webnovel

Banjir Darah di Tambun Tulang 02

Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya

berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka.

Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam

akhirat, berada di neraka?!

Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan

perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia.

Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang

berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku

ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di

atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda,

meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas!

Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya

amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan

seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya

tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!

Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding

kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?!

Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi!

Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada

dihadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya

bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia

terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu

terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh

kesakitan: Dan dia pingsan lagi.

Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam

yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih

lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat

didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma

desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus

menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta

air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada

sanggup?

Didengarnya suara berkeretekan di belakang

kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa

itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih

tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya

jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas.

Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut

maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna

putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah

sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak

dikenal ini!

Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan

cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena

tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang

menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok

seperti paruh burung kakak tua. Dia tersenyum, tapi

senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada

parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya

berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri dihadapannya

itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang

seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan

matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai.

"Sudah sadar hah?!" bentaknya menggeledek. Wiro

terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring

bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara

berkereketan.

"Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan.

Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi.

Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit

suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian

melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya

manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua

itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi

setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta

menunjukkan hati jahat?!

"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu

membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali

bergetar. ,

Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.

Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara

meskipun perlahan; "Air..."

"Apa?!"

"Air.:." desis Wiro.

"Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?!

Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar.

Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua

bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam

hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang

tua mendampratnya.

Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.

"Ah... anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak

yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam

dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang

tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai

mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang

telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu.

Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?

"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta

air...? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!"

Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tiba-

tiba dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai!

Kau dengar apa tidak?!"

Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun

menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua,

lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa

gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro.

"Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi

air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak,

bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !

"Edan!" desis Wiro.

"Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!"

Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali.

Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah

didengarnya.

"Braak!"

Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri

Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro

terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa

gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.

Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan

segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta

darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian

tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas

meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air

putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan

segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian

sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir

lagi Wiro segera menyambarnya.

Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua.

"Ah... salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah.

Eee... itu tangan kananmu musti begini. Bagus.... Sekarang

coba memukul ke muka... ah salah! Salah! Dasar bocah

geblek!"

Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng.

Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pe-

mandangannya berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di

pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan meman-

dang ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya

tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang

berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang

dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan

ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng

tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu

silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri

kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu.

Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat?!

Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi

laki-laki banci pengecut?!"

Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu

mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak

tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan

memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali

orang tua ini," katanya dalam hati. "Mungkin otaknya

kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali.

Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto

Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini.

"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah

sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan kau

laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata

demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil

membalikkan badan dan melangkah ke pondok.

Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang

mendelik ke pintu pondok.

"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di

situ?!" bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia

marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah.

Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat

bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu

amblas sampai setengah jengkal!

Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua

bertampang angker itu dia adalah orang yang telah

menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar

212 menjura dalam-dalam.

"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua.

"Apa-apaan menjura segala?!"

"Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang

budi. Aku...."

"Hutang nyawa?! Hutang budi...?! Kau gila!"

"Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu

yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian

merawatku di sini?

Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti

seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat.

"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak

pernah menolong orang gila macam kau!"

Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila

namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku bisa

berada di tempatmu ini?"

"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti

orang tua bertampang angKer.

"Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku

yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku,

juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih.

Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa

dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan

namamu, orang tua...."

"Buat apa?!"

"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.

"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.

Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu ke-

mudian dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa

dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya,

bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara

menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau!

Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan

pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar

suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata

pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda.

Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si

orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan

melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun!

Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu

memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air

kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai

akhirnya habis!

Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini.

Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya

sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan

sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu

terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak

terlihat memegangnya!

Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.

"Wuuut!"

Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok

dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke

samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.

Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan.

Buah kelapa telah menghantam kendi air terus

membobolkan dinding pondok!

Wiro memaki dalam hati habis-habisan.

Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak

sampai ke luar air mata!

"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil

Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak

bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang

tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si

tampang angker ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!"

Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu.

Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan

tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk

kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam

keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak

sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang

dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya

tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh

lukanya kini berdarah kembali!

Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia

berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi

adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni

212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana

dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok

sebelah kiri.

Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat

alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil

Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan

dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia

berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih

dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepat-

cepat tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih

itu telah melibat! lengannya!

Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia

menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras

ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot!

Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang

tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia

mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!

"Ha... ha! Orang, gila macam begini yang hendak

membangkang kepadaku?!" ejek orang tua itu begitu Wiro

sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang

tapi sukar sekali.

"Orang gila siapa namamu?

"Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila

terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal. ,

"Ah... kau memang gila!" tukas si muka angker.

"Ayo katakan siapa namamu!"

"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak

gusar.

"Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker.

Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan

kesal.

"Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!"

"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.

"Wiro Sableng?! Nah... itu buktinya kau memang

orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia

yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya

dengan edan alias gila!"

"Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian...."

"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu

padamu...."

"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.

"Ah... kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias

keblinger!"

Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan

si muka angker dan menghardik: "Orang tua, jangan hina

guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak

dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh

yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup

diputuskan oleh sentakan itu!

Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan

Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan nenek

gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan

benang kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu

namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!"

"Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya

yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang

kayangan terasa sakit dan pedas.

"Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali

kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar

Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"

"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa

tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng

menantang.

Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelo-

paknya yang merah membuka lebar dan tampangnya

jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak gelak.

"Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku

tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau

beri tahu nama gurumu!"

"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"

"Jadi kau tidak mau beri tahu?!"

"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.

Si muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun,

kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang

terhadap perintah si Tua Gila ini!"

Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut

dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kayangan yang

dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan

tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!

下一章