webnovel

Epilog

Zera POV

Aku memutuskan untuk membiarkan Adhitya kembali pada Vanie. Inilah langkah pertamaku untuk membantunya. Aku membiarkan Adhitya menemui Vanie dan memintanya untuk bermesra dengan wanita imut itu. Aku sudah pasrah.

Adhitya selalu memikirkan Vanie saat bersama denganku. Empat bulan lamanya menjalin hubungan kepura-puraan ini tidak membuat Adhitya berpaling dari Vanie; membuatku cukup yakin jika Adhitya memang serius kepada wanita yang dianggapnya sebagai adik itu.

"Ah? Berselingkuh ya?"

"Bagus," ujarku senang. "Katakan padanya jika kau akan segera melamarku."

Aku yakin Adhitya mengangguk kecil ketika mendengarkan perintah dariku karena ia mengatakan, "Aku akan melamarnya."

Aku menjerit senang dalam hati. "Apa Vanie menenggelamkan wajahnya pada dadamu?"

Hening benar-benar menguasai pembicaraan Adhitya dengan Vanie. Adhitya tidak bersuara dan Vanie juga demikian. Aku yakin mereka sedang saling menatap satu sama lain. Aku yakin hati Vanie sedang patah, sepatah-patahnya. Aku yakin hal itu dan aku senang jika memang demikian.

"Eratkan pelukanmu pada Vanie," perintahku. "Jangan lupa kecup puncak kepalanya."

Aku yakin sekali Adhitya dengan segera melaksanakan perintahku karena aku bisa mendengar deru napas Vanie dengan lebih jelas. Sama sekali tidak teratur. Dada Vanie pasti terasa sesak dan ia akan segera menangis. Aku yakin, karena aku sedang merasakannya saat ini.

"Apakah dadamu terasa basah?"

Adhitya berdeham. Aku yakin itu sebuah jawaban jika Vanie memang sudah menangis. Kasihan sekali cara untuk mengembalikan Vanie pada pelukan Adhitya harus kulakukan dengan keji. Bagaimana tidak? Vanie harus merasakan kepedihan yang selalu kurasa saat mengetahui Adhit sedang memikirkan dirinya. Setidaknya hari ini menjadi adil bagi kami. Sama-sama dicintai Adhitya, dan sama-sama terluka. Bedanya, Vanie akan bahagia setelah ini. Dan aku?

"Bagus," gumamku berusaha tidak terlihat sedih. "Jika ia menangis artinya ia tidak akan merelakanmu melamar diriku. Teruskan, Adhitya. Jangan berhenti mengejarnya."

"Apa kau menangis, Sayang?" tanya Adhitya.

Aku tidak menjawab. Tentu saja tidak, karena aku memang tidak menangis. Hanya sedih. Sedih yang mendalam, hingga setitik air mata mengalir dengan pelan. Aku menggeleng pasti dan menjawab tidak dalam hati. Tapi Adhitya kembali berdeham dan berkata, "Halo?"

Apakah artinya pertanyaan itu untukku? Karena Vanie juga tidak menjawab. Aku tidak tahu jika Vanie menggeleng atau tidak, tapi aku tidak mendengar jawaban dari pihak Vanie. Apakah memang pertanyaan untukku?

"Tidak," jawabku tanpa berpikir panjang. "Bagaimana reaksinya? Apakah ia menjawab pertanyaanmu?"

Adhitya menghela napas panjang. "Vanie, jawab pertanyaanku."

Ah, itu dia. Vanie memang belum menjawab pertanyaan Adhitya.

"Apakah kau menangis?"

"Tidak."

"Apakah kau bersedih?"

"Iya," lirih Vanie. "Ini kesedihan dalam rangka kebahagiaan. Akhirnya kau mendapatkan apa yang kau mau, Zera."

Adhitya terkekeh mendengarkan jawaban Vanie dan aku tahu betapa merdunya kekehan lelaki itu. Aku menghapus air mataku yang masih mengalir. Aku tidak boleh bersedih ketika sudah merelakan seseorang, 'kan?

"Aku mau Zera?" tanya Adhitya spontan karena aku tidak memandunya untuk mengatakan hal itu. "Ya, aku menginginkannya."

Apa maksudnya? Seharusnya Adhitya tidak berkata begitu. Karena hatiku akan naik lagi ke atas permukaan langit. Lalu aku yakin pada detik berikutnya Adhitya akan membuat hatiku remuk karena lupa daratan. Seharusnya Adhitya tidak berkata demikian.

Aku memutuskan panggilan di antara kami. Kubiarkan saja dirinya mengatasi masalah yang terjadi setelah kalimatnya tadi. Aku hanya tidak ingin mendengar kalimat menyesakkan dada menghujam jantungku. Aku hanya ingin hidup tenang setelah ini. Toh sepertinya setelah ini aku tidak memiliki urusan apapun di Indonesia. Aku akan meninggalkan Adhitya secepat aku meninggalkan kota kesayanganku, Jepara. Pergi dahulu sebelum hari kelulusan tidak masalah, 'kan?

---

Adhitya POV

"Ya, aku menginginkannya," jujurku. "Tapi itu dulu."

"Dulu?" isak Vanie sambil menghapus air matanya.

"Ya, Vanie. Dulu. Karena ternyata menjagamu dalam jangka waktu yang sangat lama, memiliki keintiman denganmu membuatku sadar aku tidak bisa jauh darimu. Bahkan ketika aku bersama dengan Zera, aku tidak bisa melupakanmu," tuturku penuh keyakinan.

Apa benar aku memiliki keyakinan? Karena nyatanya begitu Zera memutuskan panggilan secara sepihak membuat dadaku gelisah. Apakah aku mengatakan sesuatu yang menyebabkan dirinya tersinggung dan kembali terluka?

"Aku hanya ingin bilang," lanjutku. Aku memiliki kesepakatan dengan Zera untuk terus mempertahankan Vanie di sisiku. Tapi aku akan mengingkari janjiku hari ini. Aku akan membiarkan Vanie berhenti mencintai orang lain dan kembali padaku. Aku tidak akan memaksa. Karena semua orang memiliki pilihan yang harus ia pertanggungjawabkan. "aku jatuh cinta padamu. Tidak hanya sebatas rasa suka. Tapi ini cinta."

"Bagaimana kalau ini hanya sebatas cinta monyet?"

"Ya tidak apa. Pokoknya ini cinta. Dariku, untukmu. Bukan sebagai kakak kepada adiknya, namun sebagai lelaki kepada wanitanya."

Vanie menghapus air matanya dan mencoba untuk menatapku. "Ribka akan memarahiku jika aku mencintaimu."

"Tidak penting. Apa kau suka kepada lelaki lain?"

"Jika ya?"

Adhitya mengulum senyum. Sekali lagi ini pilihannya, 'kan? "Maka aku akan membiarkan dirimu mencintai lelaki itu. Katakan siapa namanya dan esok kau akan bahagia bersama lelaki itu."

"Sungguh?" Seketika hatiku mencelos mendengar nada senang keluar dari mulut Vanie di saat aku sedang membicarakan mengenai lelaki yang ia sukai. "Sungguh kau akan membuatku bahagia bersama dengan lelaki itu?"

"Ya."

"Walau ia sangat keras kepala dan susah untuk ditaklukkan?"

"Ya."

"Sungguh?" tanyanya lagi dan itu membuatku semakin sekarat.

"Berhenti bertanya dan katakan saja namanya."

Senyuman Vanie akhirnya merekah. Matanya yang masih sembab kembali dengan tatapan ceria. "Adhitya Pramanta."

---

Vanie POV

"Adhitya Pramanta."

Dua kata itu dan aku resmi menjadi kekasih seorang Adhitya Pramanta. Aku siap jika banyak wanita yang akan membenciku dan berusaha membuatku menderita. Nyatanya, sekarang aku bahagia mengetahui kenyataan bahwa aku bukan hanya sekadar kekasih fiktif Adhitya.

"Aku akan menemui Zera kalau boleh," ujarnya meminta izin. Walau aku tidak tahu mengapa ia harus meminta izin padaku, jadi aku bertanya. Jawabnya, "Karena sekarang aku sudah resmi menjadi milikmu. Jadi apapun permintaanku harus kau setujui."

Aku tertawa ringan lalu kembali memeluk tubuh hangatnya. "Aku tidak tahu seorang playboy bisa menghargai persetujuanku."

"Tentu saja bisa. Seorang playboy juga manusia, Vanie."

"Oh ya?" godaku sambil menggelitik pinggangnya. "Temui saja. Kalau boleh aku juga ingin mengucapkan terima kasih."

"Untuk apa?"

Aku mengedikkan bahu asal. "Entah mengapa aku merasa ia yang mengembalikan dirimu padaku, Kak."

"Memang."

Aku bisa merasakan senyuman Kak Adhit. Apa benar ia tersenyum atau hanya perasaanku saja?

"Tunggu, ponselku berdering," kata Kak Adhit sambil mengangkat panggilan ponselnya. "Halo, Zera?"

Oh, dari Kak Zera. Tanpa kuminta Kak Adhit langsung menekan tombol loud speaker dan menunjukkannya kepadaku agar aku bisa mendengar pembicaraan mereka juga.

"Adhit, aku pergi. Sampaikan salamku pada Vanie. Semoga kalian senang menjalani hubungan kalian. Maaf tidak bilang sebelumnya. Aku sedang mengejar penerbanganku ke Amerika. Aku akan melanjutkan kuliah disana," kata Kak Zera dengan nada tergesa-gesa. Wah, pintar sekali dia. Bisa melanjutkan kuliah di luar negeri.

"Hati-hati, Kak. Maaf membuat kakak terluka dari waktu ke waktu hingga pada akhirnya tetap terluka," ujarku penuh sesal.

"Siapa bilang aku terluka, Vanie? Tidak. Aku bahagia kalau Adhitya juga bahagia. Maaf aku terburu-buru."

"Zera," panggil Kak Adhit dengan cepat. "Jangan lupa aku masih menyayangimu."

"Mencintaiku?" goda kak Zera.

Sekilas Kak Adhit melirikku meminta pertimbangan dan aku mengangguk. Aku membiarkan ia mengatakan apapun semaunya. Toh ia juga milikku 'kan sekarang?

"Mungkin mencintaimu juga masih."