webnovel

NARA #21

"Hai, Anak manis. Apa kabar?" Papa Nara masuk ke dalam rumah begitu saja melewati Nara yang sedang terdiam seperti patung. Nara tidak menyangka Papanya yang sangat dibencinya itu datang malam - malam begini.

"LOE MAU APA DATANG KE SINI..?!!" Nara berteriak mengabaikan tatapan sang Mama yang sendu melihat dirinya yang terus menolak keberadaan Papanya.

"Aku hanya mengunjungi Istri dan Anakku. Aku juga ingin menanyakan sesuatu padamu secara pribadi." Papa Nara menatap Nara dengan tajam diselingi senyuman sinis yang khas miliknya.

"Sudahlah, Ra. Kamu tidak boleh melarang Papamu yang sudah jauh - jauh datang ke sini untuk mengunjungi kita," ucap Mama Nara sambil menghampiri Anaknya itu dan membawanya untuk duduk berhadapan dengan Suaminya.

"Tidak Ma! Dia itu bukan Papa Nara! Dia telah menyiksa Mama dan melakukan hal keji di belakang kita selama ini. Nara tidak sudi punya Papa seperti dia!" Teriak Nara pada Mamanya sambil menunjuk Papanya dengan jari telunjuknya.

"Tenanglah, Nak. Papamu kan tidak berbuat apa - apa sampai detik ini. Kamu hanya perlu memberinya sedikit waktu untuk bertanya padamu," ucap Mamanya sambil mengelus lengan Nara.

"Kalau mau bertanya, silahkan! tidak usah basa basi segala! Gue tidak suka loe berlama - lama di sini dan gue tegaskan sekali lagi kalo gue tidak suka melihat ada tamu yang tak diundang datang ke rumah ini, Ngerti!!" kata Nara dengan emosi yang meluap luap sambil membantu sang Mama duduk bersebelahan dengannya.

"Bagaimana kuliahmu?" Tanya Papa Nara dengan santai sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Semuanya baik - baik saja," jawab Nara dengan ketus.

"Benarkah? Setelah uang kuliahmu kuberhentikan, apakah kegiatan kuliahmu masih baik - baik saja? Semua kartu yang pernah kuberikan padamu juga sudah kublokir seluruhnya. Bagaimana?" Papa Nara hanya menatap sinis pada Anak yang sudah durhaka padanya. Anak yang di hadapannya kini adalah Anak yang tidak tau diri yang berani melawan orangtuanya. Dia selalu memantau setiap kegiatan sang Anak untuk dapat menyusun strategi dalam menghadapi kelakuan Anak itu.

Mama ara sangat kaget mendengar perkataan dari suaminya barusan. Mama ara langsung mengkonfirmasi hal itu kepada Anaknya secara langsung. "Ara? Apa benar yang dikatakan Papamu? Uang kuliahmu diberhentikan? Apa kartu pemberian Papamu memang sudah diblokir? Bagaimana kamu bisa dengan santainya bilang semuanya baik - baik saja setelah terjadi hal seperti ini?" Tanya Mama Nara sambil memegang erat kedua lengan sang Anak.

"Ma.. Semuanya memang baik - baik saja, Ma. Mama tidak perlu khawatir." Ucap Nara dengan tegas.

"Bagaimana Mama bisa tidak khawatir? Kamu tidak jujur pada Mama. Apa kamu bisa melunaskan biaya uang kuliahmu itu? Bagaimana caranya, Ra..!" Mamanya histeris mengingat kondisi keuangan mereka yang pas - pasan setelah mereka pindah ke rumah itu.

"Ma.." Nara tidak sanggup melihat Mamanya yang hampir menagis karenanya.

"Oh ya, karena kamu tidak punya cukup uang untuk membayar uang kuliahmu, kamu cukup pintar untuk mengikuti kompetisi Bela Diri Tingkat Nasional mewakili Provinsi kita ini. Kamu tidak takut membuat malu dirimu sendiri karena kalah?" Ucap Papanya dengan santainya.

"DARI MANA LOE TAU HAL ITU?" Kata - kata Nara sempat terhenti beberapa saat, "ITU BUKAN URUSAN LOE..!! SEKARANG JUGA, LOE KELUAR DARI RUMAH INI..!! GUE GAK INGIN NGELIAT LOE LAGI..!!" Bentak Nara karena kesal setengah mati pada Papanya itu sambil menujuk ke arah pintu keluar.

"Baiklah, kalau itu mau mu. Sampai jumpa lagi." Papanya Nara pun beranjak pergi dari Rumah itu dengan menunjukkan senyuman kemenangannya.

Mama Nara menangis tersedu - sedu mendengar ucapan Suaminya itu. Dia tidak mengetahui betapa beratnya beban yang ditanggung oleh Nara. Dia merasa bersalah karena tidak bisa membantu sedikit pun.

"Ma.. Jangan menangis. Ara tidak bermaksud menutupi semuanya pada Mama. Ara hanya tidak ingin menambah beban pikiran Mama aja," kata Nara sambil memeluk Mamanya yang masih tetap menangis.

"Mama minta maaf, Nak. Mama tidak bisa membantumu karena kondisi tubuh Mama yang tidak memungkin bagi Mama untuk bekerja di luar sana. Mama hanya bisa menjadi beban bagimu, Ra. Maafkan Mama," ucap Mama Nara sambil mencurahkan segenap isi hati dan airmatanya kini.

"Ma, jangan khawatir. Meskipun Nara sibuk dengan kegiatan Nara dari pagi sampai malam, semuanya tidak akan membuat Nara sakit. Mama tenang aja. Tidak perlu merasa bersalah begitu." Nara pun mengelus pundak sang Mama yang tidak kunjung berhenti menangis.

"Apa benar, kalau kamu mengikuti kompetisi bela diri itu untuk membiayai uang kuliahmu, Ra..?" Tanya Mamanya Nara penasaran. Dia masih belum mendapat jawaban pasti sedaritadi.

"I.. Iya.. Ma.." Jawab Nara dengan ragu - ragu.

"Kamu itu seorang perempuan. Apa kamu tau bagaimana caranya bela diri? Apa kamu tidak takut jika lawanmu itu laki - laki yang tangguh? Kamu bisa saja terluka saat bertanding dengan orang - orang yang ikut dalam pertandingan itu," Mama Nara terisak dalam pelukan hangat Anaknya. Dia tidak sanggup jika membayangkan bagaimana jika terjadi sesuatu pada anak sematawayangnya itu.

"Ma..!! Percayalah padaku. Jangan selalu menganggapku seperti anak kecil yang tidak tau mengambil keputusan. Ara sudah dewasa, Ma. Ara pasti akan pulang dengan membawa piagam penghargaan. Ara pasti bisa melawan mereka semua. Asal Mama mau mendukung Ara. Ara hanya butuh Doa dan dukungan dari Mama saja."

Nara mulai menitikkan airmatanya. Dia sungguh tidak sanggup mendengar tagisan sang Mama karena kesalahannya. dia berusaha keras untuk membuat Mamanya yakin pada kemampuannya saat ini. Dia tidak ingin Mamanya menjadi terbebani oleh karnanya.

"Baiklah, kali ini Mama akan membiarkanmu melakukannya. Tapi, setelah itu, Mama tidak mau Anak Mama melakukan hal yang berbahaya seperti itu lagi," ucap Mama Nara dengan suara yang lemah.

"Tapi, Maa.." Belum sempat Nara menyelesaikan ucapannya, Mama Nara langsung beranjak dari tempat duduknya.

"Mama mau balik kamar duluan, ya. Istirahatlah, Ra. Besok kamu akan sibuk dengan berbagai macam kegiatanmu," Mama Nara pergi begitu saja meninggalkan Anaknya.

Nara pun kembali ke kamarnya dan terlentang di atas tempat tidurnya. Dia merenungkan kembali hal - hal yang menjadi kemungkinan penyebab Mamanya marah padanya. Dia tidak bisa berjanji pada Mamanya untuk tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Padahal dia bisa mendapatkan lebih banyak uang dari hasil mengikuti kompetisi balap liar dan bela diri. Tidak mungkin baginya untuk meninggalkan hal seperti itu.

Setelah lelah berpikir, Nara pun berusaha untuk tidur. Meskipun di awal dia sedikit kesulitan tidur, Tapi pada akhirnya dia bisa tertidur juga.

Keesokan paginya..

Nara terbangun dan langsung bersiap - siap pergi ke kampus. Dia memiliki jadwal kuliah pagi ini. Selesai dengan segala persiapannya, Nara pun pergi keluar dari kamarnya menuju ke dapur. Karena Mamanya belum bangun tidur, Nara hanya sarapan roti selai di temani teh manis panas pagi ini.

Nara pun berangkat ke kampus seperti biasa. Beruntungnya, Papanya Nara tidak pernah mengungkit mengenai mobil sport Nara yang sudah dibawanya dari rumah Papanya. Hanya itulah satu - satunya harta Nara yang tertinggal bersama dengan kenangan indah bersama Papanya.

Hari ini begitu banyak kegiatan yang harus diselesaikan dengan baik. Dia mengikuti kegiatan kuliah seperti biasa dan sepulang kuliah dia akan pergi bekerja.

"Woi, Nat! Loe di panggilin daritadi gak nyahut - nyahut. Emosi gue gegara loe, padahal ini masih pagi, lho." Wira datang entah darimana menepuk pundak Nara sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan karena mengejar Nara.

"Apaan sih loe? Ada perlu apa, Wir? Gue buru - buru nih!" Ucap Nara cuek pada temannya itu.

"Nih, gue kan udah janji mau bantuin loe bayar uang kuliah loe. Ini uangnya. Loe gak mau ya? Biar buat gue balik aja dehh," ledek Wira pada temannya yang tomboy itu.

"Isshhh, bilang dari tadilah. Gue beneran lupa sama semuanya, Wir. Makasih banyak ya, WIr." Nara pun menunjukkan senyuman manisnya pada Wira.

"Udah akh, gue mau masuk kelas lagi. Gara - gara loe, gue jadi hampir telat nih," ucap Wira yang sudah berlari menuju kelasnya.

Nara pun bergegas ke bagian Administrasi untuk membayar uang kuliahnya. Setelah uang kuliahnya terbayarkan, dia merasa sedikit tenang karena salah satu beban pikirannya sudah terselesaikan. Begitu selesai mengurus bagian Administrasinya, Nara pun berangkat kerja.

Setibanya di Fashion House...

"Ra, kamu dicariin tuh, sama Kepala Bagian Gudang. Cepat sana menghadap!" Ucap seorang pegawai yang mengahmpiri Nara saat dia baru saja tiba di Fashion House itu. Dengan langkah yang cepat, Nara pergi ke gudang menemui orang yang di maksud.

"Pak, Bapak mencari saya? Ada apa ya, Pak?" Tanya Nara dengan ragu - ragu namun masih terdengar sopan.

"Kamu bagaimana sih?!! Kenapa kamu meletak kain sifon ini di bagian kain sutra?!! Apa kamu tidak bisa membedakan jenis - jenis kain yang ada di muka bumi ini?!!" Teriak sang atasan pada Nara.

Nara merasa heran, dia tidak pernah menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan kain yang memiliki berbagai jenis itu. Selama ini dia hanya di suruh ke Gudang untuk mengurus bagian pernak - pernik yang akan digunakan untuk menghias busana yang sudah jadi.

"Tapi, Pak, bukan saya yang melakukan itu. Saya belum pernah menyentuh berbagai jenis kain yang ada di sini, Pak. Saya selalu ke bagian pernak - pernik jika saya masuk ke Gudang ini, Pak." Nara membela dirinya yang tidak mau di fitnah begini.

"Ohh, kamu tidak mau jujur ya? Kamu lihat sendiri saja! Di buku keluar masuknya barang terdapat tandatangan dan namamu yang tertera dengan sangat jelas! Kamu masih tidak mau mengakuinya?!!" Atasan Nara pun kini sudah tampak emosi.

Dan memang benar! Itu adalah tandatangan dan nama Nara yang terlihat sangat mirip dengan aslinya.

'Kurang ajar! Siapa yang berani memfitnah gue begini? Gak akan gue biarkan dia lolos, jika gue sudah tau siapa pelakunya. Lihat saja Nanti..!!' Nara membatin.

Nara pun menunduk seolah dia menyesal dengan apa yang sudah terjadi, "Maafkan saya Pak. Saya salah. Lain kali saya tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi."

Atasan itu pun dengan geramnya hanya bisa berkata, "Baiklah, kali ini saya akan memaafkanmu. Lain kali kamu akan mendapatkan hukuman, jika kamu masih melakukan kesalahan seperti ini lagi! Sudahlah, kembalilah bekerja."

"Maaf, Pak. Sudah merepotkan Bapak. Saya pamit dulu ya, Pak." Nara pun kembali berkerja. Tapi, kali ini dia sudah mulai waspada terhadap orang - orang di sekitarnya saat bekerja. Mereka semua tidak ada yang bisa dipercaya.

Dengan muka yang menunduk dan lemas Nara keluar dari gudang. 'Apess banget gue! Baru aja kerja, udah diomelin tapi bukan salah gue. Yang sabar, Nat. Loe pasti bisa ngelewati semua cobaan ini." Nara mengumpat di dalam hati.

Akhirnya, Nara pun memulai aktivitasnya dalam bekerja. Setiap kali ada yang menyuruhnya ke Gudang, dia selalu memeriksa buku keluar dan masuknya barang Gudang yang terletak di atas meja di luar Gudang. Dia tidak mau kejadian yang seperti tadi kembalu terulang. Bisa - bisa dia malah di pecat sebelum masa percobaannya selesai.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Semua pegawai berbondong - bondong keluar dari Fashion House tersebut, termasuk Nara. Dia pergi membeli nasi bungkus terlebih dahulu. Perutnya sudah menggendang saat ini. Nara sangat sibuk hingga lupa untuk makan siang.

Selesai dengan kegiatan makan sore menjelang malamnya, dia langsung berangkat ke tempat pelatihan bela diri yang akan dimulai pukul 6 dan selesai pukul 8 malam.

Karena masih baru di sana, Nara pun ke bagian Administrasi untuk bertanya, "Kak. Nama saya Nara. Saya masih baru di sini. Sebelum memulai pelajarannya, apakah saya perlu mengganti pakaian saya atau semacamnya?"

"Ya, kamu harus mengambil pakaian gantimu terlebih dahulu. Dari sini, lurus terus lalu belok kanan. Di situ ada seniormu yang duduk mendata junior yang mengambil pakaian ganti padanya. Setelahnya, kamu bisa lurus terus dan di ujung jalan ada ruang ganti. Ini kunci lokermu. Kamu bisa meletakkan semua barangmu di dalam lokermu. Tapi, kuncinya jangan sampai hilang." Kata bagian Adm pada Nara dengan pajang lebar.

Nara yang sudah mengerti pun menganggukkan kepalanya. Dia melangkah menuju ke tempat pengambilan pakaian ganti.

'Kayaknya gue pernah lihat cowok ini dehh, tapi dimana ya? Apa gue salah ya? Tapi, gue yakin banget pernah ketemu nih cowok.' Nara masih berkutat pada pikirannya dan tidak begitu memperhatikan panggilan dari seniornya.

"Hello.. Nih, set pakaiannya. Liat dulu, udah sesuai ukuran loe apa belom. Jangan bengong aja!" Senior itu mengumpat kesal karena ini sudah yang ketiga kalinya dia mengulang perkataannya pada Nara.

"Eehh, iya Kak. Sudah pas kok ukurannya." Ucap Nara terbata - bata. Dia merasa malu karena sudah kepergok bengong oleh seniornya di hari pertama bertemu.

"Ya sudah, tulis data diri loe di buku ini. Jangan lupa tandatangannya juga!" Kata Senior itu dengan ketus.

Nara hanya mengangguk dan tidak menjawab lagi. Dia kesal melihat Seniornya itu tidak bisa baik - baik ngomongnya.

'Sok banget loe jadi Senior. Padahal hanya menyuruh ngisi data, kan gak perlu ketus begitu.' Nara hanya berani mengumpat dalam hati.

Setelah selesai mengisi data, Nara hanya membungkukkan badannya sebentar lalu pergi dari tempat itu menuju ke ruang ganti.

Senior itu merasa sedikit terganggu dengan sikap Nara. Dia merasa familiar dengan penampilannya Nara. Tapi, dia tidak yakin akan hal itu.

'Sepertinya, gue memang pernah bertemu dengan dia. Di mana ya? Kok gue bisa gak ingat sih?' Banyak sekali pertanyaan yang muncul di dalam benak sang Senior.

下一章