"Jadi, kau akan berangkat hari ini." Nada suara Diego lemah, dia tak senang dengan kepergian Elena.
"Ya Kak. Aku harus berangkat sekarang." Untuk meyakinkan Diego, Elena bahkan membawa koper berisi baju-bajunya.
"Tidak bisakah, kau membatalkannya." Diego berharap Elena tak jadi pergi.
"Tak bisa Kak. Aku harus pergi. Aku sudah banyak menyusahkan Shelina. Jadi, tidak mungkin aku membuatnya kecewa dengan membatalkan kepergianku."
Diego menatap lekat Elena. Hatinya benar-benar tak rela melepaskan Elena pergi.
"Lagipula aku hanya pergi selama enam bulan. Setelahnya aku akan pulang." Elena menggengam erat jemari Diego. Meyakinkan dan mengusir keresahan hati pria itu.
Hati Diego sangat tak rela. Namun dia tak bisa mencegah Elena pergi. Karena dia juga tau Elena tak bisa membatalkannya. Namun entah mengapa hati Diego sungguh tak rela. Seakan Elena akan pergi jauh dan meninggalkannya untuk selamanya. Seakan wanita itu bukan pergi untuk enam bulan melainkan pergi dan tak akan kembali lagi padanya.
Dengan berat hati Diego mengangguk pasrah, "Berjanjilah kau akan segera menghubungiku ketika sampai disana."
"Ya Kak. Dan semangat untuk terapi-mu nanti. Aku tak bisa membantu disampingmu. Tapi aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Dan aku yakin kau bisa berjalan dengan lancar kembali. Karena kau pria terkuat dan terhebat dalam hidupku."
"Ya, tentu saja." Diego tersenyum lebar menatap wajah Elena. Dia sudah bertekad sebelum enam bulan dia harus kembali sehat, membersihkan namanya di kantor dan bekerja kembali. Dan setelah enam bulan berlalu saat Elena kembali, Diego akan menikahinya.
Elena menoleh ke samping menatap Mira yang sejak tadi berada di sana.
"Mira, aku...."
"Sudah, aku tau apa yang ingin kau katakan. Aku akan menemani dan membantu Diego terapi. Jadi, kau bisa tenang disana," ucap Mira memotong perkataan Elena.
Mendengar hal itu, Elena berkaca-kaca dan memeluk Mira, "Terimakasih Mira."
"Jaga kesehatanmu dan bayimu." Bisik Mira di telinga Elena.
"Dan jangan lupa untuk menghubungiku." Elena mengangguk.
"Sudah kau harus segera berangkat." Mira melepaskan pelukannya. Elena mengangguk dan kembali berbalik menghadap Diego. Matanya menatap lekad pria itu. Airmata sudah mengalir di pipi putihnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia menggambur ke dalam peluakan Diego.
Memeluk pria itu erat.
"Aku pasti akan merindukanmu, Kak." Airmata Elena semakin menetes.
"Ya, aku juga akan sangat-sangat merindukanmu." Diego mengeratkan pelukannya. Menghirup feromon khas Elena dan memejamkan matanya.
"Aku mencintaimu," bisik Diego tepat di sisi telinga Elena. Membuat wanita itu semakin menangis.
Semenit kemudian Mira menyentuh pundak Elena. Dan Elena melepaskan pelukannya. Sadar sudah waktunya dia pergi. Dia berdiri di sisi Diego yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit. Menatap lekat wajah tampan pria itu. Enam bulan lamanya, dia tak akan bisa bertarap muka secara langsung dengan Diego. Enam bulan lamanya dia tak akan bisa memeluk pria itu. Dan enam bulan lamanya dia akan berpisah dengannya. Elena pasti akan merindukannya. Pria yang selalu menjaganya. Pria yang selalu ada di sisinya dalam keadaan apapun. Pria yang memberikannya limpahan kasih sayang dan cinta. Dan pria yang sejak dulu menjadi sandaran hidupnya.
Elena menarik napas dalam dan menghembuskannya. Meski enggan untuk pergi dan menjauh dari Diego, namun Elena harus melakukannya. Dia memaksakan senyuman di wajahnya.
"Aku pergi, Kak." Dengan berat hati Elena berbalik menari kopernya dan hendak melangkah. Namun lengannya ditahan dari belakang. Diego menahannya.
Elena berbalik dan menghambur kembali memeluk Diego. Astaga, dia sungguh tak ingin pergi. Diego mengecup kening Elena lama.
Mira hanya tersenyum kecil melihat mereka berdua. Dia mengerti jika keduanya enggan untuk berpisah. Dan dia berharap Diego akan terus berada di sisi Elena apapun yang akan terjadi nantinya, menunggu Elena kembali dan menerima wanita itu dengan tangan terbuka.
....
Elena berjalan masuk ke dalam mansion dengan menggeret kopernya. Dari sekarang hingga enam bulan ke depan dia akan tinggal di mansion ini sepanjang hari. Dia sudah berhenti bekerja dan sudah berpamitan pada Diego. Jadi dia hanya menjalani hari-harinya di mansion ini hingga waktu kelahirannya. Setelah itu dia bisa pergi dan menemui Diego kembali.
Elena duduk dengan lesu di sofa ruang tengah. Matanya membengkak akibat menangis tadi. Elena menyakinkan dirinya bahwa dia bisa menjalani ini semua hingga akhir.
Bik Yanti sudah membawakan kopernya ke kamar. Dan Bik Yanti juga mengatakan jika Elise sedang keluar saat ini.
Pandangan mata Elena kini turun ke arah perut. Tangannya mengusap perutnya yang sudah membuncit. Mengelus dengan gerakan lembut. Elena menyayangi anak kembar yang kini tumbuh di rahimnya. Walau anak kembar itu bukanlah anak dari pria yang dia cintai, tapi Elena tak bisa untuk tidak menyayangi anaknya. Naluri keibuanya tumbuh dan dia menginginkan salah satu dari anaknya. Ingin merawat dan membesarkannya.
Brian menolak keras permintaannya itu. Dan sampai saat ini Elena belum membicarakannya kembali. Fokusnya beberapa minggu belakang hanya untuk merawat dan menemani Diego. Kini dia bisa kembali memikirkan mengenai bayi kembarnya. Dia akan berbicara lagi dengan Brian ... dan Elise. Elena yakin Elise bisa membantu membujuk Brian untuk menyetujui permintaannya. Ya, Elena akan berjuang untuk mendapatkan salah satu dari bayi kembarnya.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk begitu saja dan berdiri tak jauh darinya.
"Elise." Suara panggilan itu membuat Elena mendongak menatap seorang wanita paruh baya. Wanita itu terlihat berumur diatas lima puluh tahun. Tapi masih terlihat cantik.
Dia?
Elena mengerutkan keningnya. Siapa dia? Elena merasa tak asing. Dia pernah melihat wajah wanita itu. Tapi dimana?
Elena mengamati raut wajah itu. Wanita itu terlihat mirip dengan Brian. Dan seketika itu Elena menyadari jika wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya adalah ibunya Brian. Rena Fernandez, mertua Elise.
Elise sudah menceritakan mengenai wanita itu dan menunjukkan fotonya pada Elena. Agar dia bisa mengenali dan berpura-pura menjadi Elise jika bertemu dengan beliau.
Elise juga mengatakan padanya tentang Rena yang tak menyukai Elise. Tak merestui pernikahan Brian bersama Elise, hanya karena status sosial dan jati diri Elise yang seorang yatim piatu.
Mengetahui siapa sebenarnya wanita itu, Elena langsung bangkit berdiri.
"Ibu." Sapa Elena dengan suara rendah. Namun hal itu masih bisa di dengar Rena dengan sangat jelas.
Ibu?
Kening Rena mengerut. Elise memanggilnya ibu. Matanya memandang curiga ke arah Elena. Menyadari tatapan curiga yang Rena berikan, Elena langsung berjalan menghampiri.
"Mo-Mommy, datang."
Elena tergagap saat memanggil Rena, Mommy. Dia kini sudah berdiri berhadapan dengan Rena. Elena berdiri gelisah, gugup dan canggung. Walau Rena bukanlah ibu mertuanya tapi tatapan tajam penuh selidik yang Rena berikan membuat Elena salah tingkah.
Apa yang harus dia lakukan dan katakan pada wanita paruh baya itu?
Memikirkan hal itu, Elena sadar dia harus bersikap baik.
"Silahkan duduk, Mo-Mommy." Elena masih saja kesulitan memanggil Rena, Mommy.
Kening Rena yang sejak tadi mengerut kini menghilang. Wanita itu duduk di sofa dan kembali menatap Elena tajam. Dia selalu bersikap seperti itu pada Elise.
"Mommy ingin minum apa?" tanya Elena.
"Tak usah. Mommy hanya mau tau kondisi cucu Mommy." Nada suara Rena selalu saja tak pernah bersahabat, selalu ketus dan sinis.
Elena menghela napas dan duduk di sofa single. Berhadapan dengan Rena. Ucapan Rena membuat Elena menunduk dan mengelus perut buncitnya.
"Kandunganku baik-baik saja, Mom. Dokter Diana bilang perkembangan janinku baik dan sehat." Mata Elena hanya tertuju pada perutnya. Menatap penuh sayang janin yang masih berada dalam perutnya.
"Kau tidak makan sembarangan, kan?"
"Tidak. Aku makan makanan yang dianjurkan dokter."
"Kau tidak mengidam yang aneh-aneh bukan?" Lagi-lagi nada suara Rena sinis dan tak suka. Elena tak terlalu mempermasalahkan cara bicara wanita paruh baya itu.
Elena tersenyum saat teringat malam di mana Brian memenuhi keinginan anehnya, yaitu saat pria itu mengenakan lingerie milik Elise.
"Tidak. Aku hanya sering terbangun di malam hari karena lapar."
"Dengar, kau harus jaga baik-baik kandunganmu. Mommy tak akan pernah memaafkanmu jika sampai kau keguguran. Kau mengerti?" ancam Rena.
Elena mengangguk mantap. Tangannya tanpa sadar memeluk perutnya. Dia juga tak ingin kehilangan bayinya. Setelah Rena berbicara panjang lebar pada Elena dia pamit pulang.