webnovel

Racun dan Sang Ratu

Redd memutuskan bahwa ini bukan waktu baginya untuk bersedih.

Ia sudah menangis setelah pulang dari fetival-sepanjang perjalanan-dari mobil hingga kamar, ia juga melanjutkannya selama beberapa hari sesudahnya sampai matanya rasanya tebal sekali. Redd pikir itu cukup, ia tidak bisa mengasihani dirinya lama-lama. Oh, jangan pikir ia naif. Tentu saja ia terluka, memangnya wanita mana yang tidak terluka saat melihat orang yang dicintainya hancur? Lebih-lebih karenanya-walau dalam hatinya ada sosok jahat yang merasa bahagia karena Richard hancur karenanya,hei. Itu artinya pria itu benar-benar mencintainya kan?-ia tetap saja merasa begitu sedih. Karena ketika pria yang dicintainya begitu rapuh, ia tidak bisa ada di sana. Menjaganya, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Itu yang sebenarnya paling melukainya dari semuanya.

Sudahlah, Redd memandang pantulan wajahnya di cermin. Pucat, tapi oke. Bengkak, dokter bilang itu efek kehamilan. Seperti zombie, ya. Benar, tapi itu pasti efek kesedihan saja. Beruntunglah ia belum berubah menjadi sepasukan mayat hidup—memang apa bedanya itu dengan zombie?—, Ratu itu menarik nafas.

Ia harus baik-baik saja hari ini, sudah cukup ia membuat Kylie dan Howie kewalahan kamarin, mereka berdua adalah manusia-manusia baik yang telah bersedia menjaganya dan menyelamatkannya. Ia tidak boleh menyusahkan mereka terus menerus. Jika saja bukan karena mereka, mungkin Richard akan tahu dia masih hidup, dan rencana yang telah disusun oleh Howie akan berantakan.

"Aku harus kuat," Redd mengguman sambil meneyentuh janinnya yang nyaris berusia enam bulan. "Untukmu dan ayahmu."

Ratu itu kemudian melangkah keluar kamar, dengan perlahan ia menuruni tangga. Bertannya-tanya kenapa rumah sangat sepi. Howie dan Kylie mungkin sedang keluar, mereka anggota pasukan khusus-pasukan mata-mata istimewa yang rahasia dan kuat-mereka adalah orang yang akan melindungi Richard dari bahaya yang bahkan belum disadarinya. Hal itu lah yang dulu membuat mereka menyelamatkan Redd dan menciptakan segala rencana untuk menjaga Richard. Walau konsekuensinya kejam—karena Redd harus hilang dari peredaran—setidaknya Raja akan baik-baik saja, Chevailer baik-baik saja dan begitu pun bagian terpenting, tahta tetap stabil.

Menggorbankan satu nyawa untuk banyak hal, agaknya bisa dibilang mulia, kan?

"Oh, Yang Mulia?"

Redd menunduk ke bawah tangga dan melihat Kylie menatapnya sumrigah, gadis itu membawa sepiring panekuk hangat yang Redd yakin lezat. Kylie menyusul Redd dan membantu Ratu itu turun, Redd diam saja; ia baru bereaksi saat ia sadar bahwa ekspresi Kylie jelek sekali. Gadis itu berkaca-kaca, dan sudah lebih dari siap untuk menangis terisak-terisak.

"Kylie—"

"Ini salahku," nah kan. Gadis itu menatapnya bersalah, "Saya teledor. Karena saya Yang Mulia," Kylie terengah. "Maaf."

"Ini bukan salahmu," Redd berucap lembut. "Aku yang ingin melihat hadiah peramal itu, dan itu konsekuensi yang aku dapat. Sudahlah Kylie, jangan menangis."

"Tapi saya—"

"Tidak apa-apa," Redd melirik pancake yang dibawa Kylie. "Apa ini pancake? Kelihatan enak, kau baru membuatnya?"

"Ya," Kylie yang agak kaget dengan perubahan topik beralih. "Saya membuatnya untuk Anda, saya pikir ini bisa merayu Anda untuk keluar kamar."

Redd terkekeh kecil, "Tentu saja aku akan menyerah jika kau menyogokku dengan makanan. Ayo, duduk di sofa saja."

Gadis itu memutuskan untuk setuju saja dengan usulan Ratunya, Redd duduk di sofa berwrna limun itu dan bersandar. Tangannya menerima piring pancake yang diulurkan Kylie dan tersenyum saat hangat pancake itu menembus piring. "Kau pandai membuat kue rupanya."

"Eh," Kylie salah tingkah. "Yah, sedikit."

"Kalau ini enak, aku akan menuntutmu untuk terus membuatkannya untukku."

"Tentu saja Yang Mulia, dengan senang hati."

Redd tertawa kecil, dan baru akan memulai suapan pertamanya saat pintu depan terbuka dan Howie masuk sambil menyeret sebuah koper besar. Pria itu kelihatan agak kesusahan, dan ada keringat yang membias di dahinya.

"Yang Mulia," Howie membungkuk pelan. "Senang melihat anda sudah keluar kam—"

"Aku pulang! Yo, apa kabar semuanya?" ucapan Howie terpotong saat seorang pemuda bersurai hijau mint masuk sambil merentangkan tangan. Pemuda itu memiliki mata hitam yang sipit dan kulit putih, badannya kurus dan kelihatan lincah. Tapi terlepas dari itu wajahnya nampak kekanakan dan ada gurat yang menunjukkan bahwa pemuda ini jelas cerdas. "Aku sudah, oh—"

Pemuda itu memandang Redd dan langsung membungkuk dalam.

"Maafkan kelancangan saya Yang Mulia," ia berdiri dan tersenyum lebar. "Izinkan saya memperkenalkan diri, saya Leo Choi. Senang bertemu dengan Anda."

Redd mengerjab, "Oh. Ya, tentu saja. Aku juga."

Howie menghela nafas, "Ini adalah Leo Yang Mulia. Salah satu anggota pasukan, atau begitulah. Dia ada di sini untuk masuk dalam salah satu bagian misi, dia akan menjaga Anda juga."

"Siap," Leo membuat gesture hormat. "Leo dari divisi-entahlah, apa kita punya divisi?Intinya, saya adalah seorang yang keren. Hacker dan peretas terbaik sepanjang masa, jangan khawatir silahkan ketik saja nama akun sosial orang yang Anda ingin ketahui dan bum! Saya akan temukan alamat berserta kisah masa kecilnya dalam kurang dari dua jam."

Redd tertawa kecil mendengar ocehan Leo yang ceria dan percaya diri, "Berapa usiamu Leo?"

"Sembilan belas," nadanya bangga. "Oh, saya baru lulus dari sekolah menengah keatas, eh," dia memandang Howie. "Dua minggu lalu?"

"Sebulan lalu," jawab Howie tenang.

"Yap, sebulan yang lalu. Waktu yang relatif singkat."

Kening Ratu itu bekerut, "Sembilan belas? Kau masih sangat muda, apa anggota pasukan khusus tidak memiliki batasan umur?"

"Oh, percayalah Yang Mulia saya sudah cukup tua untuk masuk tim. Saya pertama bergabung saat masih tujuh belas tahun, ada seseorang yang saya kenal yang bahkan sudah bergabung sebelum ia pubertas."

"Oh, ya?" Redd bertannya tertarik. "Siapa? Apa dia bertugas dalam misi?"

Howie berdeham keras.

"Eh, ya." mata Leo melirik pada Kylie sebelum bergeser sedikit pada Howie yang masih melempar pandangan peringatan tersirat. "Seseorang yang tidak keren dan menyebalkan, dia tidak bergabung di sini. Ya, terakhir saya tahu, dia ada di ... Irak?"

"Irak?"

"Urusan misi, entah apa. Kami tidak berbagi informasi, divisi berbeda semacam itu."

Leo nyengir dan menunduk pada Redd, "Saya akan membawa koper ini ke kamar. Ada yang harus saya lakukan. Permisi Yang Mulia," pemuda itu merebut kopernya sebelum menggedip dan berlalu.

"Tolong maafkan tingkahnya Yang Mulia," Kylie mendesah. "Kadang dia agak sulit dikendalikan."

"Apa maksudmu?" Redd mengulum senyum. "Dia masih belia, wajar jika dia main-main. Lagipula sifatnya membuat aku ingat pada seseorang yang aku kenal."

"Siapa dia Yang Mulia? Jika saya boleh tahu?"

Mata hazel Ratu itu memandang keluar jendela, "Pengawalku. Namanya Justin, dia masih muda dan punya kepribadian yang sangat hangat. Dia ceria dan menyenangkan," Redd tersenyum. "Aku harap aku tahu bagaimana keadaannya sekarang, dia sudah aku anggap sebagai adikku. Aku hanya berdoa semoga ia selalu baik-baik saja."

Kylie tersenyum kecil, "Dia akan baik-baik saja Yang Mulia."

"Aku harap begitu," Redd mendesah berat. "Konyol, tapi aku harap aku bia bertemu dengannya."

Gadis bersurai coklat itu meraih tangan Redd dipangkuanya, meremasnya pelan dan melirik Howie sekilas, sebelum menatap Redd dalam. "Dia akan selalu baik-baik saja, percayalah pada saya. Anda akan bertemu dengannya, walau bukan sekarang tapi Anda akan menemuinya. Itu pasti, karena Justin Anda andalah orang yang kuat."

...

"Jadi," Justin berlutut di sisi ranjang kamar hotelnya dan menarik sebuah koper kecil dibawahnya. "Bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?"

Ajudan Raja itu bangkit dan menghela nafas, ia berbalik sebelum menunjuk pada layar macbooknya yang menanyangkan sambungan video dengan seorang wanita.

"Sudah puas? Aku sudah mengirim Kid mu, lesbian. Si Kaito Kid kesayanganmu."

Si wanita mendengus, "Si brengsek itu?"

Alis Justin naik sebelah ,"Brengsek? Kau mati-matian meminta aku mengembalikannya padamu dan sekarang kau mengatai dia brengsek?"

"Itu panggilan kesayangan," si wanita mengangkat bahu. "Sama seperti panggilan lesbianmu padaku."

"Kau memang lesbian," Justin membuat gesture acuh sebelum berbalik kembali pada kopernya.

"Ngomong-ngomong Justin, kau sudah selesai dengan urusanmu?"

"Hn. Aku baru kembali dari gereja tadi, lagipula aku butuh pertolonganmu."

"Dan apa pertolongan yang bisa aku berikan pada Tuan Sempurna?"

"Membuat ulang sebuah racun."

"Oh," nada si wanita tidak percaya. "Racun? Aku pikir itu keahlianmu?"

"Hm, hm." Justin meraih sebuah kotak kecil dalam koper dan mulai menuang bubuk emas kecoklatan dari sapu tangannya ke dalam kotak. "Beberapa tahun yang lalu, ya. Sekarang aku jenuh, jadi itu jadi keahlianmu."

"Terserah."

"Aku serius," Justin menutup kotak begitu selesai dan mengembalikannya ke koper. "Jika kau bisa membuat ulang racun ini, kita bisa membuat kejutan tak terduga."

"Seingatku semua tentang kau itu selalu tidak terduga," si gadis menggerutu. "Racun apa yang ingin kau buat jika aku boleh tahu?"

"Violet."

"Violet?"

Hening.

"Wah," si wanita memekik dan memasang tampang tidak percaya. "Tunggu sebentar, maksudmu Violet yang itu? Racun itu?"

"Ya, yang itu."

"Tapi untuk apa?"

"Aku menemukan sisa racunnya secara tidak sengaja, sudah membeku dan bercampur menjadi semacam kau tahu," bahu Justin naik. "Racunnya berubah seperti karat besi, hanya terisisa menjadi bubuk. Aku mengambilnya tadi dan menyimpannya, tapi tetap saja racunnya sudah tidak berfungsi seperti seharusnya."

"Bagus, dan kau ingin aku membuat ulang racun itu?"

"Ya."

"Tapi racun itu dibuat oleh orang tuamu Justin," nada si gadis terkendali. "Kau tidak lupa, kan?"

Justin diam.

"Justin?"

"Ya," pemuda itu berputar dan menatap layar. "Orang tuaku yang membuatnya, tapi cadangan racun terakhir sudah dihancurkan dan satu-satunya yang berhasil diselamatkan sudah dibawa ke Vatikan," ia melempar kibasan tangan pada sekeliling ruangan. "Sayangnya sekarang racun itu sudah berubah. Tidak lagi berfungsi, hanya menjadi sisa-sisa."

"Kau bisa membuatnya sendiri."

"Dan membuat orang lain mencurigaiku? Aku sedang bermain peran." Justin mendengus. "Jangan membuat orang curiga, itu peraturan pertama."

"Oke," si wanita bersedekap. "Lalu jika racunnya berhasil dibuat ulang, apa yang akan kau lakukan?"

"Membunuh," jawab pemuda itu enteng. "Diakhir permainan ada satu orang yang harus mati, racun itu akan jadi akhir yang menyenangkan. Racun itu adalah awal semua kegilaan ini, maka akan bagus jika ia jadi penutupnya."

"Kenapa kau tidak mencari racun lain saja?" si wanita menawarkan opsi. "Maksudmu, mungkin racun itu masih memiliki sisa? Kita tidak tahu kan?"

Justin mendengus, "Apa kau tahu? Racun itu akan membunuh jika diberikan dalam dosis tertentu, dan tidak pernah ada yang selamat setelahnya. Racun terakhir dibawa kemari dan disiapkan untuk disimpan, tapi terjadi sesuatu hingga akhirnya racun itu digunakan."

"Digunakan? Untuk membunuh?"

"Ya," pemuda itu mengangguk. "Tujuannya adalah untuk membunuh seseorang. Tapi ajaibnya orang yang dimaksud ini tidak mati, dia selamat."

"Dari racunnya?" si wanita tertarik. "Maksudmu dia hidup? Tidak mati?"

"Ya."

"Aku simpulkan tubuhnya tahan racun," si wanita mengangguk-angguk. "Siapa? Siapa orangnya? Mungkin jika racunnya sudah selesai kita bisa mencobanya lagi padanya."

"Tidak bisa. Sekarang dia sudah mati"

"Sungguh? Tapi kau bilang dia selamat?"

"Kenapa kau bodoh sekali, apa kau benar-benar tidak bisa menebak siapa dia?"

Justin bersedekap.

"Pikir saja. Kenapa aku mau masuk ke istana dan menjadi pengawal mendiang Yang Mulia Ratu?" pemuda itu menyeringai. "Karena dia adalah orangnya,satu-satunya yang berhasil selamat, dari racun buatan orang tuaku."

....

下一章