~POV Arumi~
Bang Ryan? Mengapa ia di sini?
Hatiku seketika berdetak cepat, apa yang kutakutkan? Matanya menatapku tajam, sama seperti pertama kali kita bertemu waktu itu, di ruangan Pak Boby.
Dia terlihat berbeda sekarang, tak lagi terlihat pucat, ia juga menggunakan kursi roda yang mirip dengan punya Bang Ken, tidak ada selimut dan begitupun kateter. Astaga... Bang Ryan ternyata ganteng ya...
"Arumi?" suara Bang Rendra mengagetkanku.
"iya Bang," jawabku segera.
"ini partner kamu, namanya Ryan, dia programmernya." Bang Rendra menoleh padaku sambil tersenyum.
Partner? Oh my God! Bagaimana bisa begini?
"Ryan, ini Arumi, yang nanti mendesain web nya, oke... nanti kalian jangan berantem ya? Gak kelar-kelar web kita ntar," goda Bang Rendra sambil terkekeh nakal padaku.
Aku menatap mata Bang Ryan, astaga! Jantungku malah semakin tak stabil rasanya, tapi senyumanku dengan mudahnya melengkung padanya.
"hai Aru," sapa Bang Ryan sambil membalas senyumanku.
Dia membalasnya! Aku sungguh tak percaya ini! aku kira dia akan pura-pura tak mengenalku, mengingat pertengkaran chatting kami terakhir waktu itu.
"hai Bang Ryan," jawabku.
"oh jadi kalian sudah saling kenal toh? Temen kuliah? Atau tetanggaan?" tanya Bang Rendra kepo.
Aku melirik Bang Ryan, berharap dia yang menjawab pertanyaan itu.
"temen kita saling kenal, jadi kita juga kenal gitu Mas," jawabnya lugas dan kemudian kembali tersenyum padaku, tapi senyumannya tak seperti tadi, ia tampak hanya mencoba melengkungkan bibirnya tapi tidak dengan matanya, Bang Ryan sepertinya tak benar-benar tersenyum untukku.
"oh gitu... bagus kalo kalian saling kenal, jadi gampang buat kerjasama, nah gimana kalo kita langsung aja liat ruang kerjanya Bu?" tanya Bang Rendra pada Ibu kepala bagian informasi dan komunikasi yang sedang duduk.
"ah ya, tolong diantar ya Ren, saya ada keperluan yang lain, jadi Ryan... Arumi... langsung saja sama Rendra ya..." ujar Ibu itu ramah.
Aku mengangguk dan kembali melirik Bang Ryan yang sedang mendorong kursi rodanya, ada seorang pemuda yang langsung berdiri kemudian berjalan di sampingnya.
Di samping pemuda itu aku berjalan beriringan dengan mereka, membiarkan Bang Rendra menjadi komandan seorang diri di depan.
"sama siapa ke sini tadi Aru?" tanya Bang Ryan ketika kami melewati lorong.
Heh, dia bertanya barusan kan? Hehehe
"sendiri, kalo Bang Ryan?" tanyaku sambil meliriknya yang terlihat sudah mahir mendorong kursi roda itu.
"ini sama Zul, aku belom bisa nyetir sendiri, pacar kamu gak nemenin?" tanyanya sambil tersenyum, ia kembali tersenyum seperti tadi, senyuman yang terasa dingin.
Pacar? Kok Bang Ryan nanya tentang pacar ya? Kenapa perasaanku gak enak gini sih.
"Aru masih jomblo Bang," jawabku jujur.
"Bang Ryan gimana? Pacarnya gak diajakin ke sini?" tanyaku basa-basi.
"dia lagi sibuk di luar kota," jawabnya dengan ekspresi datar.
Eh.... tadi maksudnya itu Bang Ryan sudah punya pacar, sekarang lagi di luar kota, begitu kan?
Ini beneran Bang Ryan sudah punya pacar ya? Kapan? Kok Dita gak pernah cerita sih?
"oh," jawabku singkat.
Setelah terkejut beberapa saat, kemudian jantungku kembali berdetak normal, tak ada lagi getaran aneh di hatiku saat ini, hmmm apa sih yang kupikirkan? Bang Ryan itu kan partner proyekku, cuma itu saja kan?
***
"nah ini ruangan kalian, lumayan lah," ujar Bang Rendra setelah membuka sebuah pintu.
"Mas, boleh gak kalo gue bikin programnya di kantor gue aja, gue punya banyak kebutuhan yang agak privat soalnya, maklum wheelchair user." Bang Ryan mendongak pada Bang Rendra.
"oh iya... iya... gak pa pa Ryan, bagi kami program selesai seperti yang diharapkan, gak masalah mau bikinnya di mana kok, hmmm jadi Arumi nanti ikut Ryan aja bikinnya di kantor gitu ya?" Bang Rendra melirikku dan Bang Ryan bergantian.
"terserah Arumi nya sih," jawab Bang Ryan setelah menatapku sebentar.
Sekantor? Hmmm kok jadi malas gini sih rasanya.
"gak usah, biar Aru kerjain di kos aja, ntar kalo udah setengah jadi, Aru samperin Bang Ryan ke kantor, buat nyinkroninnya," kataku.
"eh, berarti kerja sendiri-sendiri gitu ya? Gak bisa! Gak! Nanti ada masalah lagi kayak yang sebelumnya, ada menu yang gak bisa di buka dan ada program yang gak di dukung menu, gak! Pokoknya kalian harus ngerjainnya barengan, Arumi.... kamu bikinnya di kantor Ryan aja, oke!" Bang Rendra menatapku serius.
Aku melirik Bang Ryan yang sibuk melihat ponselnya, ish... ngapain sih dia?
"oke deh Bang Rendra, hmmm Bang Ryan... boleh Aru ke kantornya kan?" tanyaku basa-basi.
Dia mendongak sebentar, kemudian mengangguk.
"oke, jadi kita langsung melihat apa yang mau dikerjakan di proyek ini, nah ini dia kerangka sistem informasi kita." Bang Rendra membagikan file yang sejak tadi dipegangnya padaku dan Bang Ryan, kemudian ia mulai menjelaskan isi file tersebut.
***
"Aru.... temen gue yang tinggi itu, lo ingat kan? Dia nanyain lo tadi, dia ganteng dan pintar juga loh Aru..." celoteh Vega sambil mengemut lollipop.
"gua kan udah bilang Ve, gua lagi gak niat cari cowok sekarang, comblangin aja dia sama yang lain," jawabku cuek.
"lo napa sih Aru? Gabut ya?" tanyanya sambil melirikku sesaat dan kembali fokus pada ponselnya.
"gak," jawabku malas.
"pasti iya, kenapa kenapa? Cerita aja!" Vega melempar ponselnya ke ranjang dan kemudian duduk di ranjangku sambil bersila.
"gua gak kenapa napa kok," jawabku ketus.
"cie cie yang lagi galau nih... galau sama siapa sih?" goda Vega dengan gayanya yang menyebalkan.
Emang aku kenapa sih ya? Kok bawaannya sejak tadi bete begini.
"gak tau Ve... gua cuma kesal, tapi gak tau kenapa," jawabku sambil menghempaskan diri di ranjang dengan kasar dan kemudian memeluk guling dengan erat.
Vega sepertinya tak menyerah dengan kekepoannya itu, tapi aku tak juga memberikan jawaban yang memuaskannya, aku sendiri tak tahu mengapa aku begini sekarang.
***
~POV Ryan~
"Maaf Mas, bukannya Zul mau ikut campur, tapi penasaran aja, Mas Ryan beneran udah punya pacar ya? Kok Zul belum pernah ketemu," tanya Zul dengan tampang polosnya.
Aku meliriknya.
"kenapa emang?" tanyaku.
"oh... nggg... gak ada sih Mas, cuma pengen tau aja, maaf ya Mas kalo Zul salah nanya." Zul melirikku sebentar dan kembali melihat jalanan yang agak sepi itu.
Aku tersenyum pada Zul yang sedang menyetir.
Mengapa aku bertemu kembali dengan Arumi? Apakah aku mundur saja dari proyek ini?
Tapi apakah Mas Rendra bisa menerima itu? aku juga merasa tak enak hati dengan Kenzo.
Hanya saja saat ini aku merasa ini adalah hal yang tidak benar, tak seharusnya aku dan Arumi kembali bertemu, oh mungkinkah ini hanya momen untuk meminta maaf karena pesan WA ku waktu itu yang kasar padanya? Argh....! kenapa ini membuatku sakit kepala begini!!!
***