webnovel

Chapter 43

Semuanya terjadi begitu cepat.

Suara bel membangunkanku dari tidur, kurasakan tempat tidur kami bergerak saat Nick turun. Aku tidak tahu pukul berapa saat ini jadi kupejamkan kembali mataku, tapi keheningan berikutnya membuatku membuka mataku lagi lalu memandang jam digital di sebelah tempat tidur yang menujukkan pukul 2 malam.

Detik berikutnya suara sesuatu yang pecah terdengar dari luar diikuti oleh suara Nick yang berteriak marah. Jantungku seperti melompat di dalam rongga dadaku saat suara kaca yang dipecahkan terdengar lagi, di tengah kegelapan aku turun dari tempat tidur lalu mengenakan mantel tidurku.

"Aku akan membunuhmu jika kau menyentuhnya!" ancaman Nick membuatku memperlambat langkahku, dengan jantung yang berdebar keras tanganku membuka kenop pintu kamar. Nick berdiri memunggungiku dengan tubuhnya yang tegang, Ia hanya mengenakan celana panjang piyamanya. Tapi aura membunuh yang sangat kuat memancar dari tubuhnya hingga membuat bulu halus di tubuhku meremang. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat dan nafasku tercekat saat melihat pecahan kaca dan darah segar yang mengalir dari kepalan tangannya.

"Mr. Shaw, kami hanya akan bertanya sekali." Lima orang pria berdiri di ruang tengah penthouse Nick, mengelilinginya. Kelimanya mengenakan coat panjang berwarna hitam serta kemeja yang berwarna senada, seperti pemain di dalam film The Matrix. Dua dari lima orang itu mengenakan kacamata hitam, sedangkan sisanya memandang Nick dengan mata mereka yang berwarna hitam. Aku bisa melihat sepasang taring saat pria itu berbicara. "Dimana Alastair?"

Nick mendengus, Ia menatap lurus ke arah pria yang berbicara padanya tapi aku tidak bisa melihat ekspresinya. "Aku tidak membunuhnya." Jawabnya perlahan dengan nada dingin, "Belum."

"Kalau begitu kau harus ikut untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kau dan..." Tiba-tiba Ia menoleh ke arahku, "Miss Heather." Kedua lututku terasa lemas saat sepasang mata berwarna hitam itu menatapku. Nick menerjang ke arah pria itu tapi tiga orang lainnya menariknya lalu menjatuhkannya ke lantai, pria yang sedang berbicara itu bahkan tidak berkedip sama sekali saat Nick menyerangnya. Ia hanya menundukkan kepalanya untuk menatap Nick yang sedang berusaha melepaskan dirinya dari ketiga orang lainnya. "Kami memiliki penawaran, Mr. Shaw. Jika kau mengakui segalanya sekarang maka Miss Heather tidak perlu ikut. Hanya kau saja."

Mengakui segalanya? Tanganku masih memegang kenop pintu dengan erat, "Alastair masih hidup." Diluar dugaanku suaraku terdengar tenang. Aku berharap ekspresi di wajahku saat ini sama dengan nada suaraku. Pria itu menoleh perlahan ke arahku, "Alastair sudah menghilang lebih dari 3 hari. Tidak ada yang mengetahui keberadaannya hingga saat ini."

"Ia masih hidup." Ulangku. "Jika Ia sudah mati, aku tidak akan berada disini saat ini."

Pria itu tersenyum samar, hanya berupa kedutan di salah sudut mulutnya. "Kau akan menjadi bagian dari klan, Miss Heather." Lalu pandangannya turun ke perutku yang tertutup telapak tanganku, suara geraman marah Nick membuat pandangannya kembali ke wajahku. "Klan akan menjagamu."

Perasaan ngeri menjalar dari tulang belakangku seperti es. "Apa—apa yang akan kau lakukan pada Nick?" bisikku.

"Kami memiliki hukum, darah ditukar dengan darah." Balasnya lalu melirik ke arah teman di sebelahnya sekilas, "Tapi tentu saja kami harus menyelidikinya lebih jauh sebelum mengeksekusi, dan itu artinya kau harus ikut dengan kami untuk memberikan kesaksian yang dibutuhkan—"

"Eleanor tidak perlu ikut." Nick bersuara setelah menyerah untuk melawan, Ia masih berlutut di lantai dengan tiga orang yang mengelilinginya.

"Jadi kau mengakuinya." Pria itu mengeluarkan sebuah pisau kecil dari perak yang terlihat sangat tajam, "Tapi kami membutuhkan garansi."

"Aku mengakuinya, brengsek. Aku membunuhnya. Jadi kau tidak perlu membawa Eleanor." Geram Nick dengan kasar. Ia berdiri beberapa meter di depanku, tubuhnya menegang seakan-akan bersiap untuk menyerang. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Salah satu pria yang menahannya menarik tangannya ke arah pria itu, dengan ngeri aku memandangnya menggores telapak tangan Nick yang sudah terluka dengan pisau itu. Darah menetes ke lantai seperti tetesan hujan. Dengan kedua mataku yang buram karena air mata aku berlari ke arahnya, tapi salah satu pria itu menarikku menjauh sebelum aku bisa mendekati Nick.

"Jangan. Menyentuhnya." Nick menatap pria yang menahanku dengan tatapan membunuh, Ia tidak mempedulikan luka di tangannya sama sekali. Kucengkeram pria yang menahanku hingga kukuku merobek kulitnya, Ia melepaskanku seketika dengan sedikit terkejut. "Jangan menyentuhku." Desisku dengan suara asing yang keluar dari mulutku.

"Ralph, menjauh dari Miss Heather." Perintah pria itu dengan nada datar. "Mr. Shaw, sebaiknya kita pergi sekarang." Dua orang mengangkat lengan Nick lalu mereka berjalan setengah menyeretnya ke arah pintu. "Eleanor tidak bisa meminum darah selain darahku dan Alastair." Kata Nick tiba-tiba.

"Aku mengerti." Jawab pria itu sambil memandangku, "Kami akan mengirim suplai darah Mr. Shaw sehari sekali." Lalu Ia membalikkan badannya dan mereka meninggalkanku sendiri, Nick hanya sempat menoleh ke arahku sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya bisa berdiri memandang pintu yang tertutup selama beberapa saat sebelum berlari ke arah telepon, dengan tangan gemetar kutekan nomor Greg. Air mata mengalir deras dari kedua mataku. Greg tidak mengangkat teleponku hingga yang ketiga kalinya.

"Nick?" suara serak Greg menyapaku dari seberang. Aku tidak bisa menahan isakanku saat mendengarnya.

"Eleanor?" suaranya terdengar lebih jelas saat menyebut namaku.

"Me—mereka membawanya. Aku tidak bisa menahannya. Aku—" tidak bisa melakukan apapun.

Greg terdiam sejenak sebelum bertanya, "Eleanor, ada apa?"

"Mereka... klan Alastair, mereka membawa Nick."

***

Ingatanku tentang pembicaraanku bersama Alice kembali lagi, lalu disusul oleh apa yang dibicarakan pria itu; eksekusi. Mereka akan membunuh Nick... Suara ketukan di pintu membuyarkan pikiranku. Greg datang lebih cepat dari dugaanku, kubuka pintu depan tanpa mengeceknya lebih dahulu. Tapi bukan wajah khawatir Greg yang menyambutku di balik pintu. Sepasang mata berwarna coklat membalas tatapanku dengan pandangan yang membuatku membeku di tempat. Lalu Ia tersenyum kecil.

"Surprise, Ella."

Kakiku mundur satu langkah tanpa kusadari, "...Elizabeth. Kau masih hidup?"

Ia kembali tersenyum, kali ini dengan ekspresi sinis. "Aku senang kau masih mengingatku. Dan ya, sayangnya aku masih hidup. Walaupun Nicholas ingin membunuhku tapi Ia merubah pikirannya, sepertinya Ia masih memiliki perasaan padaku."

Kutelan ludahku untuk menyembunyikan rasa panik baru yang muncul di dalam diriku. "Apa yang kau inginkan? Aku akan memanggil Nick—"

Kalimatku terpotong oleh suara tawa kecilnya, "Kau pikir kau bisa menipuku? Nicholas tidak ada disini saat ini. Ia sedang bersenang-senang dengan beberapa orang dari klan Alastair... Mungkin mereka akan mengeksekusinya malam ini." Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan panikku lagi. Ia mengetahuinya. "Bagaimanapun juga Ia sudah membunuh salah satu anggota tertua klan itu." Lanjutnya. Aku tahu di saat seperti ini menutup mulutku lebih baik, pandanganku beralih darinya mencari celah jalan keluar tapi Elizabeth menyadarinya sebelum aku bisa menemukannya.

"Kali ini aku tidak akan bermain denganmu, Eleanor."

Kututup pintu dengan cepat lalu berusaha menguncinya, walaupun aku tahu itu sia-sia, detik berikutnya Elizabeth berhasil mendobraknya lalu mendorongku hingga kami berdua sama-sama terjatuh di lantai. Kakiku menendang kepalanya sebelum Ia bangkit lalu aku merangkak menjauh, tapi baru dua meter tangannya mencengkeram salah satu pergelangan kakiku dengan sangat erat hingga aku yakin jika aku masih menjadi manusia pergelangan kakiku saat ini pasti sudah patah. Elizabeth menggeram marah saat aku menendangnya lagi.

Aku bisa melawannya... Kakiku kembali terayun ke arahnya, kali ini mengenai dadanya. Ia mendesis kesakitan lalu memukul kakiku dengan keras. Kami bergulat selama beberapa saat, tapi Elizabeth berada di atasku sehingga sulit untukku menjatuhkannya. Salah satu tanganku meraba lantai di sekitarku hingga jari-jariku menyentuh pot bunga yang terbuat dari keramik. Mungkin aku tidak akan kuat menariknya jika masih menggunakan kekuatan manusia, tapi dengan mudah tanganku mengayunkan pot tersebut ke arah Elizabeth. Bunyi benturan keras dan pekikan terkejut Elizabeth membuat sebagian kecil diriku merasa puas, aku tidak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya; merasa puas setelah menyakiti orang lain. Kudorong tubuhnya dariku, butiran tanah dan kerikil bertebaran di sekitar kami begitu juga pecahan pot keramik. Elizabeth tergeletak di sebelahku, tidak bergerak. Untuk sesaat perasaan ngeri memenuhiku tapi saat aku hampir menyentuhnya untuk memastikan, Ia membuka matanya. Darah segar mengalir dari salah satu sisi kepalanya hingga membasahi sebagian wajahnya, kedua mata hitamnya memandangku dengan penuh kebencian hingga membuat tulang belakangku membeku. "Kau akan mati. Kau dan Nicholas." Desisnya dengan suara serak, kedua taringnya terlihat jelas saat Ia mengucapkan mati. Elizabeth menjulurkan lidahnya untuk menjilat darahnya sendiri dari sudut bibirnya.

Kupaksa kedua sudut mulutku untuk tersenyum. "Yeah, tapi bukan sekarang." Tangan kananku meraih pecahan keramik yang paling besar tapi Elizabeth juga melakukan hal yang sama denganku, sebelum Ia benar-benar berdiri insting menggerakkan kakiku untuk menjegalnya. Ia kembali terjatuh dengan suara bedebum keras. Untuk sepersekian detik aku mempertimbangkan untuk memanggil sekuriti kantor, tapi saat mendengar geramannya ideku menjadi terasa bodoh. Memanggil sekuriti sama saja dengan mengumpankan darah segar pada Elizabeth. Tidak, aku akan melakukannya sendiri.

Tangan kananku mencengkeram pecahan keramik itu lalu menusukkannya ke tubuh Elizabeth. Tidak hanya sekali. Aku tidak bisa mengontrol apa yang kulakukan, seakan-akan tubuhku bergerak dengan sendirinya. Darah menempel di wajah dan leherku begitu juga gaun tidur yang kukenakan. Bau darah yang menusuk memenuhi indra penciumanku membuat tenggorokanku terasa kering. Elizabeth sudah berhenti bergerak sejak beberapa menit yang lalu. Dengan sedikit terhuyung aku berdiri lalu menjauh dari tubuhnya, tanganku yang sedikit bergetar masih mencengkeram erat pecahan keramik itu.

Rasa puas dan haus yang kurasakan beberapa detik yang lalu berganti dengan perasaan ngeri dan mual. Dengan sedikit tertatih aku berjalan menuju pintu yang terbuka lebar, jejak darah mengikuti langkahku menempel pada lantai marmer yang kulewati. Kusandarkan tubuhku di sebelah pot pohon palem yang berada di sebelah lift lalu menekan tombol lobby berulangkali. Keheningan menyelimutiku selama beberapa menit, tubuhku masih bergetar hebat dan aku tidak bisa menghentikannya. Suara dentingan bel dari lift mengalihkan perhatianku dari keheningan tempat ini. Perlahan pintu lift di depanku terbuka, di dalamnya seorang pria berdiri lalu memandangku dengan kedua mata abu-abunya.

"Alastair?" gumamku dengan shock. Ia menatapku dari ujung kepalaku hingga ujung kakiku yang berlumuran darah. Kedua matanya berubah menjadi lebih gelap saat pandangannya beralih ke balik bahuku. Aku tidak tahu Ia berada di pihakku atau Elizabeth, tapi aku tidak ingin mengambil resiko jadi kutarik kakiku mengambil jarak sejauh mungkin darinya. Ia melangkah keluar dari lift lalu berhenti saat menyadari aku terus berjalan menjauhinya. "Aku tidak akan menyakitimu." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Dimana Elizabeth?"

Kusandarkan bahuku di dinding sebelahku tanpa mengalihkan pandanganku sedikitpun darinya, "Kau menjebak Nick."

"Elizabeth yang menjebak kami, Eleanor. Dimana Ia sekarang?"

"Mereka membawa Nick. Mereka akan mengeksekusinya malam ini, kau harus menolongnya."

"Gregory sedang mengurusnya, aku harus membawa Elizabeth ke klanku untuk membebaskan Nick." Pandangannya kembali ke arah pintu penthouse, "Ia masih di dalam?"

Aku mengangguk kecil. Ia melangkah menuju pintu tapi aku menarik lengan kemejanya, "Tunggu..." Ia berhenti lalu menoleh ke arahku.

"Aku butuh..." kutelan ludahku untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Seluruh tubuhku terasa seperti terbakar. Ia memandang wajahku yang berantakan lalu mengalihkan pandangannya pada perutku. "Kurasa Elizabeth bisa menunggu beberapa menit." Gumamnya sambil menarik kancing kemejanya yang paling atas. Aku hampir bisa merasakan nadinya yang berdenyut di lehernya, dengan terburu-buru kususupkan kedua tanganku di rambut dark blond nya lalu menancapkan taringku ke nadi di lehernya. Alastair sedikit menggerutu kesakitan tapi Ia tidak bergerak menjauh dariku. Ia hanya berdiri dengan tenang, membiarkanku menghisap darahnya sebanyak yang kubutuhkan.

Aliran darah hangat membasahi tenggorokanku seperti coklat hangat yang lembut, setiap tegukan membuat rasa terbakar di tubuhku berkurang. Kuhela nafasku dengan puas. Samar-samar aku mendengar suara dentingan lift berbunyi lagi, kubuka kedua mataku sedikit dan melihat Erik bersama Alice berjalan keluar dari lift. Alice mengenakan cocktail dress berwarna hitam yang membungkus tubuhnya dengan elegan, di bahunya sebuah selempang yang berisi katana membuat penampilannya terlihat janggal. Ia hanya melirik ke arah kami sekilas lalu berkata sambil berlalu, "Aku yang akan mengurusnya." Gumamnya dengan aksen Rusianya sebelum masuk ke dalam Penthouse diikuti oleh Erik di belakangnya. Aku tidak mempedulikan sekitarku lagi, kupejamkan kedua mataku sambil berkonsentrasi pada setiap tegukan darah yang kuhisap.

Aku tidak tahu berapa lama aku melakukannya, tiba-tiba kedua tangan Alastair mencengkeram pundakku dengan erat lalu menarikku menjauh darinya. "Aku tidak keberatan kau menghisap darahku hingga habis, Eleanor, tapi jika aku mati sekarang Nicholas tidak akan bisa lolos dari klanku."

Kuusap bibirku dengan punggung tanganku yang masih sedikit gemetar, "M—maafkan aku, aku tidak bisa mengontrolnya."

"Aku mengerti." Jawabnya sebelum mengalihkan pandangannya pada pintu penthouse lagi. Ia berdiri di depanku dengan tubuh menegang, aku tidak mengerti mengapa tapi detik berikutnya aku menyadari bau darah yang sangat kuat tercium dari dalam penthouse.

"Apa yang...?"

"Dengarkan aku baik-baik, Eleanor, Erik akan menjagamu selama aku dan Alice pergi. Kami akan menjemput Nicholas lalu—"

"Aku ikut denganmu." Potongku.

"Jika kau ikut, kau hanya akan membuat semuanya lebih rumit lagi. Nicholas tidak akan bisa berpikir jernih saat melihatmu..." Ia melirik lalu memandangku dari ujung kaki hingga kepalaku, "...seperti ini."

Alastair benar. Saat ini Nick berada di posisi yang tidak menguntungkan, kedatanganku hanya akan membuat keadaannya lebih buruk. "Kau harus berjanji padaku, Alastair, kau akan membawanya pulang." Kedua tanganku meraih bagian depan kemeja flanel kotak-kotaknya. "Kalau tidak..."

Ia tersenyum samar mendengar ancamanku, kedua mata abu-abunya sedikit melunak, "Aku akan membawanya pulang."

Kulepaskan tanganku darinya lalu mengangguk kecil, "Dan jangan berbuat hal bodoh yang bisa membunuh dirimu sendiri." Tambahku dengan suara tercekat. "Sekarang kau adalah bagian dari keluargaku."

Kalimat terakhirku membuatnya membeku ditempat, ekspresi di wajahnya seperti rusa hutan yang beberapa detik lagi akan ditabrak oleh truk.

"Darahmu mengalir di dalam tubuhku, saat ini kau satu-satunya orang yang memiliki hubungan darah denganku."

Ia berkedip sekali seperti seseorang yang baru saja menerima kabar bahwa alien dan UFO nyata. Sebelum Ia sempat mengucapkan sesuatu Alice keluar dari penthouse, Ia menenteng travel bag Louis Vuitton dan samurainya. Ujung jari-jari tangannya berlumuran darah. "Jadi sekarang kau adalah kakak ipar dari Nicholas?" Ia menatap kami dengan senyuman seakan-akan Ia baru saja mendengar lelucon terbaik abad ini. "Selamat."

Kurasa Ia mendengar ucapanku beberapa saat yang lalu. "Ella, kau benar-benar seorang malaikat, aku hampir menyesal Alastair harus mengubahmu menjadi lintah sepertinya." Alice menyerahkan tas berlumuran darah yang dibawanya pada Alastair. Aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya, mungkin pakaian milik Nick. Ia menerima tas itu sambil memandang Alice tanpa ekspresi. "Kita harus pergi sekarang."

下一章