Fruit 11: Terus Didera
'Hah! Anak setan itu berani menyentuhku! Tangan kotornya berani menyentuh makhluk suci sepertiku?! Lihat saja pembalasanku nanti. Akan kubuat kau menderita dan menangis mengiba padaku!' Batin Dante bergejolak tinggi. Murkanya tersulut.
Dante menggeram penuh kemurkaan. Wajahnya merah padam karena terlalu emosi. Baru kali ini dia menghadapi penghinaan seperti itu. Dia yang selalu mendapatkan kepatuhan absolut dari orang-orang sekitarnya, kini merasakan apa yang dinamakan tertindas.
Apalagi oleh seorang perempuan!
Jika ini diketahui oleh kaumnya, bagaimana dia bisa menyelamatkan muka dan harga dirinya nanti? Maka dari itu, Dante rasanya ingin mengamuk saja karena tindakan Andrea yang bisa dianggap melecehkan martabat hebat Dante.
Memacu moge-nya dengan gila, Dante pun menerobos jalanan padat dengan gerakan-gerakan luwes seolah tidak takut akan mara bahaya apapun. Bagaimana mungkin hal-hal dunia fana ini membuat kecut hatinya? Tidak mungkin! Dia terbiasa memiliki kekuatan dan kekuasaan!
'Oke, lebih baik aku pulang ke apartemen dulu. Pasti Erefim sudah menungguku di sana.' Ia mencoba menenangkan diri sebelum memulai sebuah tindakan konyol, seperti membunuh seseorang tak berdosa, misalnya.
=Di Apartemen Dante=
"Erefim?!" Dante melangkah masuk ke apartemen yang sudah dia sewa. Di dunia manusia ini dia sudah paham harus bagaimana. Dunia yang kini ia tinggali bukanlah tempat yang asing bagi dia. Oleh karena itu, dia sudah tau sel;uk-beluk bagaimana harus melakukan ini dan itu.
Termasuk menyewa apartemen yang berharga setinggi langit di tengah kota, dia dengan mudah menyerahkan uang pada pihak Manajer Apartemen. Dan ia tak perlu repot-repot mengisi apartemen itu karena sudah diurus oleh Manajer Apartemen dan Erefim sebelumnya.
"Ya Tuan." Sang Asisten, Erefim pun datang sambil menundukkan tubuhnya ke arah Dante. Terlihat betapa dalam pelayanannya pada sang Tuan Muda itu. Lekas Dante sodorkan tas dan jas sekolahnya kepada Erefim yang langsung diterima oleh lelaki yang berpenampilan paruh baya namun bertubuh tegap.
=[[ Dante POV ]]=
"Haahh~"
"Bagaimana sekolah manusia Anda yang pertama, Tuan?"
"Menyebalkan." Aku berjalan ke ruang tengah yang luas. Aku sengaja menyewa apartemen besar karena aku suka hunian yang luas dan lapang. Kalau bisa membeli lapangan bola, aku mau saja. Bisa aku ubah jadi rumah yang megah.
Tapi ide itu ditentang Erefim. Dia bilang cukup apartemen begini saja agar tidak terlalu mencolok. Oke, ada benarnya juga. Bagaimana pun juga aku harus merahasiakan kehadiranku ini di dunia manusia. Aku tak mau kaum-ku yang lain menemukan target-ku.
Ini adalah target yang sudah aku amati selama hampir 1 tahun ini. Aku sudah sekian lama menelisik keberadaannya dan segala sepak terjangnya. Tinggal menunggu waktu saja saat ia berusia genap 17 nanti, aku bisa mengenyahkannya dan membawa kabar baik itu ke Tetua dan aku bisa dipertimbangkan untuk naik ke Surga.
Untuk makhluk menjijikkan seperti gadis setan itu, dia hanyalah target ke-99. Dan karena target-targetku sebelumnya mudah kuatasi, pasti takkan butuh banyak upaya bagiku untuk melenyapkan dia. Aku hanya butuh dia saja untuk bisa mencapai Nirvana. Tetua mengatakan bahwa karena gadis itu eksistensi yang unik, maka keberadaannya sebanding dengan 2 orang.
Bayangkan betapa ini sebuah kemudahan bagiku. Dia sebanding dengan 2 anak setan, maka itu berarti aku sudah bisa memenuhi 100 target dan akhirnya aku akan diakui dan naik ke Surga, berkumpul dengan Ayah. Tentu nanti Ayah akan mengakui kekuatanku!
"Tuan, makanan sudah saya sediakan." Erefim sudah berdiri di sebelahku yang kini duduk santai di sofa setelah tadi dia pamit meletakkan semua bawaanku.
"Humm~ baiklah."
---------
=[ Andrea POV ]=
"Liat kan, tadi gimana tu bibir dia bonyok? Liat kan, beb?"
"Iya, Ndre, liat kok." Shelly menyeruput es duren bikinan Mama-nya. Saat ini gue lagi ada di rumah dia.
"Hehe~ aku puas banget bisa nonjok dia, bahkan ampe dia bonyok." Gue comot pizza meatlovers di depan gue. Saban maen di rumah ini, gue selalu aja kenyang sentosa terjamin. Apa gue pindah ke sini aja yak daripada nyusahin Oma ama Opa?
"Tapi nanti kalo fans dia ngamuk ke kamu gimana?" Shelly ngaduk-aduk es bagiannya, nyari duren.
"Don wori. Aku kan bisa silat. Ciaaattt!" tangan gue langsung aja gerak-gerak gaje di udara.
"Pokoknya aku gak mau kamu kenapa-kenapa loh yah."
"Iya bebeb sayank~ tenang aja~" Dan potongan pizza kedua pun berhasil berpindah ke tangan gue.
Malam ini Mamanya Shelly minta gue nemenin anaknya karena mereka musti keluar kota beberapa hari. Dengan senang hati tentunya gue iya-in. Apalagi terjamin kebutuhan perut ini nih!
Dan supir Shelly sudah memintakan ijin ke rumah Oma ngasih tau kalo gue nginep di tempat Shelly selama beberapa hari. Oma ngasih beberapa pakaian dan seragam juga buku-buku gue ke sopir yang langsung di serahkan ke gue.
Jam digital di kamar Shelly udah nunjukin angka 20:25 en gue berdiri menikmati angin malam yang sejuk di balkon kamar Shelly yang di lante 2.
Kotak karton pizza dan mangkok kosong berisi es duren yang udah pindah ke perut gue en bebeb udah dibereskan ama pembantu rumah. Benar-benar hidup yang nikmat. Cuma butuh makan, tidur en belajar aja sebagai tuan putri di rumah ini. Bebeb emang beruntung banget. Kagak ribet mikirin besok makan apa, atau kagak bingung bayar utang warung sebelah.
Udah lah, untuk apa gue iri ama keberuntungan orang lain? Tentunya semua orang udah punya garis nasib sendiri-sendiri, benar kan? Semoga aja garis nasib gue membaik setelah ini.
Gue pengin bahagiakan Oma dan Opa. Gue pengin cepat kerja biar Oma dan Opa kagak capek-capek kerja lagi. Mereka udah tua, gue gak tega liat mereka masih memeras tenaga tua mereka demi gue.
Gue masih berdiri di balkon kamar Shelly yang adem sambil natap ke langit, sibuk membayangkan nasib gue.
Sedangkan tu anak lagi sibuk nonton DVD Barb**. Duilee~ cem anak balita aja masih demen nonton gituan.
Di balkon, gue merasa adem dan tenang. Sekaligus asik pandengin kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan sana.
"Kau tak bisa lari lagi, Andrea~"
HAHH?! Suara apa itu?!
"Siapa?!" Gue langsung aja celingukan nyari asal suara. Apa rumah Shelly angker? Kok baru sekarang angkernya? Kenapa gak dari dulu waktu gue biasa ke sini? Ato setannya baru, yak? Tapi kok tau nama gue? Ini kerjaan setan apa demit sih? Eh, bedanya setan ama demit apa?
"Fufufuu~"
"Anjriittt!!! Bangke dah lo!!" Dan gue pun lari masuk ke kamar, en tutup langsung gorden gede di balkon kagak peduliin Shelly yang kebingungan liat gue masuk kamar sambil misuh-misuh gaje. Walo sebenarnya gue takut, tapi gue juga keki! Jadi wajar, dong kalo gue puas-puasin misuh dengan bahasa antah-berantah?!
"Ndre, ada apa?" Bebeb cantik gue natap gue kebingungan. Layar yang masih nayangin adegan Barb** dianuh Pangeran dicuekin bebeb. Jangan mikir kotor dulu. Itu maksudnya, Barb** lagi diajak ngobrol Pangeran!
"AWWGHH!!" Gue malah menjerit norak. Sialan banget! Mana kencang pula!
Rasa sakit itu kembali menyengat. Kali ini lebih sakit dari sebelumnya. Gue gak lagi lebai, yah! Ini beneran sakit! Sakit yang beneran luar biasa, ampe bikin gue banjir keringat dingin. Nyerinya gak tertahan, bikin gue gigit bibir saking perihnya.
Ketika Shelly ngebuka perbannya, ternyata berdarah banyak. Itu darah keluar terus gila-gilaan! Semoga bebeb kagak pingsan. Beb, plis jangan pingsan. Ntar siapa yang ngobatin gue kalo kamu pingsan, beb!
Tapi emang kondisi luka gue lumayan ngeri, sih. Luka menggembung yang memanjang seharian tadi di sekolah, sekarang sepertinya pecah. Dan darah juga kayak ogah berenti. Duh gusti, jangan-jangan malahan gue yang bakalan pingsan, kekurangan darah.
Shelly gerak cepat, ngambil box tisu di dekat dia untuk terus nempelin ke luka menganga gue. Ini penampakannya benar-benar serem! Luka terbuka, kayak daging gue diiris beneran en keliatan dalamnya gitu! Kok ampe gini, sih?