memegangi keningnya, memijit-mijit pelan di sekitar ujung kepalanya.
"Apakah, apakah Khanza sudah mulai curiga? Atau jangan-jangan Khanza diam-diam sudah mengetahui semuanya? Oh Tuhan, semoga tidak. Aku tidak mungkin membiarkannya mengetahui semua ini, ini belum saatnya." Ujar ibu Khanza mulai panik.
Sementara di dalam kamar, Khanza kembali meratapi hatinya yang sedang kalut tak menentu. Yang selalu muncul dalam pikirannya saat ini ialah ingin menghentikan semuanya, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia tidak bisa berhenti begitu saja, ia mulai merasa jauh ke dalam jebakannya sendiri.